Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Wasiat Wajibah bagi Anak Adopsi untuk Mendapat Harta Waris Mila Yuniarsih; Hasyim Muzakki A. W.; Ika Viona Nur ’Aini; Zainatul Ilmiyah
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 3 No. 1 (2022): Februari
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v3i1.119

Abstract

Abstract: In Islamic Law, Adopted children are different from biological children in the division of inheritance. The biological child is entitled to an inheritance, while the adopted child is not an heir, so he not is entitled to an inheritance. However, he is entitled to a maximum of 1/3 of the inheritance through a mandatory will. This becomes a question, what happens when parents want to give inheritance to their adopted children. This research discusses the mandatory will for adopted children to get inheritance by analyzing the Palembang Religious Court Decision No. 35/Pdt.G/2018/PTA. This research is a type of literature research. The nature of his research is descriptively analytical, using a qualitative approach. The primary data source used is the Palembang Religious Court Decision No. 35/Pdt.G/2018/PTA. Plg while secondary data in the form of books and journal articles. The collected data is then organized, edited and analyzed through deductive analogies. The results of the study yielded two conclusions. First, in Court Decision No. 35/Pdt.G/2018/PTA. PLg, the judge granted inheritance rights to adopted children through compulsory wills under article 209 of the Compilation of Islamic Law and the benefit of adopted children. Because both parents have died, the adopted child gets 1/6 of each adoptive parent so that it does not exceed 1/3 of the inheritance.  Second, from the Islamic law perspective, Court Decision No. 35/Pdt.G/2018/PTA. PLg on the will of the obligatory has been in accordance with Islamic law. Keywords: Adoption, compulsory wills, inheritance, Islamic law.   Abstrak: Dalam Hukum Islam, status anak angkat berbeda dengan anak kandung dalam pembagian warisan. Anak kandung berhak mendapat warisan, sedangkan anak angkat ia bukan ahli waris sehinggat tidak berhak mendapat warisan. Hal ini menjadi pertanyaan, bagaimana ketika orang tua ingin memberikan peninggalan kepada anak angkat. Penelitian ini membahas tentang wasiat wajibah bagi anak angkat untuk mendapat harta waris dengan menganalisis Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 35/Pdt.G/2018/PTA. Penelitian ini berjenis penelitian pustaka. Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data primer yang digunakan yakni Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 35/Pdt.G/2018/PTA. Plg  sedangkan data sekunder berupa buku dan artikel jurnal. Data yang terkumpul kemudian diatur, disunting dan dianalisis melalui analogi deduktif. Hasil penelitian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, dalam Putusan Pengadilan Agama Palembang No. 35/Pdt.G/2018/PTA.PLg, hakim memberikan hak waris pada anak adopsi melalui wasiat wajibah berdasarkan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan kemaslahatan anak adopsi. Karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia, maka anak angkat mendapat 1/6 dari masing-masing orang tua angkat sehingga tidak melebihi 1/3 harta waris. Kedua, ditinjau dari hukum Islam Putusan Pengadilan No. 35/Pdt.G/2018/PTA.PLg tentang wasiat wajibah telah sesuai dengan Hukum Islam. Kata kunci: Adopsi, wasiat wajibah, waris, hukum Islam.
Menimbang Kegentingan Memaksa sebagai Syarat Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Zainatul Ilmiyah -; Mega Ayu Ningtyas; Elva Imeldatur Rohmah
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 2 No. 6 (2021): Desember
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v2i6.120

