Maria Veronica Gandha
Program Studi S1 Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara

Published : 30 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

NON ISOLATED BLOCK : ARSITEKTUR YANG BERPERAN DALAM MEMBERIKAN JAWABAN KERUANGAN DALAM KONTEKS BERHUNI DI MASA DEPAN Junie Veronica Putri; Dewi Ratnaningrum; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10778

Abstract

In 2020, the outbreak of COVID-19 virus is a shock to every individual and to society. In this time, people lives in a term called "space limitation", isolated in a radius and a certain space that makes people lives in a virtual space. This pandemic limits our living space, altered out daily routine, and makes us isolated in a space that causes us to break ourselves physically and mentally. By nature, architecture can't ignore a problem that is this extreme, architecture has a purpose to make space to be a product of humanity, the purpose of this project is the will to create a future living spaces that is unobstructed, undisturbed, and opened; going through a block by giving a communal space; communal space that connected each other between the inside and outside space so that it provides the feeling of togetherness. This “Non-Isolated Block” project starts by incorporating the meaning of “isolated” and “block”. A block or a box is one of the basic of design, a block marks efficiency in a space but considered “simple & bare”. A block that stood on its own and unconnected makes us feel alone. There should be connectivity from this block to create a living space that makes us feel un-caged or “non-isolated”. By using this “inside, outside, and through the block” concept, this project is aimed to split activities based on space. “Inside the block” is for private activities, “outside the block” is for public activities, and “through the block” is a communal space that has a role as an emerging space, space that is connected to one another, to increase togetherness and productivity. Keywords:  block; communal space; non-isolated; space limitation; through the block. AbstrakMunculnya wabah COVID-19 pada tahun 2020 ini merupakan sebuah guncangan terhadap suatu individu dan masyarakat. Saat ini, manusia hidup dalam “batas ruang”, terisolasi dalam radius dan jarak bahkan ruang hidupnya adalah ruang virtual. Wabah ini membatasi ruang gerak kita, merubah pola aktivitas keseharian kita, membuat kita terisolasi dalam suatu ruang yang dapat membunuh kita secara fisik dan mental. Secara fitrahnya, arsitektur tidak dapat mengabaikan sesuatu yang ekstrem ini, arsitektur memiliki tujuan untuk meruangkan ruang sebagai suatu produksi kemanusiaan, sehingga tujuan dari proyek ini yaitu keinginan untuk menciptakan hunian masa depan yang tidak terhadang, tidak terhalang, dan terbuka; saling menembus antar ruang-ruang dengan fungsi ruang komunal; ruang komunal yang saling terkoneksi satu sama lain di antara ruang dalam dan ruang luar sehingga meningkatkan rasa kebersamaan. Proyek “Non-Isolasi Blok” ini bermula dengan mengambil arti dari “isolasi” dan “blok”. Blok atau kotak merupakan salah satu dasar desain, kotak menandakan efisiensi dalam ruang tetapi dianggap "sederhana & polos". Suatu blok yang berdiri sendiri dan tidak terkoneksi membuat kita merasa tersendiri. Perlu ada konektivitas dari bentuk blok ini untuk menciptakan suatu hunian dengan perasaan tidak terkurung atau “Non-Isolasi”. Dengan konsep “ruang dalam, luar, dan antara”, proyek ini membagi aktivitas berdasarkan ruang. Ruang dalam menjadi ruang dengan aktivitas privat, ruang luar menjadi ruang dengan aktivitas publik, sedangkan ruang antara menjadi ruang komunal yang berperan sebagai ruang tembus, ruang yang terhubung satu sama lain dengan ruang tembus lainnya, sehingga meningkatkan kebersamaan dan produktivitas.
[RE]IMAJI GLODOK MELALUI ECHOLOGY Vito Wijaya; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 2 (2021): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i2.12306

