Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

SISTEM MATRILINEAL DAN HUBUNGANNYA TERHADAP HAK HADHANAH MENURUT ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM Fatmah Taufik Hidayat; Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim
At-Tafkir Vol 9 No 1 (2016): AT-TAFKIR: Jurnal Pendidikan, Hukum dan Sosial Keagamaan
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN Langsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Anak yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya baik karena bercerai atau meninggal dunia berhak mendapat penjagaan. Penjagaan anak yang sebegini di dalam Islam dikenal dengan Hadhanah. Islam telah mengatur siapa yang berhak menunaikan Hadhanah ini dan bagaimana Hadhanah ini dijalankan. Suku Minangkabau merupakan salah satu suku di Indonesia yang menerapkan sistem penasaban Matrilineal dimana garis keturunan diturunkan ke sebelah perempuan. Sistem Matrilineal ini juga mempengaruhi sistem Hadhanah. Maka oleh karena itu kajian ini bertujuan melihat bagaimana penerapan hadhanah di masyarakat Minangkabau dan kaitannya dengan syariah Islam. Kajian ini merupakan kajian literatur dimanadari sumber sekunder yaitu mengumpulkan informasi dari jurnal, prosiding, buku dan bahan ilmiah lainnya yang mendukung. Hasil kajian menunjukkan susunan penjaga utama di dalam sistem hadhanah yang diterapkan oleh masyarakat Minangkabau itu sejalan dengan ajaran syariah Islam. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam memilih ibu sebagai yang utama dalam susunan sistem Hadhanah itu dijalankan di mana di dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemashalahatan si anak, akan tetapi bagi masyarakat Minangkabau menerapkan hal itu karena adat (sistem matrilineal) mereka.
Pluralisme dan Implikasinya terhadap Moderasi Beragama: Analisis Tafsir Tematik Nanda Riswanda Pohan; Pohan , Nanda Riswanda; Lukmanul Hakim; Saidul Amin; Jani Arni; Fatmah Taufik Hidayat
Jurnal Semiotika Quran Vol 4 No 1 (2024): Jurnal Semiotika-Q: Kajian Ilmu al-Quran dan Tafsir
Publisher : Program Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/jsq.v4i1.25977

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pluralisme dan implikasinya terhadap moderasi beragama berdasarkan berbagai sudut pandang mufasir terkemuka di dunia penafsiran al-Qur’an, diantaranya yaitu Zamakhsari dengan tafsirnya al-Kasyaf, Wahbah Zuhaili dengan tafsirnya al-Munir, buya Hamka dengan tafsrinya al-Azhar, Quraiys Shihab dengan tafsirnya al-Misbah dan Hasbi as-Shiddiqy dengan tafsirnya an-Nur. Untuk memaksimalkan hasil penelitian maka tulisan ini akan mengunakan metode deskriptif-intepretatif, yaitu dengan mencari data yang akurat dari berbagai tafsir, buku, artikel dan literatur yang bersangkutan dengan judul tulisan kemudian menjelaskanya secara sistematis dan faktual. Ayat yang dipakai dalam penelitian ini adalah QS. al-Baqarah: 256, al-Hujurat: 13 dan al-Mumtahanah: 8-9. Setelah melakukan analisis, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tersebut para mufasir lebih cenderung menyatakan bahwa dalam ajaran agama Islam unsur-unsur pluralisme sangat diakui akan eksistensinya dalam menggapai toleransi beragama, serta Islam adalah agama dengan misi perdamaian sepanjang masa. Dalam konteks keberagaman dari berbagai macam sisi Islam hadir melalui al-Qur’an sebagai acuan untuk terus merawat dan menjaga keberagaman dengan baik. Maka dari itu jika pluralisme ini dimplementasikan oleh seluruh pemeluk agama akan sangat berdampak positif bagi moderasi dan kerukunan beragama.   
Akad Hiwalah Dalam Mazhab Syafi'i: Hiwalah Mazhab Syafi'i nita, rahmanita azhar; Fatmah Taufik Hidayat
Jurnal Al-Nadhair Vol 3 No 02 (2024): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v3i02.91