Abstract

Abstract: Government Regulation in place of Law as a legal product of the president whose authority is given attributively by the constitution should only be issued in circumstances of compelling urgency. However, there is still a debate about the meaning of the urgency of coercion. Based on the results of normative juridical research with a statutory, historical and conceptual approach in this study, it has been found that PERPPU can be said to be 'staatsnoodrecht' or subjective emergency law, which is the prerogative of the president. So that there are no benchmarks or limits regarding the requirements for determining matters of forcing urgency because PERPPU is a legal product that aims to fill legal voids in abnormal situations. The PERPPU is only valid temporarily for approximately one year until the next session of the DPR. This process serves as a checks and balances mechanism by the legislative power to neutralize it again by approving or rejecting the existence of PERPPU in the next session to be ratified into law. From the results of this study, the authors suggest that in making PERPPU, the president should look at Article 22 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and pay attention to signs of other laws and regulations in the same field. In ratifying PERPPU into law, the DPR should also pay attention to the content that must be contained in the law. Keywords: PERPPU, urgency, emergency law Abstrak: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai produk hukum presiden yang kewenangannya diberikan secara atributif oleh konstitusi seharusnya diterbitkan hanya pada keadaan hal ihwal kegentingan memaksa. Namun masih menjadi perdebatan tentang pemaknaan mengenai hal ihwal kegentingan memaksa. Berdasarkan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan, historis dan konsepsional dalam penelitian ini telah ditemukan bahwa PERPPU dapat dikatakan sebagai ‘staatsnoodrecht’ atau hukum darurat subyektif yang menjadi kewenangan prerogatif presiden. Sehingga tidak ada tolak ukur atau batasan mengenai persyaratan penetapan hal ihwal kegentingan memaksa. Hal ini karena PERPPU merupakan sebuah produk hukum yang bertujuan mengisi kekosongan hukum dalam situasi yang tidak nomal. Sehingga PERPPU hanya berlaku temporer dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun hingga masa sidang DPR berikutnya. Proses ini sebagai mekanisme check and balances oleh kekuasaan legislatif untuk menentralisir kembali dengan menyetujui atau menolak keberadaan PERPPU dalam sidang berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang. Dari hasil penelitian tersebut penulis memberikan saran bahwa dalam pembuatan PERPPU, presiden hendaknya tidak hanya melihat Pasal 22 UUD NRI 1945 saja, tetapi juga memperhatikan rambu-rambu peraturan perundang-undangan lain yang sebidang. Dalam hal proses pengesahan PERPPU menjadi Undang-Undang, DPR hendaknya juga memperhatikan materi muatan yang harus ada dalam sebuah undang-undang. Kata Kunci: PERPPU, kegentingan, hukum darurat
Menakar Kebijakan Pendampingan Self Declare Halal oleh Perguruan Tinggi (Studi Kasus di Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo dan Uin Maulana Malik Ibrahim Malang) Junaidy, Abdul Basith; Ilmiyah, Zainatul
Wajah Hukum Vol 8, No 2 (2024): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/wjh.v8i2.1556

Abstract

This study examines various government efforts to encourage halal product assurance, especially through the creation of derivative regulations and the establishment of the Halal Product Assurance Organizing Agency (BPJPH). However, small to micro-scale business actors still need help, especially related to registration fees and understanding the importance of halal certification. The study aims to explain the role of universities in East Java in assisting halal certification for Micro and Small Enterprises (MSEs) while analyzing the legal aspects and maqashid sharia. Using field research methods and qualitative approaches, it was found that the role of universities is as PPH assistants for MSEs who meet the halal certification criteria through the self-declare route. The implementation of self-declare halal assistance is faced with the obstacle of maintaining the activeness of registered PPH assistants, and there are still business actors who need to meet the requirements in the assistance process, such as lack of information on materials and expired material certification. An effective monitoring system is required to overcome potential errors in the halal certification process. Universities are also expected to be able to create program innovations to strengthen and activate the role of PPH assistants. The government, in this case, especially BPJPH, also needs to create a more consistent policy regarding halal certification registration through the application so that the criteria of the Halal Product Assurance System (SJPH), which is built on five basic principle frameworks (arkanul halal) can be met.
Pelanggaran HAM Dalam Perdagangan Manusia Terhadap Pengungsi Rohingya Di Asia Tenggara Rohmah, Elva Imeldatur; Ilmiyah, Zainatul; Mardiyanto, Ibnu
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 5 No. 1 (2025): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/sosyus.v5i1.777

