Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

POLITIK HUKUM KEKUASAAN KEHAKIMAN (Tinjauan tentang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman setelah dikeluarkannya UU No.48 tahun 2009) Priyadi, Aris
Cakrawala Hukum Vol 15, No 41 (2013): Cakrawala Hukum
Publisher : Cakrawala Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 (1) disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan umum UUD 1945, adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).Dalam penjelasan selanjutnya ditentukan pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan tidak terbatas). Adapun salah satu ciri negara hukum adalah: adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.Dengan demikian sejalan dengan ketentuan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan diundangkannya UU no 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,Pasal 1 menentukan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hal tersebut lebih dipertegas lagi setelah amandemen ketiga UUD 1945 , di mana dalam Pasal 24 (l)ditentukan bahwa: kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dalam perkembangannya ketentuan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut pada saat diuandangkannya UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman belum dapat dilaksanakan, hal tersebut disebabkan karena menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa: badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 (1) yaitu peradilan umum, peradilan agama,peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara, organisatoris, administrative dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. Sehingga peluang campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan kehakiman (dalam hal ini pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung sangat terbuka yang akibatnya menimbulkan ketidakadilan. Selanjutnya dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU no 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ada perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam hal organisasi, administrasi dan finansiil hakim di semua lingkungan peradilan berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung, sehingga diharapkan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pihak lain (yang berperkara) dan putusannya akan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dengan diundangkannya UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan penyempurnaan dari UU No 4 tahun 2004. Kata kunci:Kemandirian, Kekuasaan Kehakiman.
KONTRAK TERAPEUTIK/ PERJANJIAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN Priyadi, Aris
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 2 No 1 (2020): April
Publisher : Program Studi PPKn Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Undiksha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jmpppkn.v2i1.134

Abstract

Setiap manusia mendambakan hidup sehat, Menderita sakit adalah suatu hal yang tidak diharapkan, namun apabila suatu saat menderita sakit, maka sebagai upaya untuk menyembuhkan penyakit tersebut, salah satu alternatifnya adalah datang ke dokter atau rumah sakit dengan harapan mendapatkan pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Berdasarkan keahlian dokter, sesuai perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan diharapkan dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa hubungan dokter dengan pasien itu disebut sebagai transaksi terapeutik, yaitu transaksi untuk mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk menyembuhkan pasien. Dokter sebelum melakukan upaya penyembuhan memerlukan adanya persetujuan pasien, yang dikenal dengan informed consent. Oleh karena ada hubungan atau perjanjian antara pasien dengan dokter/ rumah sakit maka berkaitan dengan hukum keperdataan akan tunduk/ terikat pada ketentuan hukum perdata yaitu tentang syarat–syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada perbedaan pengertian informed consent dengan perjanjian/ transaksi terapeutik, berkaitan dengan objek perjanjian dalam perjanjian/ transaksi terapeutik berdasarkan ketentuan KUHPerdata serta apakah dalam perjanjian/ kontrak terapeutik tersebut para pihak dapat memutuskan secara sepihak
Implementasi Beracara Secara Elektronik (E-Court) Dalam Perkara Perdata Aris Priyadi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 23, No 1 (2021): Majalah Imiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v23i1.145

