Muhammad Solikhudin
Institut Agama Islam Negeri Kediri

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Kontroversi dan Kritik Terhadap Hadis Riwayat Abu Hurairah Muhammad Solikhudin; Khamim Khamim
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman Vol. 9 No. 1 (2021): Juni
Publisher : INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52431/tafaqquh.v9i1.343

Abstract

Abstrak: Abu> Hurairah merupakan rija>l al-h}adis yang paling fenomenal. Dia merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dengan jumlah 5374. Kendati kuantitas hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah paling banyak namun kualitasnya dipertanyakan oleh sebagian orang. Bermula dari permasalahan tersebut dapat dipahami, bahwa yang menjadi salah satu persoalan mendasar dalam studi hadis, yaitu masalah rija>l al-h}adis. Sebab rija>l al-h}adis akan menentukan derajat hadis, sebagai hadis s}ah}i>h, h}asan atau d}ai>f. Sementara, rija>l al-h}adis tidak memiliki kompetensi yang sama saat menerima, menghafal dan mencatat hadis. Apalagi dalam beberapa keterangan dijelaskan bahwa kepandaian baca dan tulis para sahabat di masa Rasu>l Alla>h sangat terbatas. Hal yang banyak dilakukan oleh sahabat saat menerima hadis dari Rasu>l Alla>h saat itu hanyalah menghafal, memahami, memelihara serta menyampaikannya kepada orang lain. Untuk itu, dalam artikel ini akan dibahas tentang seorang rija>l al-h}adis, Abu> Hurairah yang tergolong sahabat Rasu>l Alla>h yang fenomenal, karena meriwayatkan hadis terbanyak dibandingkan dengan sahabat Rasu>l Alla>h yang lainnya. Padahal dari segi masa berkumpulnya dengan Rasu>l Alla>h, Abu> Hurairah tergolong sangat singkat bila dibandingkan dengan Sayyidah A<<<<<isyah yang terkenal sebagai umm al- mu’mini>n. Inilah yang menimbulkan kontroversi tentang hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah. Agar pembaca memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait Abu> Hurairah akan penulis tuangkan pikiran penulis ini dalam sebuah artikel yang berjudul kontroversi dan kritik terhadap hadis riwayat Abu> Hurairah. Kata Kunci: Kontroversi, Kritik, Hadis, dan Abu> Hurairah Abstract: Abu> Hurairah is the most phenomenal rija>l al-h}adis. He is the friend who narrated the most hadis with the number of 5374. Although the quantity of hadis narrated by Abu> Hurairah is the highest, the quality is questioned by some people. Starting from this problem it can be understood, that which is one of the fundamental problems in the study of hadis, namely the problem rija>l al-h}adis. Because rija>l al-h}adis will determine the degree of hadis, as a hadis s}ah}i>h, h}asan or d}ai>f. Meanwhile, rija>l al-h}adis does not have the same competence when receiving, memorizing and recording hadis. Moreover, in several statements it was explained that the reading and writing skills of the friends during the Rasu>l Alla>h era were very limited. what many friends did when receiving hadith from Rasu>l Alla>h at that time was only memorizing, understanding, maintaining and conveying it to others. For this reason, this article will discuss about a rija>l al-h}adis, Abu> Hurairah who is a phenomenal friend of Rasu>l Alla>h, because he narrated the most hadiths compared to other Rasu>l Alla>h friends. In fact, in terms of the period of his association with Rasu>l Alla>h, Abu> Hurairah was very short when compared to Sayyidah A<isyah who was known as umm al-mu'mini>n. This has caused controversy about the hadis narrated by Abu> Hurairah. In order for the reader to gain a comprehensive understanding of Abu> Hurairah, the writer will write his thoughts in an article entitled controversy and criticism of the hadis narrated by Abu> Hurairah. Keywords: Controversy, Criticism, Hadis, and Abu> Hurairah
Tinjauan Maqashid Shari’ah Terhadap Pola Penyesuaian Perkawinan Ngalor Ngulon di Nganjuk Muhammad Solikhudin; Lutfi Masruroh; Mochammad Agus Rachmatulloh
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.241

Abstract

Perkawinan merupakan sesuatu yang dilakukan untuk menghalalkan antara laki-laki dan perempuan. Dengan memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan. Namun pada kenyataannya di Desa Katerban ini terhalang oleh tradisi larangan perkawinan Ngalor Ngulon. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk menelitinya agar pandangan masyarakat lebih luas mengenai pernikahan Ngalor Ngulon. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dan konseptual dengan jenis penelitian lapangan (field research) dan kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Praktik pola penyesuaian merupakan cara yang dilakukan oleh masyarakat yang mempercayai hukum adat setempat dan juga tetap melangsungkan perkawinan Ngalor Ngulon Desa Katerban Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk.. Ditinjau dari segi maqashid shari’ah dapat dipahami, Pola penyesuaian perkawinan adat Ngalor Ngulon cara yang digunakan masyarakat Desa Katerban yang masih tetap mempercayai adanya larangan adat perkawinan Ngalor Ngulon dan juga tetap melangsungkan perkawinan Ngalor Ngulon. Adapun praktik pola penyesuaiannya dengan cara merubah Kartu Tanda Penduduk, melangsungkan resepsi di rumah salah satu mempelai saja, dan melakukan tasyakuran. Proses atau cara tersebut dilakukan oleh salah satu mempelai dan mayoritas yang melakukannya adalah mempelai pria. Kedua, dari segi maqashid shari’ah masuk dalam tingkatan “dharuriyyat” (kebutuhan yang paling utama). Pada tingkatan ini masuk dalam hifdzu din dan hifdzu nasl.
Women and Political Leadership in Islam: Ma'nā-cum-Maghzā Critical Hermeneutic Study Muhammad Fauzinuddin Faiz; Nurul Huda; Akhmad Khubby Ali Rohmad; Muhammad Solikhudin; Sheyla Nichlatus Sovia
Islamica: Jurnal Studi Keislaman Vol. 17 No. 2 (2023): March
Publisher : Postgraduate Studies of Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/islamica.2023.17.2.293-312

Abstract

This paper describes and analyzes the textual-contextual h}adīth on the prohibition of women’s leadership in the public sphere. This study is a critical hermeneutic with the theory of ma‘nā-cum-maghzā, by making the literal origin (historical meaning, explicit) the starting point for understanding the central message of the text (implied meaning). The results of this paper indicate that women may become leaders in public affairs because textually and linguistically, the word lan yufliḥ, which means ‘will not be successful,’ in the h}adīth does not apply permanently (mu’abbad), but only temporally (mu’aqqat). Contextually, the h}adīth prohibited women from becoming leaders because the condition of women at the time of the h}adīth did not allow them to handle social affairs due to the lack of knowledge and experience and the existence of deceit and greed, which could happen to anyone who had ambitions of power, men as well as women. Meanwhile, nowadays, many women have the expertise, knowledge, and managerial-organizational experience to support these matters.