Abstract

An Architecture can be a memory store from a time. Many buildings or areas that have historical value are now abandoned, disintegrated, eroded by modern developments. In line with the development of the city, there are many dark histories and political issues that afflict Chinese culture and society in Indonesia. With the revocation of Presidential Instruction No. 14/1967 concerning Chinese Religion, Belief, and Customs during the Reformation period, it was replaced by the issuance of Presidential Decree (Keppres) No. 6/2000 on January 17, 2000, bringing Chinese culture back to life, then how can an Architecture and a Chinatown be able to adapt to the conditions of today and for the future without losing its identity and historical value. This project is a new embodiment for an area that includes various elements such as history, culture, economy, utilities, and education. All these aspects are formed collectively and in a community with a narrative method and connect existing elements into the concept of Echology. [RE]Image Glodok produces a project that reimagines the Chinatown area of Glodok where historical, cultural, and economic aspects can be reflected and build a new Glodok image by considering various elements that exist in the area and designing it for the sake of sustainability in the present and the future through Echology. Keywords:  Chinatown; Glodok; Image AbstrakSebuah Arsitektur dapat menjadi penyimpan memori dari suatu masa. Banyaknya bangunan atau kawasan yang memiliki nilai historis kini terbengkalai, terdisintegrasi, tergerus perkembangan moderen. Sejalan dengan perkembangan kota, banyak nya sejarah kelam dan isu-isu politik yang menimpa budaya serta masyarakat Tionghua di Indonesia. Dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina pada masa Reformasi digantikan dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000 membuat budaya Tionghua kembali hidup, kemudian bagaimana sebuah Arsitektur dan sebuah kawasan Pecinan mampu menyesuaikan dengan kondisi pada zaman ini dan untuk masa depan tanpa kehilangan jati diri serta nilai sejarahnya. Proyek ini merupakan perwujudan baru bagi sebuah kawasan yang mencakup berbagai unsur seperti sejarah, budaya, ekonomi, utilitas, serta edukasi. Semua aspek tersebut dibentuk secara kolektif dan berkomunitas dengan metode naratif serta mengkoneksikan elemen-elemen yang sudah ada menjadi konsep Echology. [RE]Imaji Glodok menghasilkan sebuah proyek yang mereimajikan kawasan pecinan Glodok dimana aspek sejarah, budaya dan ekonomi dapat tercerminkan dan membangun imaji Glodok yang baru dengan mempertimbangkan berbagai elemen yang ada pada kawasan serta merancangnya demi keberlangsungan di masa kini maupun masa depan melalui Echology.
FASILITAS KEMATIAN BAWAH TANAH : NARASI SEBAGAI PENDEKATAN DESAIN ARSITEKTUR Deanna Deanna; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 2 (2019): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i2.4476

Abstract

Funeral process with flammable method and crematorium is a funeral culture that was applied from ancient times until now. Milennial generation as a 21st century most dynamic population has been changing the system and technology towards sustainable future and space customization. The Cremation Proccess based on Hydolisis and Electricity are amied to reduce the use of open land burial and decreasing carbon emission. Situation that is currently occur at DKI Jakarta is the concept of die as luxury  and denying human death as a part of natural cycle which destroy the ecosystem and biodiversities. The Expensive amount of luxury funeral service and separated funeral process has made the process becoming inefficient. With the planning and  design of  Underground funeral parlour facilities based on hydrolysis and electric cremation in North Jakarta, Penjaringan is expected to fulfil the efficient needs of funeral process with millennial eco-friendly way. Eliminating a traumatic and sad impression into a liberating moment for the death.  Also, breaking the boundaries between life of the city and death through nature access so it can change the perspective of neighbourhood through timeless crematorium millennial style.AbstrakProses pemakaman dengan membakar jenasah dalam perapian dan krematorium merupakan sebuah metode pemakaman yang sudah diterapkan oleh manusia dari jaman dahulu kala. Generasi millennial pada abad 21 telah mengubah sistem dan teknologi yang ada kearah yang lebih ramah lingkungan dan kustomisasi. Pelaksanaan proses kremasi berbasis hidrolisis dan elektrik ini bertujuan untuk mengurangi pengunaan lahan terbuka sebagai makam dan mengurangi emisi karbon. Keadaan yang saat ini terjadi di DKI Jakarta yaitu adanya konsep fasilitas krematorium yang bersifat meninggal “luxury” dan mengabaikan kematian manusia sebagai siklus yang berbasis pada alam, telah merusak ekosistem. Biaya yang mahal dan proses pemakaman yang terpisah-pisah menjadikan proses pemakaman tidak efisien. Dengan dilakukan perencanaan dan perancangan Fasilitas Kematian Bawah Tanah berbasis pada metode kremasi hidrolisis dan kremasi elektrik di daerah Penjaringan Jakarta utara diharapkan dapat memenuhi kebutuhan proses pemakaman dengan cara millennial yang lebih ramah lingkungan. Menghilangkan kesan traumatik dan menyedihkan menjadi sebuah pengalaman yang membebaskan. Serta menghilangkan batas antara kehidupan kota dan kematian lewat alam sehingga dapat merubah sudut pandangan masyarakat terharap gaya krematorium generasi Milennial yang tidak terkekang oleh waktu. 
SENI DAN BUDAYA SEBAGAI RUANG KETIGA DAN WADAH BEREKSPRESI DI PONDOK KELAPA: RUANG EKSPRESI Wewin Febriana Dewi; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 2 (2020): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i2.8552