Abstract

The application of civil procedural law in case examinations is currently taking place in a direction that must accommodate developments in community law. Currently, the Supreme Court in carrying out one of its functions, namely the regulatory function, has made several regulations to fill legal gaps, especially in matters of civil procedural law. This is due to advances in technological developments, especially in the field of informatics as well as the desire of the public to accelerate case resolution. Therefore, the Supreme Court issued several Supreme Court regulations and various other technical directives regulating the practice of proceeding in civil cases. One of them is the Supreme Court Regulation Number 1 of 2019 dated 6 August 2019 concerning the Administration of Cases and Trials electronically followed by the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court Number: 129 / KMA / SK / VIII / 2019 concerning Technical Guidelines for Case and Trial Administration in Courts Electronically. In electronic trials (e-Court), from the registration stage to submitting claims, answers, replicas, duplicates, conclusions and decisions are made electronically. Meanwhile, the payment of court fees is made electronically through the virtual account procedure. With this procedure, it is hoped that the case examination can run according to the principles of simple, fast, low cost. However, the examination of civil cases in court electronically cannot be carried out if the parties do not agree to carry out a civil case examination at the trial electronically (e-Court) this is as regulated in Article 20 of Perma No.1 of 2019, so that the examination runs as usual face-to-face before a court session or in other words a conventional trial.Keywords: reform, civil procedural law, e-CourtPenerapan hukum acara perdata dalam pemeriksaan perkara saat ini terjadi pembaruan ke arah yang sudah harus mengakomodasi perkembangan hukum masyarakat. Pada saat ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan salah satu fungsinya, yaitu fungsi pengaturan telah membuat beberapa regulasi untuk mengisi kekosongan hukum terutama dalam masalah hukum acara perdata. Hal ini disebabkan karena adanya kemajuan perkembangan teknologi terutama dibidang informatika serta keinginan masyarakat dalam percepatan penyelesaian perkara. Oleh sebab itu Mahkamah Agung menerbitkan beberapa peraturan Mahkamah Agung dan berbagai petunjuk teknis lainnya yang mengatur praktik beracara dalam perkara perdata. Salah satu diantaranya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tanggal 6 Agustus 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan secara elektronik yang diikuti dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam Persidangan secara elektronik (e-Court) mulai tahap pendaftaran sampai memasukkan gugatan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan dan putusan dilakukan secara elektronik. Sedangkan mengenai pembayaran biaya perkara dilakukan secara elektronik melalui tata cara virtual account. Dengan tata cara yang demikian diharapkan pemeriksaan perkara dapat berjalan sesuai asas sederhana, cepat, biaya ringan. Akan tetapi pemeriksaan perkara perdata di persidangan secara elektronik tidak bisa dilaksanakan apabila para pihak tidak setuju dilaksanakannya pemeriksaan perkara perdata di persidangan secara elektronik ( e-Court) hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Perma Nomor 1 tahun 2019, sehingga pemeriksaan berjalan seperti biasa dengan tatap muka di muka sidang pengadilan atau dengan kata lain persidangan secara konvensional.Kata kunci : pembaruan, hukum acara perdata, e-Court.
Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Sengketa Medis Aris Priyadi Aris Priyadi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 22, No 2 (2020): Majalah Imiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v22i2.117

Abstract

 Protection for patients in addition to being regulated in Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practices is also regulated in the Civil Code specifically regulating defaults and acts against the law. In the event of a dispute between the doctor and the patient, where the patient feels disadvantaged over the services that have been carried out by the doctor/ hospital, almost all of which can not be said at all, are related to compensation issues due to acts against the law. Losses suffered by patients can be in the form of material losses and immaterial losses. Claims for compensation due to acts against the law as stipulated in Article 1365 of the Civil Code can be in the form of material compensation or immaterial compensation or can also both. Based on the provisions of Article 1365 of the Civil Code which stipulates that: Every act that violates the law that brings harm to others requires that the person who wrongfully issued the loss compensates the loss. Article 1365 of the Civil Code uses the principle/ concept of accountability based on mistakes. These provisions are certainly not favorable for the victim (patient) because they have to prove the existence of the error. The provision of proof is regulated in Article 163 HIR jo Article 1865 of the Civil Code regarding the burden of proof. The contents of this article are those who claim a right, or to assert their own rights or deny the rights of others, referring to an event, are required to prove their claim or event.Keywords: Legal protection, patients, compensation. Abstrak. Perlindungan terhadap pasien selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diatur pula dalam KUH Perdata khususnya yang mengatur tentang wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Apabila terjadi sengketa antara dokter dengan pasien, dimana pasien merasa dirugikan atas pelayanan yang telah dilakukan oleh dokter/rumah sakit, hampir semua kalau tidak dapat dikatakan semuanya, adalah menyangkut masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum. Kerugian yang diderita pasien dapat berupa kerugian materiil dan kerugian immateriil. Tuntutan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum sebagimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat berupa ganti rugi materiil atau ganti rugi immateriil atau dapat juga keduanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yangkarena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUH Perdata menggunakan prinsip/konsep tanggung gugat atas dasar kesalahan. Ketentuan tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi korban (pasien) karena harus membuktikan adanya kesalahan tersebut. Adapun ketentuan pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR jo Pasal 1865 KUH Perdata tentang beban pembuktian. Isi dari pasal tersebut adalah siapapun yang menuntut suatu hak,atau guna meneguhkan haknya sendiri ataupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diharuskan membuktikan tuntutan haknya atau peristiwa tersebut.Kata kunci : Perlindungan hukum, pasien, ganti rugi.
Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Negeri Banyumas Teguh Anindito; Aris Priyadi; Arif Awaludin
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 24, No 1 (2022): Majalah Ilmiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v24i1.187