Abstract

Abstrak: Penelitian ini membahas pandangan mengenai akad hiwalah dalam Mazhab Syafi’i, yang dikenal sebagai perpindahan tanggung jawab utang dari satu pihak ke pihak lain. Tujuan utama penelitian adalah menguraikan makna hiwalah, landasan hukumnya berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan ijma' ulama, serta perbedaan pandangan antar mazhab. Metodologi yang digunakan adalah kajian pustaka dengan pendekatan filosofis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mazhab Syafi’i memiliki persyaratan ketat dalam pelaksanaan akad hiwalah dibandingkan Mazhab Hanafi. Meski demikian, mayoritas ulama sepakat bahwa hiwalah diperbolehkan selama memenuhi rukun dan syarat tertentu. Akad hiwalah bermanfaat dalam menyelesaikan masalah utang-piutang, mempermudah interaksi sosial, dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Hiwalah mempermudah dalam menyelesaikan utang piutang, dengan adanya hiwalah terdapatnya sarana prasarana dalam hibah bagi orang yang membutuhkan. Adanya kesaman sedikit dalam Mazhab Syafi’i, mazhab hanafi karena mazhab hanfiah banyaknya mempermudahkan umatnya dalam akad, sedangkan syafi’iyah, malikiyah banyak memiliki persyaratan yang harus dipenuhi jika tidak maka akad itu akan gugur. Kata kunci: Akad Hiwalah, Mazhab Syafi’i, utang-piutang.
Konsep Dasar Adh-Dhaman (Penjaminan) Rizki Eliana; Musyrifah Salmi; Fatmah Taufik Hidayat
Al-Tarbiyah : Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol. 3 No. 1 (2025): Januari: Al-Tarbiyah: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam
Publisher : STAI YPIQ BAUBAU, SULAWESI TENGGARA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59059/al-tarbiyah.v3i1.1945

Abstract

Adh-dhaman is an essential concept in Islamic law, particularly related to liability and obligations for damages or harm caused by an individual to the property or rights of others. The term originates from the Arabic word dhimmah, which means responsibility or obligation, and has broad applications in the context of muamalah (social and business interactions). The legal basis for Adh-dhaman in Islamic law is found in both the Qur'an and the sayings of Prophet Muhammad (peace be upon him). In the Qur'an, Allah says, "And do not consume one another’s wealth unjustly" (Surah Al-Baqarah: 188). This reflects the principle that no one should unlawfully take the rights of others, and if they do, they are obligated to make restitution. In the hadith, the Prophet (peace be upon him) said, "There should be neither harming nor reciprocating harm" (Narrated by Ibn Majah). This hadith emphasizes that in Islam, any act that causes harm to others, whether directly or indirectly, must be accounted for. Adh-dhaman involves two primary elements: sabab (cause) and dhaman (compensation). In every case, Islamic law considers the intention and the degree of negligence to determine whether a person is obligated to compensate and the extent of that compensation.
Analisis Hukum Ijarah dalam Transaksi Sewa Menyewa Tinjauan Fiqih Muamalah Ikrar Hakiki; M. Alviano Dwi Naufal Sitompul; Harpan Harahap; Fatmah Taufik Hidayat
Jejak digital: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 1 No. 4 (2025): JULI
Publisher : INDO PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63822/0fhwnz18

Abstract

Islam muncul sebagai sumber kedaulatan yang baru pada abad VII, setelah hancur dan runtuhnya kekaisaran Romawi. Kehancuran dan keruntuhan itu ditandai dengan berkembangnya peradaban baru yang sangat mengagungkan. Kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta kehidupan sosial lainya, termasuk ekonomi Islam yang berkembang secara paralel dan simultan sesuai dengan perkembangan zaman. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam merupakan sitem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek kehdupan, baik aspek hukum Islam (syari’ah), sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spiritual. Dalam kajian sejarah hukum Islam (syari’ah), pada awal masa kenabian sampai pada wafatnya Rasulullah saw. tidak ada persoalan hukum Islam (syari’ah) di masyarakat yang tidak dapat diselesaikan. Karena setiap ada persoalan hukum Islam (syari’ah) yang muncul selalu diserahkan kepada otoritas Rasulullah saw. yang mendapat bimbingan langsung dari Allah swt. banyak yurisprudensi hukum dari Rasulullah saw. yang oleh para sahabat pada waktu itu tidak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur’an.
Fiqih Muamalah Sebagai Solusi Dalam Menghadapi Praktik Riba dan Gharar Fikri Ibnu Fazda; Fadil; Fatmah Taufik Hidayat
Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory Vol. 2 No. 4 (2024): This volume covers topics such as women's rights, inheritance law, crime preven
Publisher : Sharia Journal and Education Center Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ijijel.v2i4.796

Abstract

Fiqh Muamalah, as an essential branch of Islamic jurisprudence, provides ethical and legal guidelines for economic activities, especially in addressing practices that contradict Islamic principles, such as riba (usurious interest) and gharar (uncertainty in transactions). These concepts are prohibited in Islam due to their exploitative and unjust nature. This article explores how fiqh muamalah can serve as an effective solution in minimizing and even eliminating such practices by establishing a foundation for fair, transparent, and non-exploitative transactions. Through a normative approach and analysis of contemporary financial practices, the article highlights the significance of Sharia-compliant contracts, such as murabaha, mudarabah, and musharakah, in avoiding riba and gharar. This study also emphasizes the need for a deep understanding of fiqh muamalah principles, enabling individuals to conduct economic activities in accordance with Sharia, fostering a fair and sustainable economy. Thus, fiqh muamalah is not only relevant as a legal guide but also serves as an ethical tool for economic development within the Muslim community.