Abstract

Pondok Kelapa is an area located on the edge of East Jakarta and is dominated by settlements, according to data from BKKBN the dominance of age in Pondok Kelapa ranges from 6 years old to 22 years old, the age at which people prefer to gather to exchange information with their friends. The third place is a space for humans to meet and exchange information, this research of Third Place uses criteria from The Great Good Place, a book by Ray Oldenburg(1999). It is not home and it is not a place to work, the third place is often used as teenagers to gather. The third place has an important role for humans, therefore all humans have the right to have it in the environment they live. The lack of a third place in the Pondok Kelapa causes its citizens to go downtown where the third room is better and this causes traffics on weekends. The purpose of this research is to apply the criteria of the third place in the arts and culture building as a positive container as well as a community forum for the environment. Keywords:  Art and Culture; Expression; Third place Abstrak Pondok Kelapa adalah Kelurahan yang berada di tepi Jakarta Timur dan didominasi oleh pemukiman, menurut data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (disingkat BKKBN)[1] dominasi umur di pondok kelapa berkisar 6 tahun hingga 22 tahun, umur dimana lebih suka berkumpul bertukar informasi dengan teman seusianya. Ruang ketiga adalah ruang untuk manusia bertemu dan bertukar informasi, penilitian ini menggunakan kriteria dari buku Ray Olderburg tahun 1999 yang berjudul The Great Good Place. Ruang ketiga bukan rumah dan bukan tempat berkerja, Ruang Ketiga sering dijadikan remaja untuk berkumpul. Ruang Ketiga memiliki peran penting untuk manusia, maka dari itu semua manusia berhak memilikinya di lingkungan Ia tinggal. Kurangnya ruang ketiga di pondok kelapa menyebabkan warganya pergi ke pusat kota dimana ruang ketiga lebih baik dan hal ini menyebabkan kemacetan di akhir minggu. Tujuan dari penilitian ini adalah menerapkan kriteria ruang ketiga pada bangunan seni dan budaya sebagai wadah positif juga wadah komunitas bagi lingkungan.
PERANCANGAN ARSITEKTUR RUANG BERMAIN MASA DEPAN DI PLUIT Laurensia Virginia Wijaya; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10775