Abstract

This legal writing aims to find out and analyze the implementation of Perma Number 1 of 2016 concerning Mediation Procedures at the Banyumas District Court. This study uses a juridical approach. The juridical approach is to analyze the problem from the point of view according to the provisions of the applicable laws/regulations. The data analysis method used in the research is presented descriptively and processed qualitatively, namely the data obtained from the research are classified according to the problems in the research and the classification results are then systematized then the data that has been systematized is then analyzed to be used as a basis for drawing conclusions. Based on the results of research and discussion, several conclusions were obtained. First, the mediation carried out at the Banyumas District Court had been carried out according to the laws and regulations. The two things that determine the success or failure of mediation in a civil case are the agreement between the disputing parties in mediation to resolve the case. The contributing factor or obstacle in the mediation process that was not successfully resolved amicably was that the parties to the litigation themselves did not want peace. Keywords: Implementation; Mediation; Banyumas Abstrak. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalis pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Wilayah Pengadilan Negeri Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang menurut ketentuan hukum/perundang-undangan yang berlaku. Adapun metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian disajikan secara deskriptif dan diolah secara kualitatif yaitu data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian dan hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan kemudian data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, didapatkan beberapa kesimpulan Pertama mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Banyumas sudah dilaksanakan menurut peraturan perundangan. Kedua hal yang menentukan berhasil tidaknya mediasi dalam suatu perkara perdata adalah kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam mediasi untuk menyelesaikan perkaranya. Faktor menyebab atau hambatan dalam proses mediasi yang tidak berhasil diselesaikan secara damai ialah dari para pihak yang berperkara sendiri sudah tidak menghendaki perdamaian. Kata Kunci : Pelaksanaan, Mediasi, Banyumas
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Anak dan Perempuan Pasca Perceraian aris priyadi
Wijayakusuma Law Review Vol 3, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (779.355 KB) | DOI: 10.51921/wlr.v3i2.183