Abstract

Etnis minoritas Rohingya mengalami diskriminasi, kekerasan, dan pengusiran oleh pemerintah dan militer Myanmar. Akibatnya, banyak pengungsi Rohingya mencari perlindungan di negara-negara tetangga, seperti Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Namun, dalam perjalanan, mereka menjadi korban perdagangan manusia oleh sindikat kriminal yang mengeksploitasi mereka untuk tujuan seksual, tenaga kerja, atau organ tubuh. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dalam perdagangan manusia terhadap pengungsi Rohingya terjadi dalam berbagai bentuk dan tingkat, yang melibatkan berbagai aktor, baik negara maupun non-negara. Kasus perdagangan manusia di Asia Tenggara, khususnya yang melibatkan etnis Rohingya, juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mencakup kekerasan dan diskriminasi, kurangnya sumber daya dan lapangan kerja, kondisi keamanan yang buruk, keterbatasan sumber makanan, keterlibatan organisasi kriminal, dan keterbatasan kapasitas ASEAN dalam menangani masalah ini. Upaya perlindungan dan pencegahan terhadap perdagangan manusia terhadap pengungsi Rohingya juga masih belum memadai, baik dari sisi hukum, kebijakan, maupun praktik.
Aksentuasi Kedudukan Negara pada Hak Gugat Pemerintah atas Kerusakan Lingkungan: Tinjauan atas Public Trust Doctrine Ilmiyah, Zainatul
El-Dusturie Vol 4 No 1 (2025)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/eldusturie.v4i1.11524

Abstract

Praktek hak gugat pemerintah atas pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan pada rezim UUPPLH, dalam implementasinya menjadi hambatan dalam upaya perlindungan lingkungan hidup. Permasalahan ketentuan hak gugat pemerintah pada pasal 90 UUPPLH yang di batasi dalam konsep kepemilikan publik saja menjadi kendala bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum dan upaya perlindungan lingkungan atas semua kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mencari benang merah kembali bagaimana seharusnya kedudukan negara khususnya pada kewenangan pada hak gugat pemerintah atas kerusakan lingkungan pada kepemilikan privat. Berdasarkan hasil penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, komparatif, historis dan konseptual dalam penelitian ini telah ditemukan bahwa konsep hak gugat pemerintah pada pasal 90 UUPPLH lebih mirip dengan konsep doktrin public trust pada negara common law. Namun dalam praktiknya konsep kerugian dalam implementasi doktrin public trust di beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Swiss memberikan hak kepada pemerintah untuk melakukan gugatan atas pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tidak hanya pada sumber daya tak bertuan (unowned resources) tetapi juga pada sumber daya dalam hak milik (owned resources) yang didasarkan pada beberapa alasan seperti pada spesies tertentu, area yang dilindungi (protected area), kepentingan publik atau kepentingan khusus lainnya. Sehingga kedepannya pemaknaan tentang hak gugat pemerintah yang berlandaskan doktrin public trust tidak hanya didasarkan dari segi kepemilikan suatu sumber daya alam dan lingkungan hidup, tetap didasarkan pada kewajiban negara dalam melindungi lingkungan hidup untuk kepentingan publik.
REKONTEKSTUALISASI KONSEP TINDAKAN PEMERINTAH DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM GUGATAN ONRECHTMATIGE OVERHEIDS DAAD Ilmiyah, Zainatul
IBLAM LAW REVIEW Vol. 3 No. 2 (2023): IBLAM LAW REVIEW
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM IBLAM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52249/ilr.v3i2.303

Abstract

Salah satu konsekuensi dari perluasan kewenangan KTUN pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah dialihkannya seluruh gugatan onrechtmatige overheidsdaad menjadi kompetensi absolut PTUN. Kebijakan ini menimbulkan perdebatan dan kebingungan bagi masyarakat dan hakim apakah semua perbuatan melanggar hukum pemerintah menajdi kewenangan PTUN. Mengingat Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah tidak hanya berdimensi hukum publik saja tetapi juga hukum perdata. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendudukkan kembali konsep tindakan pemerintah dan akibatnya dalam penentuan kedudukan Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian ini ditemukan bahwa pasca diundangkannya PERMA Nomor 2 Tahun 2019 yang notabene mengalihkan kewenangan gugatan PMH Pemerintah seluruhnya kepada PTUN, masih banyak gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hal ini karena tidak ada penjelasan lebih lanjut pada PERMA tersebut tentang ruang lingkungan Perbuatan Melanggar Hukum Pemerintah yang menjadi kompetensi absolut PTUN. Selain itu ditemukan bahwa ternyata seluruh tindakan hukum pemerintah baik bersifat privat maupun publik selalu didahului dengan tindakan hukum publik. Sehingga seharusnya PTUN yang berwenang mengadili gugatan onrechtmatige overheidsdaad. Untuk memberikan kepastian hukum diharapkan pemerintah juga merevisi peraturan teknis yang berkaitan dengan ketentuan ganti rugi.
The Problem of Violating The Law on Information and Electronic Transactions in Democracy Country Rohmah, Elva Imeldatur; Ilmiyah , Zainatul; Ningtyas , Mega Ayu
Al-Jinayah : Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 7 No. 1 (2021): Juni 2021
Publisher : Islamic Criminal Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, Sunan Ampel State Islamic University Surabaya, Surabaya, East Java, Indonesia.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/aj.2021.7.1.190-212