Abstract

Playing is an activity of expressing yourself without coercion with pleasure provides many benefits in moral development, motoric, cognitive, language and social development, especially in socializing and communicating between players and their surroundings. In the infancy of children playing also one of the important part, not only for children but also adults who need time to relax their mind by playing. There are two types of games, namely traditional games, which are rarely found compared to modern games, which are rarely found compared to modern games that are more interested. Nowadays, many traditional games have been replaced with modern games, so that many children are slowly forgetting traditional games. With the development of technology and the increasing willingness of society, so many new and very modern games have emerged. With this project will unite two different games into one unit. Enjoy games for both children and adults. Creating values that can be useful for children and not forgetting traditional games or replacing them with modern games today. Keywords: Future ; Playing ; Technology AbstrakBermain merupakan kegiatan mengekspresikan diri tanpa paksaan dengan perasaan senang dan memberikan banyak manfaat dalam perkembangan moral, motorik, kognitif, bahasa serta perkembangan sosial terutama dalam bersosialisasi dan berkomunikasi antara pemain dan lingkungan sekitarnya. Bermain merupakan bagian terpenting dalam perkembangan anak-anak serta merupakan salah satu sarana hiburan dalam meghilangkan penat bagi mereka yang sudah memasuki dunia kerja maupun mereka yang sedang dalam masa studi (pelajar). Permainan tradisional dan permainan modern memberikan nilai tersendiri terhadap anak-anak dan orang tua. Pada masa sekarang dengan teknologi yang ada pada saat ini, permainan tradisional sudah mulai jarang dikenal oleh anak-anak generasi sekarang. Tidak menutup kemungkinan di masa depan teknologi akan menjadi semakin canggih dan permainan tradisional akan semakin lebih tidak dikenal lagi oleh anak-anak generasi akan datang. Lantas bagaimana permainan tradisional dapat selalu dikenal anak- anak generasi yang akan datang dengan diiringi oleh perkembangan teknologi yang akan menjadi semakin canggih. Proyek ini hadir sebagai sebuah tempat untuk bersenang-senang dengan bermain dan berteknologi bagi semua kalangan baik tua-muda, pelajar-pekerja, individu maupun kelompok. Dengan mengemas permainan tradisional dan teknologi menjadi satu kesatuan tanpa meninggalkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi anak-anak generasi sekarang dan akan datang serta dapat dinikmati juga oleh orang tua yang termasuk dalam generasi baby boomers sampai generasi Y.
PERANCANGAN ARSITEKTUR RUANG LIMINAL ANTARA SEBUAH DUALISME (BERTANI DAN MELAUT) Michael Gideon Josian; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10770

Abstract

The future of dwelling has a very board context and will continue to be discussed, it is possible that the discussions about “dwelling” is come from the environment of farming and fishing. Things that are not much cared for but still have a role in the survival of the world. Therefore this matter will be discussed using the role of architecture as space, to be able to create an ideal system by paying attention to the quality of farming and fishing for the future, and leaving a trace or memory to be able to carry messages for the future. Talking about the future of an interaction that occurs between the general public and farmers and fishermen, especially considering that farmers and fishermen themselves can be compared to two different poles, a liminal space is needed, which may already exist indirectly in the environment. By letting go of individual egos and emphasizing ego to the point of view of farmers and fishermen. To present a common space, or a place that contains a special character of a city that contains a message for the future. Keywords:  dualism; hope; liminal; trace;  Abstrak Masa depan cara berhuni memiliki konteks yang sangat luas dan akan terus diperbincangkan. Tidak menutup kemungkinan datang dari pembahasan mengenai cara berhuni dengan bertani dan melaut. Hal yang tidak banyak dipedulikan tetapi tetap memiliki peran dalam kelangsungan dunia. Oleh karena itu, masa depan berhuni ini akan dibahas dengan menggunakan peran arsitektur sebagai ruang, untuk dapat menciptakan sistem yang ideal dengan memperhatikan kualitas bertani dan melaut bagi masa depan, dan meninggalkan sebuah jejak atau kenangan untuk dapat membawa pesan bagi masa depan. Berbicara mengenai masa depan dari sebuah interaksi yang terjadi antara masyarakat umum dengan para petani dan nelayan, apalagi mengingat para petani dan nelayan itu sendiri dapat diibaratkan berada pada kedua kutub yang berbeda, maka dibutuhkanlah sebuah ruang liminal, yang mungkin sudah hadir secara tidak langsung pada lingkungan masyarakat. Dengan cara melepaskan ego individual dan menekankan ego kepada sudut pandang para petani dan nelayan. Untuk menghadirkan sebuah ruang bersama, atau sebuah tempat yang mengandung sebuah karakter tersendiri dari sebuah kota yang berisi pesan bagi masa depan.
EKOLOGI BUDAYA DAN TRADISI : HIDUP DI DALAM RUANG ARSITEKTUR MULTI ETNIS Varianotto Sanjaya; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 2 (2021): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i2.12479

