Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN TEKANAN DARAH IBU BERSALINTERHADAP BAYI BERAT LAHIR RENDAH DI RSUD CUT MEUTIA ACEH UTARA TAHUN 2016 Rajuddin Rajuddin; Ayu Aqmalia Sari; Nora Maulina
PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN 2018 BUKU I
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/semnas.v0i0.3484

Abstract

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di Indonesia. Salah satu cara untuk menurunkan BBLR adalah dengan mengetahui faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya BBLR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hipertensi dan anemia pada ibu hamil dengan kejadian BBLR yang merupakan dua dari beberapa faktor risiko. Jenis penelitian ini deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan metode total sampling yaitu jumlah sampel sebanyak 116 ibu  hamil. Analisis data menggunakan uji Chi Square dengan Nilai p<0,05 dianggap berhubungan secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kadar hemoglobin (anemia) pada ibu hamil dengan kejadian bayi berat lahir rendah yaitu nilai p=0,02 dengan OR 2,64 juga terdapat hubungan antara tekanan darah (hipertensi) pada ibu hamil dengan kejadian bayi berat lahir rendah yaitu nilai p=0,034 dengan nilai OR 2,74 yang berarti ibu hamil yang anemia dan hipertensi mempunyai risiko 3 kali lebih besar melahirkan bayi berat lahir rendah dari pada ibu yang tidak anemia dan hipertensi. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan  bahwa ada hubungan antara kadar hemoglobin dan tekanan darah ibu bersalin terhadap bayi berat lahir rendah  
PENGARUH EKSTRAK BUAH TOMAT (Lycopersicum esculentum L.) TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON TIKUS PUTIH (Rattus novergicus L.) YANG DIBERI PAKAN TINGGI KOLESTEROL Firstia Ritri Wulandari; Teuku Mamfalutfi; Dasrul Dasrul; Rajuddin Rajuddin
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 2: No. 2 (November, 2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v2i2.412

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah tomat (Lycopersicum esculentum L.) terhadap kadarhormontestosterontikus putih (Rattus novergicus L.) yang diberi pakan tinggi kolesterol. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik jenis Posttest Only Control Group Design, dengan menggunakan 30 ekor tikus putih jantan yang dibagi secara acak dalam lima kelompok perlakuan masing-masing,1) kelompok kontrol negatif(KN)tikus diberi pakan standar, 2) kelompok kontrol positif (KP)tikus diberi pakan tinggi kolesterol, 3) kelompok tikus yang diberi pakan tinggi kolesterol dan eksrak tomat 25 mg/kgBB/hari (D1), 4) kelompok tikus yang diberi pakan tinggi kolesterol dan ekstrak tomat dosis 50 mg/kgBB/hari (D2) dan 5) kelompok tikus yang diberi pakan  tinggi kolesterol dan, ekstrak tomat dosis 100 mg/kgBB/hari (D3) selama 60 hari. Koleksi sampel darah dilakukan melalui vena orbitalis menggunakan mikropipet. Pengukuran kadar testosteron darah tikus dilakukan dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Data dianalisis dengan uji statistik non parametric menggunakan uji Kruskall Wallis dan di lanjutkan dengan uji Mann-Whitney.Hasil  penelitian menunjukkan  pemberian ekstrak tomat dapat meningkatkan kadar hormon testosteron darah tikus putih yang diberi pakan tinggi kolesterol seiring dengan tingkat dosis yang diberikan. Pemberian ekstrak tomat dosis 100 mg/kgBB/hari (D3)berbeda secara nyata (p<0,05)dibandingkan dengan kontrol positif (KP)., ekstrak tomat dosis 25 mg/kgBB/hari (D1)dan ekstrak tomat dosis 50 mg/kgBB/hari (D2)., namun tidak berbeda dengan kontrol negatif (KN). Pemberian ekstrak tomat dapat meningkatkan kadar hormon testosteron serum darah tikus putih yang diberi pakan tinggi kolesterol. 
Disorder Of Sex Development : Ambiguous Genitalia, Partial Androgen Insensitivity Syndrome Rajuddin Rajuddin; Fauzan Fauzan
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 3: No. 2 (November, 2017)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v3i2.432