Abstract

Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (ITE Law) is a law that regulates all matters concerning information technology applicable in Indonesia. As a democratic country, Indonesia upholds and respects freedom. In reality, the ITE Law creates many problems in the midst of society, because it is often used as a tool to limit freedom of speech and opinion. The results of this study indicate that the presence and implementation of the ITE Law which is considered to silence freedom of opinion and expression which is one of the pillars of democracy for social media users, is actually not all true. The existence of the ITE Law actually presses all parties to be more careful in their attitudes and expressions on social media. So that the negative impact or violation of the rights of freedom of others and other violations in the cyber world can be avoided. Then the freedom of opinion and expression can run well.  
Judical Restraint Kewenangan Badan Pengawas Pemilu Pasca Penetapan Hasil Perolehan Suara Secara Nasional Megita, Vina Septi; Ilmiyah, Zainatul
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 4 No. 3 (2023): Juni
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v4i3.237

Abstract

Salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis adalah adanya pemilu yang bebas dan tidak memihak. Berkenaan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang di satu sisi  menjalankan  fungsi  pengawasan  pemilu, dan di sisi lain mengadili pelanggaran pemilu apabila dilihat dari segi kelembagaan negara, maka dapat berpotensi munculnya abuse of power dalam suatu lembaga. Selain itu dengan adanya kewenangan mengadili pelanggaran administrasi pemilu khususnya pada proses perhitungan suara sering kali menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi kewenangan Bawaslu agar terciptanya pemilu yang demokratis. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam kasus pelanggaran pemilu yang baru dilaporkan dan diregistrasi oleh Bawaslu setelah adanya Penetapan Hasil Perolehan Suara secara Nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengakibatkan tumpang tindih kewenangan penyelesaian. Hal ini dikarenakan pelanggaran dan atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi yang ditangani oleh Bawaslu dan berdampak pada hasil, hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga konsep Judicial Restraint sebagai upaya pembatasan yudisial kewenangan yang dimiliki Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran pemilu diperlukan dalam upaya mewujudkan pemilihan umum yang demokratis.  Sehingga dalam memutus pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu perlu dibentuk Pengadilan khusus pemilu.
Quo Vadis Desain Pengamanan Hakim dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) di Indonesia Ilmiyah, Zainatul
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Judges, as the main judicial actors in law enforcement, have an independent nature, both in terms of institutions and in terms of determining their decisions. However, in exercising their authority, judges are often faced with the risk of injury, both physical and psychological, by the public, who are not satisfied with the decisions made by the judges. With an empirical legal research method and using a conceptual approach, statute approach, and comparative approach, this study aims to find the best form in the design of an institutional model for judge and court security units. In this study, it was found that the judge and court security system has been normatively accommodated in several laws and regulations. However, in terms of implementation, there are still many obstacles, one of which is related to security human resources. So, an institutional design is needed for the security of judges and the courts. Several considerations in the formation of the institutional design of the judge's security unit are in terms of the constitutional importance of an institution and also the effectiveness of the institution. So, three institutional design models are offered. First, the idea of forming a new institution that has special authority in the security of judges and courts. The second institutional design is to cooperate between institutions in maintaining the security of judges and courts. The third design is to strengthen the authority of existing institutions. In addition, the security system of judges and the judiciary also requires guarantees, especially in terms of Human Resources, infrastructure, and budget.