Abstract

Abstract In general, it can be said that it is the will of the people who carry out the marriage, that the marriage will continue and only be interrupted when one of the husbands or wives dies. But in reality, maintaining a happy and eternal family is not easy. In the course of the household, there are often problems that result in disputes and quarrels. When the rights of one party are violated, or one of the parties does not carry out their obligations, there will be turmoil in the household. Many husbands and wives finally decide to end their marriage by divorce. Divorce has legal consequences both for ex-husbands and ex-wives and for children. The Marriage Law does not provide a clear description if there is a dispute or struggle for child custody (hadhanah), then custody of the child is given to the father or mother. However, the Compilation of Islamic Law (KHI) provides a more detailed description of child custody or hadhanah. Based on Article 105 in conjunction with Article 156 of the Compilation of Islamic Law (KHI). Keywords: Post-divorce, children's rights, women's rights. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa, sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan, agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun isteri meninggal dunia. Namun dalam kenyataanya, mempertahankan keluarga yang bahagia dan kekal tidaklah mudah. Dalam perjalanan rumah tangga, seringkali terjadi masalah yang mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran. Ketika hak salah satu pihak dilanggar,atau salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka akan timbul gejolak dalamrumah tangga tersebut. Banyak suami-isteri yang pada akhirnya memutuskan untuk untuk mengakhiri pernikahannya dengan perceraian. Perceraianmempunyai akibat hukum baik terhadap bekas suami maupun bekas isteri dan terhadap anak. Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan uraian secara tegas jika terjadi sengketa atau perebutan hak asuh anak (hadhanah), maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau ibunya. Namun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan uraian yang lebih detail tentang hak asuh anak atau hadhanah. Berdasarkan Pasal 105 jo Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kata kunci: Pasca perceraian, hak-hak anak, hak-hak perempuan
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Secara Online Aris priyadi
Wijayakusuma Law Review Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (707.821 KB) | DOI: 10.51921/wlr.v4i1.196

Abstract

Abstract The development of information and communication technology is growing rapidly. The internet as a medium of information and electronic communication has been used to support various kinds of activities, one of which is for trading activities or known as electronic commerce or abbreviated online, for example in buying and selling transactions. Buying and selling online is more effective and efficient in terms of time and location. All buying and selling transactions through the internet are carried out without direct face to face between the parties, and are only based on mutual trust. Online transactions in addition to providing several conveniences and advantages also cause several problems, both psychological, legal and economic. The implementation of buying and selling online in practice can cause several problems, for example the buyer who should be responsible for paying a certain amount of money according to the price of the product or service he bought but does not make payment, and vice versa the responsible seller will deliver the goods as agreed but do not deliver the goods. sold or delivered but not in accordance with the agreement. Thus it is clear that in buying and selling transactions electronically/online there is no or lack of protection for buyers as consumers, Law number 8 of 1999 in particular Article 4 letters (c) and (d) has not provided legal protection to consumers. Keywords: Legal protection, consumers, buying and selling online Abstrak Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan cepatnya. Internet sebagai suatu media informasi dan komunikasi elektronik telah dimanfaatkan untuk menunjang berbagai macam kegiatan, salah satunya adalah untukkegiatan perdagangan atau dikenal dengan istilah elektronic commerce atau disingkat online,contohnya dalam transaksi jual beli. Jual beli secara online lebih efektif dan efisien dalam hal waktu dan lokasi. Semua trnasaksi jual beli melalui internet tersebut dilakukan tanpa ada tatap muka secara langsung diantara para pihak, dan hanya mendasarkan pada rasa kepercayaan satu sama lain. Transaksi online selain memberi beberapa kemudahan dan keuntungan juga menimbulkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Pelaksanaan jual beli secara online dalam prakteknya dapat menimbulkan beberapa permasalahan,misalnya pembeli yang seharusnya bertanggung jawab untuk membayar sejumlah uang sesuai harga dari produk atau jasa yang dibelinya tetapi tidak melakukan pembayaran, begitu pula sebaliknya penjualyangbertanggung jawab akan menyerahkan barang sesuai yang diperjanjikan tetapi tidak menyerahkan barang yang dijual atau menyerahkan tetapi tidak sesuai yang diperjanjikan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam transaksi jula beli secara elektronik/online tidak ada atau kurangnya perlindungan terhadap pembeli selaku konsumen, Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 khususnya Pasal 4 huruf (c) dan (d) belum memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Kata kunci: Perlindungan hukum, konsumen, jual beli online
Pentingnya Mediasi Dalam Mengurangi Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Banyumas Teguh Anindito; Aris Priyadi; Arif Awaludin
Wijayakusuma Law Review Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/wlr.v4i2.220

