Articles
Pengaruh Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Terhadap Penguasaan Tanah Prabumian Berdasarkan Konsepsi Komunalistik Religius di Bali
Wiguna, Made Oka Cahyadi
Jurnal Hukum Novelty Vol 7, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Ahmad Dahlan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (611.303 KB)
Eksistensi masyarakat hukum adat di Bali sangat mempengaruhi eksistensi penguasaan tanah prabumian berdasarkan konsep komunalistik religius. Konsepsi komunalistik religius adalah konsepsi utama dalam pembangunan tanah nasional untuk mencapai unifikasi hukum tanah nasional. Konsepsi komunalistik religius juga tercermin dalam penguasaan tanah prabumian, desa pakraman di Bali oleh krama desa. Unsur komunalistik terwujud dalam penguasaan tanah tersebut sebagai tempat bermukim dan untuk digarap sehingga memberikan suatu hasil yang dapat dipergunakan untuk menunjang kehidupan sebagai sumber nafkah. Sebagai unsur kebersamaan maka bagian tertentu dari hasil penggarapan tanah yang harus diserahkan kepada desa pakraman untuk kepentingan bersama dalam upacara yadnya dan adanya larangan pengalihan tanah tersebut tanpa ada persetujuan bersama dalam paruman desa pakraman. Mengenai unsur religius tercermin dari adanya suatu kepercayaan bahwa pemerajan dan Pura Kahyangan Tiga di desa yang didirikan di atas tanah prabumian harus tetap dijaga dan dirawat karena dipercayai terdapat kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya termasuk juga roh para leluhur.
HAK KOMUNAL ATAS TANAH SEBAGAI HAK ATAS TANAH DESA PAKRAMAN DI BALI
Cahyadi Wiguna, Made Oka
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 2 (2018): SEPTEMBER 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (333.842 KB)
The government has indeed provided legal protection and certainty to indigenous peoples regarding their ulayat lands, through a Ministerial Regulation. However, it needs to be studied more deeply about the concept of communal rights to land and Pakraman village as the subject of communal rights holders on land. Communal rights to land are conceptualized as models of land rights that have just been raised in the national land law system. The consequence is that indigenous and tribal peoples as communal rights holders are authorized to use and benefit from their communal land. Pakraman village qualifies as a subject of communal rights to land because Pakraman village in Bali is classified into the community of the community, has a system of customary government referred to as the traditional prajuru led by a customary village leader. Then Pakraman village has a legal area called the Palemahan Pakraman village. As an instrument that regulates the life and social interaction of the community, awig-awig is the customary law of the community in a Pakraman village in Bali.
HAK KOMUNAL ATAS TANAH SEBAGAI HAK ATAS TANAH DESA PAKRAMAN DI BALI
Cahyadi Wiguna, Made Oka
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 2 (2018): SEPTEMBER 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25078/vd.v13i2.682
The government has indeed provided legal protection and certainty to indigenous peoples regarding their ulayat lands, through a Ministerial Regulation. However, it needs to be studied more deeply about the concept of communal rights to land and Pakraman village as the subject of communal rights holders on land. Communal rights to land are conceptualized as models of land rights that have just been raised in the national land law system. The consequence is that indigenous and tribal peoples as communal rights holders are authorized to use and benefit from their communal land. Pakraman village qualifies as a subject of communal rights to land because Pakraman village in Bali is classified into the community of the community, has a system of customary government referred to as the traditional prajuru led by a customary village leader. Then Pakraman village has a legal area called the Palemahan Pakraman village. As an instrument that regulates the life and social interaction of the community, awig-awig is the customary law of the community in a Pakraman village in Bali.
PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA TENTANG TANAH MELALUI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
Made Oka Cahyadi Wiguna
Masalah-Masalah Hukum Vol 47, No 1 (2018): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (3484.119 KB)
|
DOI: 10.14710/mmh.47.1.2018.47-55
Sengketa tanah yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sengketa perdata tentang tanah. Winwin solution dalam penyelesaian sengketa perdata tentang tanah relatif sulit dapat terwujud, apabila penyelesaiannya melalui sidang peradilan. Pilihan hukum yang dapat dipilih untuk memperoleh win-win solution dalam menyelesaikan sengketa perdata tentang tanah adalah melalui alternative dispute resolution. Dalam tulisan ini akan membahas mengenai peluang penyelesaian sengketa perdata pertanahan melalui Alternative Dispute Resolution dan asas-asas perjanjian yang berlaku dalam penyelesaian sengketa perdata pertanahan melalui Alternative Dispute Resolution. Peluang penyelesaian sengketa perdata tentang tanah didasarkan pada UndangUndang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebagai suatu pilihan hukum (choice of law). Dalam rangka penyelesaian sengketa perdata tentang tanah diselesaikan melalui alternative dispute resolution, maka penyelesaiannya harus memenuhi asas-asas hukum mengenai perjanjian sebagai prinsip dasar.
Pengaruh Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Terhadap Penguasaan Tanah Prabumian Berdasarkan Konsepsi Komunalistik Religius di Bali
Made Oka Cahyadi Wiguna
Jurnal Hukum Novelty Vol 7, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (611.303 KB)
|
DOI: 10.26555/novelty.v7i2.a5466
Eksistensi masyarakat hukum adat di Bali sangat mempengaruhi eksistensi penguasaan tanah prabumian berdasarkan konsep komunalistik religius. Konsepsi komunalistik religius adalah konsepsi utama dalam pembangunan tanah nasional untuk mencapai unifikasi hukum tanah nasional. Konsepsi komunalistik religius juga tercermin dalam penguasaan tanah prabumian, desa pakraman di Bali oleh krama desa. Unsur komunalistik terwujud dalam penguasaan tanah tersebut sebagai tempat bermukim dan untuk digarap sehingga memberikan suatu hasil yang dapat dipergunakan untuk menunjang kehidupan sebagai sumber nafkah. Sebagai unsur kebersamaan maka bagian tertentu dari hasil penggarapan tanah yang harus diserahkan kepada desa pakraman untuk kepentingan bersama dalam upacara yadnya dan adanya larangan pengalihan tanah tersebut tanpa ada persetujuan bersama dalam paruman desa pakraman. Mengenai unsur religius tercermin dari adanya suatu kepercayaan bahwa pemerajan dan Pura Kahyangan Tiga di desa yang didirikan di atas tanah prabumian harus tetap dijaga dan dirawat karena dipercayai terdapat kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya termasuk juga roh para leluhur.
Ketentuan Penguasaan Tanah Karang Ayahan Desa Pakraman di Bali Oleh Krama Desa
Made Oka Cahyadi Wiguna
Jurnal Analisis Hukum Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Universitas Pendidikan Nasional
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (225.461 KB)
|
DOI: 10.38043/jah.v2i1.2129
Desa pakraman dalam kedudukannya sebagai lembaga adat, bertugas untuk mengatur pengelolaan dari tanah-tanah adat tersebut, yang dipimpin oleh seorang Bendesa adat. Permasalahan yang terjadi, penguasaan hak atas tanah karang ayah yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat yang berlaku. desa pakraman dan kewenangannya terhadap tanah adat mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak terpisahkan. Desa Pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai berbagai kewenangan, termasuk hak dan kewajiban. Termasuk pula di dalammya adalah mempunyai hak dan kewenangan untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan pemeliharaan terhadap eksistensi tanah ulayat yang disebut dengan karang ayahan. Konsep karang ayah sebagai tanah yang dimiliki secara bersama-sama oleh krama Desa Pakraman. desa pakraman berhak untuk mengalihkan penguasaan tanah tersebut kepada krama desa. Penguasaan yang dilakukan oleh krama desa harus memperhatikan hak dan kewajiban serta larangan-larangan yang telah ditentukan oleh desa pakraman dalam ketentuan-ketentuan awig-awignya. Kata Kunci : desa pakraman, karang ayahan
Researching Social Change in Bali Indigenous Marriage Private
I Nyoman Budiana;
Made Oka Cahyadi Wiguna
Sociological Jurisprudence Journal Vol. 4 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.22225/scj.4.2.2021.75-85
This article wants to understand and analyze the phenomenon of Balinese customary life arrangements related to changes in marital procedures. To be able to produce accurate findings, social phenomena are examined in detail and in-depth through qualitative research, with a phenomenological paradigm. With this paradigm the results are obtained in the form of empirical data and in-depth understanding relating to variations in categories, properties, and attributes related to the changing phenomena of cultural traditions and adat ngerorod marriage. In detail the findings generated that in social reality, the indigenous Balinese have constructed changes in the pattern of marriage from the way of ngerorod or selarian (running together) to switch to the memadik or propose, because the pattern of memadik or ask is seen to better reflect equality and justice in society. The rationale that drives is the existence of a reaction to discriminatory customary norms; innovative faith-based constructive thinking; increasing the level of education and parental-bilateral kinship thinking. Memadik marriage by means of marriage or marriage, implies a marriage as a result of the construction of modern society.