Abstract

Humans are social creatures that are defined as living things that need the presence of other people directly or indirectly. Where as humans are creatures that couldn’t live alone and therefore, is in need of a second, third, or more individuals to carry out daily activities, which occur in succession, resulting in habits and become rules passed down from generation to generation to maintain the "face" or "value" of a group, which is one of the branches of the social ecological structure that exists in this modernization era, which is known as tradition and culture. The diversity of cultures and arts possessed by the Indonesian people is one of the gifts from the One Above All. With the results of this wealth (culture and tradition) it proves that diversity has occurred. Indonesia is a pluralistic country, so rich in culture as well as having thousands of regional identities. Therefore, it is true that there is a sense of pride in the Indonesian nation which is culturally diverse, with its diversity, there is still a strong unity and unity with the various existing tribes and ethnicities. . Bintan has natural wealth and high tourism potential in the social, cultural and natural fields. Bintan is one of the largest islands in the Riau Islands province (Segantang Lada). This archipelago area is also called the birthplace of Malay because this area used to be the Kingdom of Riau-Lingga, where the king was a Malay person. Apart from being Malay, Bintan has the culture and traditions of other tribes that participate in the development and growth of development and its community, namely the people of the Sea Tribe (Proto Melayu) and the Tiong Hoa ethnicity. Over time the customs and culture passed down from generation to generation, this architectural design aims to add and teach knowledge and history of the traditions and culture that exist within Bintan, and transmit the architectural styles of these tribes into a new style that influenced by the organic architectural style, as well as taking into account the environment of the surrounding ecosystem, in enriching the atmosphere or adding a taste to the surrounding environment. The design process in this design is to analyze the problems encountered, so as to issue ideas or ideas for programming that are in accordance with the problem. The Main Program is then adjusted to the selected site based on the existing criteria, so that it can produce design results that form or add value to the site environment. Keywords:  Culture ; Ecosystem ; Enviroment ; Ethnicity ; Tradition.ABSTRAKManusia merupakan makhluk sosial yang didefinisikan sebagai, mahkluk hidup yang membutuhkan kehadiran orang lain secara langsung atau tidak langsung. Dimana manusia dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan individu kedua, ketiga, dan seterusnya untuk melakukan aktivitas sehari-hari, yang terjadi secara beruntun, mengakibatkan kebiasaan dan menjadi aturan yang diturun temurunkan untuk menjaga “wajah” atau “nilai” dari sebuah kelompok, yang merupakan salah satu cabang dari struktur ekologi sosial yang ada pada era modernisasi ini, yang disebut sebagai tradisi dan kebudayaan. Keragaman budaya dan seni yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan  salah satu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan hasil kekayaan (Budaya dan tradisi) ini membuktikan bahwa keanekaragaman telah terjadi Indonesia adalah negara yang majemuk, begitu kekayaan budayanya sekaligus memiliki ribuan identitas kedaerahan. Oleh karena itu, memang demikian adanya rasa kebanggaan dengan bangsa Indonesia yang majemuk budaya,dimana dengan keaneragamannya, tetap terjadi persatuan dan kesatuan yang erat dengan berbagai macam suku dan etnis yang ada. . Bintan memiliki kekayaan alam serta potensi pariwisata yang tinggi di bidang sosial,budaya dan alam. Bintan merupakan salah satu pulau terbesar yang berada di provinsi Kepulauan Riau (Segantang Lada). Daerah Kepulauan ini juga disebut dengan bumi melayu karena daerah ini dulunya merupakan dibawah kekuasaan kerajaan riau-lingga dimana rajanya merupakan orang melayu. Selain melayu, Bintan memiliki budaya dan tradisi dari suku lain yang ikut serta dalam pengembangan dan pertumbuhan pembangunan dan marsyarakatnya yaitu bangsa Orang Suku Laut (Proto Melayu) dan etnis Tiong Hoa. Seiring waktu kebiasaan dan budaya turun temurun dari generasi ke generasi semakin menurun, maka perancangan Arsitektur ini bertujuan untuk menambahkan dan mengajarkan ilmu dan sejarah atas tradisi dan budaya yang ada didalam Bintan, serta memancarkan gaya arsitektur dari suku-suku tersebut kedalam satu gaya yang baru yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur organik, serta mempertimbangka lingkungan ekosistem sekitar, dalam memperkaya suasana atau menambahkan cita rasa lingkungan sekitar. Dengan Rancangan ini yang bertujuan untuk mengembangkan dan memperkenalkan serta mempreservasikan kebudayaan dan tradisi yang ada di pulau Bintan . Proses  Perancangan pada desain ini adalah, melakukan analisa terhadap permasalahan yang dihadapi, sehingga mengeluarkan gagasan atau ide untuk pemograman yang sesuai dengan permasalahan. Program Utama kemudian di sesuaikan dengan tapak yang terpilih atas kriteria – kriteria yang ada, sehingga dapat membuahkan hasil rancangan yang membentuk atau menambahkan nilai pada lingkungan tapak.  
RUANG BELAJAR MASA DEPAN : SEBUAH TIPOLOGI BARU BANGUNAN PENDIDIKAN Sebastian Michael Kwee; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 2 (2019): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i2.4469