Abstract

Disorders of sex development (DSDs) also known as “intersex” are congenital condition by mismatch in which chromosomal, gonadal and anatomical. One in 4.500 infants is born with abnormalities of External genitalia, and mostly unexplained in molecular term. Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) is a common cause of DSDs. Partial Androgen Insensitivity Syndrome (PAIS) is one of three broad subdivided phenotypes of AIS. Typically, characterized by evidence of feminization (i.e., undermasculinization) of the external genitalia at birth, abnormal secondary sexual development in puberty, and infertility in individuals with a 46,XY karyotype. In males characterized, Pais is common to observe a micropenis, hypospadias, and cryptorchidism. Individuals with PAIS that are characterized as women have been observe to have clitoromegaly and a fused labia during puberity . We reported a 13 year old child, with chief complaint primer amenorrhea. The patient admit as a girl but not yet got her menstruation. Patient was referred by Endocrinology Fertility and Reproductive Consultant of OBGYN, that has done Cromosomal and Hormonal analysis. We perform a laparascopy Exploratif and we get no uterus, fallopian tubal and ovarium that are exist. But, we found testis in inguinal canal.  Decision regarding gender assignment are still confronted between patient”s Family and medical staff. The prognosis is depends on the ambiguity of genital, Physical, and Physicosocial adjustment for sex assignment.
RUPTUR UTERI SEBAGAI KOMPLIKASI TOLAC PADA PASIEN DENGAN KETUBAN PECAH DINI Rajuddin Rajuddin; Komalasari Komalasari; Roziana Roziana
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 4: No. 2 (November, 2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v4i2.1042

Abstract

Ruptur uteri inkomplit secara klinis signifikan terjadi setelah persalinan caesar sebelumnya dan merujuk pada gangguan lengkap dari semua lapisan uterus, kecuali serosa. Meskipun kejadiaanya sangat jarang, kurang dari 1% dari seluruh uji coba persalinan setelah kelahiran sesar (TOLAC). Komplikasi ini dapat memberikan outcome buruk termasuk komplikasi yang berhubungan dengan perdarahan berat, laserasi kandung kemih, histerektomi, dan morbiditas neonatal yang terkait dengan hipoksia intrauterin. Ruptur uteri inkomplit merupakan salah satu komplikasi TOLAC yang harus segera dikenali agar mendapatkan outcome maternal dan fetal yang lebih baik. Kami melaporkan satu kasus ruptur uteri inkomplit sebagai komplikasi TOLAC pada wanita multipara (G2P1A0) berusia 33 tahun hamil 39-40 minggu dengan ketuban pecah dini. Pasien menolak untuk terminasi kehamilan melalui tindakan seksio sesaria dan diputuskan untuk menjalani TOLAC dengan skor VBAC (Vaginal birth after cesarean delivery) adalah 2 (60%) dan skor Weinstein 4 (58%). Ketika observasi kemajuan persalinan pasien mengalami nyeri perut hebat, kontraksi hipertonik tanpa kelainan denyut jantung janin dan tanpa ring bundlesign. Pasien kemudian menjalani terminasi kehamilan perabdominal. Temuan intraoperatif menunjukkan suatu hematoma di bawah lapisan serosa sebagai akibat dari ruptur uterus inkomplit hingga ke lateral kiri. Setelah menjalani tindakan SC(Sectio Caesarea), ibu dan bayi dalam kondisi yang baik. Ruptur uteri inkomplit terjadi pada sekitar kurang dari 1% dari pasien yang menjalani TOLAC. Ketuban pecah dini yang terkait dengan abruptio plasenta dapat menjadi risiko terjadinya komplikasi ruptur uteri pada TOLAC. Namun, hal ini masih membutuhkan penelitian lanjutan. Sebagian besar ruptur uteri inkomplit asimptomatis atau menunjukkan gejala yang tidak khas. Pengenalan awal kondisi ini dapat menghasilkan outcome maternal dan fetal yang lebih baik.
Management Placenta Percreta Succesfully With Total Abdominal Hysterectomy. A Case Review : Rajuddin Rajuddin; Roziana Roziana; Munawar Munawar; Muhammad Iqbal
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 5: No. 1 (Mei, 2019)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v5i1.1628

Abstract

Background: Placenta accreta spectrum is one of the most serious complications of placenta previa and is frequently associated with severe obstetric hemorrhage usually necessitating hysterectomy. The management of placenta accrete spectrum will be discussed here and is essentially the same. The following discussion of management of placenta accreta spectrum applies to all depths of placental invasion. Incidence: In 1950 placentaaccreta was rare, occurring 1 in 30.000 deliveries in the United States. Duringbetween 2008 and 2011 in a cohort of over 115.000 deliveries in 25 hospitals in the United States reaching 1 in 731 deliveries. The marked increase has been attributed to the increasing prevalence of cesarean delivery in recent decades.The incidence of placenta accreta spectrum will also increase due to increasing of caesarean section rate. Case: Mrs.44 yo, G3P2 36-37weekslive, previous cesarean section 2 time,placenta previa totalis, placenta percreta. She’s comes with a chief complaint of lower abdominal cramps, patients regularly antenatal care at obstetrician. Ultrasound finding, a single fetus lives at transvers lie, dorso superior, corresponding to 36-37 weeks, placenta previa, placenta percreta (PAI:83%). This patient planned for elective conservative surgery management, due to cesarean section and or cesarean hysterectomy. Discussion:Surgical conservative management giving birth a baby without a placenta, followed by a hysterectomy, has been shown to reduce the risk of bleeding and the need for blood transfusion. The discovery of placenta accreta spectrum earlier when antenatal care, better birth planning than multidisciplinary science includedfetomaternal, gyneco-oncologist, anesthesiologist, thorac& cardiovascular surgeon, radiology intervention, intensivist - obstetric intensive care, urologist and neonatology can determine the success of handling cases of placenta accreta spectrum so as to reduce maternal, fetal morbidity and mortality. Conclusions:  The discovery of placenta accreta spectrum earlier when antenatal care, planning delivery is better than multidisciplinary science. Management with corporal incisions away from placental implantation, giving birth baby without a placenta, followed by a hysterectomy, has been shown to reduce the risk of bleeding and the need for blood transfusion.
HUBUNGAN KADAR PROGESTERON DAN β-HCG DENGAN ABORTUS PADA KEHAMILAN ≤ 12 MINGGU DI KLINIK RASI BANDA ACEH Rajuddin Rajuddin; Riska Firda Rini; Nurjannah Nurjannah
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 2: No. 2 (November, 2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v2i2.409