SEKALI LAGI TENTANG PERMASALAHAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Made Oka Cahyadi Wiguna
Jurnal Hukum Progresif Vol 8, No 2 (2020): Volume: 8/Nomor2/Oktober/2020
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (827.104 KB)
|
DOI: 10.14710/jhp.8.2.151-166
Kasus kelaparan pada masyarakat hukum adat Suku Mausu Ane di pedalaman Pulau Seram dan kasus krisis kesehatan anak-anak suku asmat Papua, adalah wujud lemahnya perhatian negara terhadap masyarakat adat. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya perlu dilakukan agar koheren dengan tujuan Negara. Solusi yang harus dilakukan adalah negara melalui cita hukum negara Pancasila memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat tanpa syarat. Juga perlu mengubah paradigma pelayanan publik dengan mengedepankan social accountability yang disandingkan dengan paradigma The New Public Service. Karenanya, diperlukan kreatifitas, inovasi, terobosan yang bersifat pro-aktif, dalam memberikan pelayanan publik untuk membuka seluas-luasnya akses kesehatan, akses pendidikan, akses ekonomi dan lain sebagainya mendekat atau bahkan masuk ke dalam kehidupan masyarakat hukum adat.
IMPLIKASI FILSAFAT POSITIVISME TERHADAP ILMU HUKUM DAN PENEGAKANNYA
Made Oka Cahyadi Wiguna
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.374
Positivism has developed and dominated the flow of legal thought to this day. This study aims to examine the implications of positivism for law and its enforcement. The implications of positivism for the development of jurisprudence put the system of legislation into its ontological aspects. The epistemology is doctrinal-deductive putting his argument on the application of the structure of positive norms into the structure of concrete legal cases. The consequence is on the axiological aspect, it only craves legal certainty. Law enforcement in Indonesia which is influenced by legal positivism seems to fail to bring about justice. On many occasions it shows that it has not been able to combine legal certainty and justice. Judges in deciding a case, tend to only consider the sound of the law, without considering the values or norms that live in society.
PELUANG PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA TENTANG TANAH MELALUI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DENGAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DI DALAMNYA
Wiguna, Made Oka Cahyadi
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The current developments, there are many land disputes that are vertical or horizontal. Issues concerning land affairs are often caused by salim claims over land rights. The intended land dispute is a civil dispute concerning the land. Achieving a win-win solution in the settlement of civil disputes over land is relatively difficult to materialize, if the settlement is resolved through a trial (litigation). The choice of law that can be chosen to obtain and realize a win-win solution in solving civil disputes over land is of course through alternative dispute resolution. By way of negotiation, mediation and conciliation. In the course of the settlement of civil disputes over land settled through alternative dispute resolution, the settlement can not ignore the applicable legal principles of the treaty, namely the principle of freedom of contract, the principle of good faith, the principle of consensualism, the principle of pacta sunt servanda and the principle of personality