Abstract

School is an institution for educating children in the supervisor of their teachers. School facilities are always evolving to follow the times due to technological developments and changes in behavior of users. Indonesia is still experiencing problems in poor classroom conditions around 65% of the condition of classrooms in Indonesia is still experiencing damage, especially in the Elementary School level. Primary schools in the Jakarta area generally still use a conventional system where teachers are still teaching in one direction, and classrooms that use desk systems are lined up, and lack communal spaces for different ways of learning. This indicates that there is no relevance between the school and its users, where millennials have begun to dominate the world of education to become teachers with more innovative methods, and students who already have different learning methods, especially with the availability of technology and more varied trends. The proposed program, which is the future learning space, is a learning facility that fits the context of the needs of Jakarta residents, where the millennial generation can use a more varied and flexible teaching method, which causes Z generation onwards to learn in their own style. As well as supporting programs such as shared work spaces, sports facilities that can support millennial activities in the Cakung area, East Jakarta and surrounding areas.AbstrakSekolah adalah suatu lembaga pendidikan yang dirancang khusus untuk mendidik siswa/ murid dalam pengawasan pengajar atau guru. Fasilitas sekolah selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman dikarenakan adanya perkembangan teknologi serta perubahan perilaku dari penggunanya. Indonesia masih mengalami masalah dalam kondisi ruang kelas yang buruk sekitar 65% kondisi ruang kelas di Indonesia masih mengalami kerusakan, khususnya dalam taraf Sekolah Dasar. Sekolah Dasar di daerah Jakarta pada umumnya masih menggunakan sistem konvensional dimana guru masih mengajar secara satu arah, dan ruang kelas yang menggunakan sistem meja berderet, serta kurangnya ruang- ruang komunal untuk cara belajar yang berbeda. Hal ini menandakan sudah tidak ada relevansi antara sekolah dengan penggunanya, dimana milenial sudah mulai mendominasi dunia pendidikan menjadi pengajar dengan metode yang lebih inovatif, serta murid- murid yang sudah memiliki cara pembelajaran yang berbeda, terutama dengana adanya bentuan teknologi dan tren yang lebih variatif. Program yang diusulkan, yaitu ruang belajar masa depan adalah fasilitas belajar yang sesuai dengan konteks keperluan warga Jakarta dimana generasi milenial dapat menggunakan metode mengajar yang lebih variatif dan fleksibel, yang menyebabkan generasi Z serta seterusnya dapat belajar dengan gaya mereka sendiri. Serta adanya program pendukung seperti ruang kerja bersama, fasilitas olahraga yang dapat mendukung kegiatan milenial yang ada di daerah Cakung, Jakarta Timur dan sekitarnya. 
RUANG KETIGA SEBAGAI MEDIA INTERAKSI DI WIJAYA KUSUMA Ruliana Ruliana; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 2, No 2 (2020): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v2i2.8545