Abstract

AbstrakProgesteron dan β-hCG sangat berperan penting untuk mempertahankan kehamilan, terutama pada awal kehamilan sehingga rendahnya kadar progesteron dan kadar β-hCG diduga dapat menyebabkan terjadinya abortus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar progesteron dan kadar β-hCG dengan kejadian abortus. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kohort retrospektif. Subjek penelitian terdiri atas 70 orang ibu hamil yang berobat ke praktik Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan Konsultan Fertilisasi dan Endokrinologi Reproduksi di Klinik Rasi Banda Aceh. Penelitian ini dianalisis dengan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan p ≤ 0,05 dan perhitungan resiko relatif. Dari hasil penelitian didapatkan kejadian abortus sebanyak 27,1% (19 orang). Pada pasien yang mengalami abortus kadar progesteron rata-rata (cut point) adalah 18,58 ng/ml dan kadar β-hCG rata-rata (cut point) adalah 22.714 mIU/ml. Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh hasil yaitu ada hubungan antara kadar progesteron (p=0,005) dan kadar β-hCG (p=0,006) dengan kejadian abortus. Pasien dengan progesteron rendah akan mengalami resiko abortus 5,7 kali dan pasien dengan β-hCG rendah akan mengalami resiko abortus 2,8 kali. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kadar progesteron dan kadar β-hCG dengan kejadian abortus pada ibu hamil dengan usia kehamilan ≤12 minggu.
Hiploplasia Uterus dengan Amenorea Primer pada Sindroma Turner: Laporan Kasus Rajuddin Rajuddin; Sarjani Sarjani; Hilwah Nora
JURNAL IMPLEMENTA HUSADA Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : UMSU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30596/jih.v2i2.10133

Abstract

Amenorea merupakan kondisi yang ditandai dengan ketidakadaan periode[PS1] [PS2]  menstruasi pada perempuan usia reproduksi. Kondisi ini terjadi akibat adanya kegagalan perkembangan alat reproduksi seperti ketidakadaan rahim, kegagalan ovarium serta anomali urogenital seperti kelainan duktus Mullerian. Diagnosis yang akurat sangat menentukan manajemen yang tepat dan optimal dalam penatalaksanaan. Laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai pendekatan diagnostik serta tatalaksana amenorea primer terkait sindroma turner. Studi kasus ini menggunakan metode pendekatan prospektif sehingga dapat mencapai diagnosis terbaik. Didapatkan hasil seorang perempuan, usia 22 tahun, belum pernah mengalami haid sampai usia 21 tahun. Pasien pertama kali haid dengan durasi 6 hari setelah mengkonsumsi obat yang mengandung kombinasi Estradiol valerat dan Norgestrel pada bulan November 2019. Setelah berhenti minum obat selama 3 bulan, pasien tidak mengalami menstruasi dan siklus menstruasi tidak teratur lagi. Pemeriksaan status generalisata dalam batas normal. Pemeriksaan  tanda seks sekunder didapatkan tanner stage M2P2.  Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan uterus berukuran kecil dengan ovarium kiri sulit dinilai dengan kesan hipoplasia uterus. Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hormon tiroid FT4: 18,59 ng/dL, TSHs: 5,9 ng/dL, Anti mullerian hormon (AMH): <0,01 ng/mL, FSH: 102,11 mIU/mL, dan estradiol: <9 pg/dL. Hasil pemeriksaan kromosom didapatkan kariotipe 45X dengan kehilangan satu kromosom seks X.  Pasien dengan sindroma Turner klasik yang mengalami kelainan kromosom seks 45X hipoplasia uterus dengan hipergonadotropik dan hipogonadisme serta hipotiroidisme, dibutuhkan tatalakasana yang tepat dengan pendekatan menyeluruh dan pendekatan psikososial [PS1] [PS2]