Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam

PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI SERTIFIKASI TANAH WAKAF PADA MASYARAKAT Supraptiningsih, Umi
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol 9, No 1 (2012)
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.934 KB) | DOI: 10.19105/nuansa.v9i1.22

Abstract

Tanah wakaf adalah melanggengkan manfaat tanah untuk kepentingan umum, diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Tujuan penelitian, yaitu pertama, mendeskripsikan pemahaman masyarakat tentang syariat wakaf tanah dan keberlangsungan manfaatnya. Kedua, mendeskripsikan pola dan problem pelaksanaan perwakafan tanah hak milik. Ketiga, merumuskan jaminan kepastian hukum perwakafan tanah hak milik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan Pertama, pemahaman masyarakat Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan tentang syariat wakaf tanah milik dalam rangka untuk tempat ibadah (masjid atau mushola), dan lembaga pendidikan. Kedua, Pemikiran masyarakat tentang wakaf banyak dipengaruhi oleh para tokoh dan para ulama. Problem yang sering terjadi dalam pelaksanaan wakaf adalah pada saat penyerahan harta wakaf oleh wakif kepada nazhir tanpa persetujuan dari calon ahli waris wakif, maka ahli warisnya terkadang menggugat tanah orang tuanya dikembalikan atau melakukan gugatan. Ketiga, Dalam pelaksanaan wakaf hak milik, jarang yang didaftarkan sehingga tidak Sertipikat.
KESIAPAN PENEGAK HUKUM DI KABUPATEN PAMEKASAN DALAM PEMBERLAKUAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Supraptiningsih, Umi
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol 11, No 1 (2014)
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (133.94 KB) | DOI: 10.19105/nuansa.v11i1.185

Abstract

Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2012 No 153 Tambahan Lembaran Negara RI No. 5332, selanjutnya disingkat UU-SPPA) merupakan “harapan” bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban untuk tetap mendapatkan hak-haknya. Hal penting yang diatur dalam UU-SPPA adalah pelaksanaan diversi yaitu pengalihan penyelesaian pidana anak dari proses peradilan pidana di luar peradilan pidana. Langkah diversi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keadilan restorasi (restoratif justice) yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan untuk pembalasan. UU-SPPA merupakan penyempurna atas pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku selama ini. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemberlakuan UU-SPPA ada dua aspek, yaitu fisik dan non fisik. Persiapan secara fisik yang berupa sarana dan prasarana, yang selama ini masih belum ada karena semua persiapan itu membutuhkan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Pemerintah daerah harus mempersiapkan lembagalembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Sedangkan persiapan non fisik meliputi penegak hukum yang mempunyai sertifikat sebagai penyidik anak, jaksa anak dan hakim anak. Faktor pendukung berlakunya UU-SPPA adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU ini telah mengakomodir kepentingan dan perlindungan anak yang selama ini telah mewarnai penyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan faktor penghambat atas pemberlakuan UU-SPPA yang paling dominan justeru ada pada UU-SPPA itu sendiri karena masih banyak aturan yang memerlukan petunjuk teknis untuk melaksanakannya, seperti aturan tentang prosedur diversi. Jika diversi merupakan amanat dalam UU-SPPA, maka selama lembaga-lembaga baru belum tersedia, maka pelaksanaan diversi akan mengalami hambatan, dimana anak harus ditampung? Demikian juga selama belum tersedia penegak hukum khusus anak, maka amanat UU-SPPA juga tidak akan terlaksana.
KARAKTERISTIK PENGEMIS PEREMPUAN DI KECAMATAN TLANAKAN KABUPATEN PAMEKASAN Supraptiningsih, Umi
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol 13, No 2 (2016)
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (231.384 KB) | DOI: 10.19105/nuansa.v13i2.1104

Abstract

The constitution 1945 has guaranteed the poor and neglected children as stated in Article 34. The homeless, beggars and street children can also be categorized as poor that are maintained by the state. In fact, the portraits of beggars, especially in Pamekasan regency have become a spectacle and terrible habits. The question is whether the beggars obviously meet the criteria of the poor? This is what we need to look deeply as begging become habit or living. In this study, the researcher wanted to know and map the characteristics of female beggars in the District of Tlanakan Pamekasan. Beggar’s view and understanding of the needs of life is merely about to eat and to drink. The desire to stop their habits and having a job may become solutions for them to fill their needs. Female beggars actually have a psychological concern when they are begging in the streets, shopping centers, government offices, and door to door. They feel ashamed to even if people’s responds and attitude towards them are normal. They desired to end the habits as they are old and no longer be able to walk; so that, they do an easy thing to support their own needs.