Abstract

Based on site analysis in Wijaya Kusuma, there is social gap between two social groups which are living side by side but rarely interacting to each other because there isn’t any place to accommodate their interactions, this region’s population mostly are school-aged children and there’s a large number of schools in this region, so Wijaya Kusuma Playscape as a third place hopefully could be the answer of the problem, by using playing as a medium where can be a place for the two social groups to interact, as well as a non-formal education forum for local residents. Using observation and interview methods to collect the data and using analogy method as the design method. Using tree house as the design concept to build playful ambience and the theory of the third place by Ray Oldenburg also applied in this project. Hopefully Wijaya Kusuma Playscape could be a place where people can meet, interact, play, and learn in Wijaya Kusuma. Keywords:  interact; play; third place Abstrak Berangkat dari investigasi tapak di Kelurahan Wijaya Kusuma, berdasarkan analisis kawasan, dilihatnya ada kesenjangan sosial dimana terdapat dua golongan sosial yang hidup berdampingan namun kurang berinteraksi karena tak ada wadah yang mempertemukan, dominasi penduduk yang berusia anak sekolah dengan jumlah sekolah yang banyak pada kawasan ini, maka dibuatlah Wijaya Kusuma Playscape sebagai ruang ketiga yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari analisis masalah yang ditemukan, dengan menggunakan media bermain dapat menjadi wadah kedua golongan sosial tersebut untuk berinteraksi, serta menjadi wadah pendidikan non-formal bagi warga sekitar. Menggunakan metode observasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan metode analogi sebagai metode perancangan. Konsep perancangan menggunakan konsep rumah pohon untuk menciptakan suasana bermain yang asik dan menerapkan teori ruang ketiga dari Ray Oldenburg ke dalam perancangan. Diharapkan Wijaya Kusuma Playscape dapat menjadi tempat berkumpul, berinteraksi, bermain, dan belajar di Kelurahan Wijaya Kusuma.
DALIHAN NA TOLU: “CARA HIDUP ORANG BATAK” Livia Angelina Soetanto; Maria Veronica Gandha
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 3, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v3i1.10807

Abstract

Dalihan Na Tolu is a philosophical meaning for Batak ethnic group which means ‘tungku tiga kaki’ in Indonesian. Dalihan Na Tolu has become the dwelling of the Batak people which is a three-inseparable unity (respect, help, and appriciate) in the life of the Batak people and is implemented into the concept of the traditional Batak house architecture. This project will expose the life of the ethnic group to the outside community, in order to other people understand the way of living, eating, socilizing, and understanding the history of Batak ethnicity. The project will eliminate any negative stigma about the group. In addition, this will give Batak people different perspective about outsiders. As a result, the value of the area in Cililitan which has been exclusive will increase. Moreover, the design solution offers re-creating interactive programs that elevate the essence of the Batak people. This can be done by adapting architectural details from traditional Batak housesandornaments. For example, the use of windveil with Batak Gorga motifs, wooden blinds with geometric shapes of Ulos cloth motifs, and solar panels to produce and save energy. In conclusion, the building that is designed becomes music through air, light, and sound Keywords: Batak; Cililitan; Dalihan Na Tolu; Dwelling; Windveil AbstrakDalihan Na Tolu berarti mengembalikan esensi seluruh etnis Batak yang artinya tungku tiga kaki. Dalihan Na Tolu ini menjadi cara hidup orang Batak yang merupakan tiga kesatuan (menghormati, menghargai, dan menolong) yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang Batak dan juga implementasi ke dalam konsep rumah adat Batak. Proyek ini bertujuan untuk mengeskpos kehidupan etnis Batak kepada masyarakat luar, sehingga masyarakat luar dapat merasakan cara berhuni orang Batak mulai dari berhuni, makan, besosialisasi, berinteraksi, dan sejarah tentang orang Batak, sehingga tidak muncul lagi stigma-stigma negatif tentang orang Batak. Selain dari itu, dari kalangan orang-orang Batak sendiri dapat melihat ke arah luar, di mana banyak masyarakat luar yang tertarik dan ingin tahu tentang cara hidup dan berhuni orang Batak sehingga dapat meningkatkan nilai kawasan di Cililitan yang selama ini bersifat eksklusif. Solusi yang ditawarkan ke dalam perancangan adalah mengangkat kembali program-program interaktif yang mengangkat esensi orang Batak menjadi program-program pada perancangan, begitu pun detail-detail arsitektur yang mengadaptasi dari rumah adat Batak, dan ornamen-ornamen Batak seperti penggunaan windveil dengan motif gorga Batak, penggunaan krepyak kayu dari bentuk geometris motif kain ulos, maupun solar panel untuk menghemat energi yang menghasilkan pengudaraan, dan pencahayaan alami. Jadi bangunan yang di desain menjadi bermusik lewat udara, cahaya, dan suara.