Abstract

Abstract Mediation as one of the tools that is needed in dealing with divorce cases is very important. Many divorce cases are resolved through mediation. Research conducted at the Banyumas Religious Court using normative juridical methods shows that mediation still needs to be socialized to resolve the various divorce cases that have piled up at the Banyumas Religious Court. It is necessary to overcome various obstacles in resolving cases through this mediation. Minimizing obstacles will help achieve optimal mediation. Efforts made by the Supreme Court by making Supreme Court Regulations further strengthen the role of mediation in settling cases. Abstrak Mediasi sebagai salah satu sarana yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi kasus perceraian sangat terasa arti pentingnya. Banyak perkara perceraian yang diselesaikan melalui mediasi. Penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Banyumas dengan metode yuridis normatif menunjukkan hasil bahwa mediasi masih perlu disosialisasikan untuk menyelesaikan berbagai kasus perceraian yang menumpuk di Pengadilan Agama Banyumas. Perlu diatasi berbagai hambatan dalam penyelesaian perkara melalui mediasi ini. Meminimalisir hambatan akan membantu tercapainya mediasi yang optimal. Upaya yang dilakukan Mahkamah Agung dengan membuat Peraturan Mahkamah Agung semakin menguatkan peran mediasi dalam penyelsaian perkara.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Bing Waluyo; Wiwin Muchtar Wiyono; Aris Priyadi
Collegium Studiosum Journal Vol 6 No 1 (2023): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v6i1.763

Abstract

In Article 2 paragraph 1 of the Marriage Law it is stated that marriage is valid if it is carried out according to the laws of each religion and belief. In the Explanation of Article 2 paragraph 1 of the Marriage Law it is stated that no marriage is outside the law of each religion and belief in accordance with the 1945 Constitution. Thus according to law, marriage must take place according to the law of each religion and belief. If the marriage is carried out outside or contrary to the laws of each religion and belief, then the marriage is invalid. The words "the laws of each religion and its beliefs" do not mean that each party is subject to different religious laws, but that it only shows or distinguishes the religions that are adhered to by the people of Indonesia, therefore Article 2 of the Law Marriage will only be effective if the prospective husband and wife adhere to the same religion. Now the problem is if the prospective husband and wife who want to get married adhere to different religions, which party's religious law will apply to legalize the marriage, while neither party wants to give in to submit to the other party's religious law. It should be pointed out that no marriage may be legalized by two different religions at the same time, because each religion has its own principles and different marriage rules from one another, which of course have different consequences.
PENYULUHAN HUKUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA GANDATAPA, KECAMATAN KEDUNGBANTENG, KABUPATEN BANYUMAS Priyadi, Aris; Suryati, Suryati; Anindito, Teguh
WIKUACITYA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 4 No. 1 (2025): WIKUACITYA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Wijayakusuma Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56681/wikuacitya.v4i1.347

Abstract

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family (household) based on the belief in the Almighty God." From this formulation it can be concluded that from marriage it is hoped that offspring (children) will be born as successors in the family, so that parents are obliged to care for and educate them so that they grow and develop naturally in the family and community environment. The presence of a child is something that is highly desired. The happiness and harmony of a family is marked by the birth of a child, because one of the purposes of marriage is to continue offspring. As Allah SWT says in Surah An-Nahl 72, namely: Meaning: "Allah made for you a mate (wife) from yourself (your nation) and made children and grandchildren from your wife, and gave good sustenance, whether they believe which is false (not true) and denies Allah's blessings (Q.S. An-Nahl Verse 72). If a married couple cannot have children during their marriage, then they can also continue their descendants so that the tribe/clan does not become extinct by adopting children or what is often called adoption. Therefore, the purpose of adopting a child is, among other things, to continue the offspring, when in a marriage there are no children. This is one way out and a positive and humane alternative to the presence of a child in the arms of the family. In order for members of the community to know and understand more about adoption, the rights and obligations of parents and adopted children, one of the efforts is to hold legal education regarding adoption.