Claim Missing Document
Check
Articles

KONSEP BUGHAT DALAM PANDANGAN AL-MAWARDI DAN TRADISI FIKIH Rohmah, Elva Imeldatur
Tadrisuna : Jurnal Pendidikan Islam dan Kajian Keislaman Vol 2 No 2 (2019): September 2019
Publisher : Prodi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Santri Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (374.713 KB)

Abstract

Bughat adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta?wil). Jarimah bughat memiliki tiga unsur, yaitu pembangkangan terhadap imam, dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan ada niat untuk melawan hukum. Sanksi hukum bughat yang terdapat dalam al-Qur?an adalah dengan dibunuh, dipotong kaki dan tangan dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Al-Mawardi menyatakan dengan jelas bahwa rakyat memiliki hak untuk menggulingkan penguasa yang gagal melaksanakan tugas imamat, tetapi al-Mawardi tidak menjelaskan bagaimana caranya. Al-Mawardi mendefinisikan bughat sebagai orang-orang Muslim yang meninggalkan hukum komunitas dan kesetiaan mereka kepada Imam yang adil, baik demi tujuan politik atau karena kesalahan pemahaman terhadap agama. Penetapan Al-Mawardi bahwa pemberontak dianggap hanya mereka yang meninggalkan ketaatan mereka kepada Imam yang adil menambah dimensi baru dalam pemikiran politik Islam ketika ia melarang Imam untuk memerangi orang-orang yang meninggalkan kepatuhan mereka karena kesalahpahaman agama atau muta'awwil, karena mereka bukan pemberontak dari sudut pandang Islam. Al-Mawardi menentang klaim kepatuhan yang tidak terbantahkan kepada Imam. Namun ia tidak menetapkan prosedur hukum bagaimana menegakkan hukum terhadapnya. Selain itu, tampaknya al-Mawardi tidak ingin bekerja melawan teori umum revolusi dalam pemikiran politik Islam. Ini menjadi dilema bukan hanya untuk al-Mawardi saja, tetapi untuk semua pemikir politik Sunni secara umum.
Sundial Dalam Sejarah Dan Konsep Aplikasinya Elly Uzlifatul Jannah; Elva Imeldatur Rohmah
Al-Marshad: Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu Berkaitan Vol 5, No 2 (2019)
Publisher : University of Muhammadiyah Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (101.245 KB) | DOI: 10.30596/jam.v5i2.3486

Abstract

Sundial is a device used as a hint of local pseudo-time using the sun, thus producing the shadows of the gnomon. Sundial is the oldest hour and was first used around 3500 BCE. Sundial consists of several types, namely horizontal, vertical, and equatorial Sundial. Each sundial has its own rules in its creation and the concept of its application. The working principle of this clock is by showing the location based on the sun by looking at the shadows of the sun. As one of the timepiece tools, the sundial not only serves as a tool to know the timing only. It has several other functions, such as the season determinant and the direction of Qibla. However, the entire function of the sundial can only function with the help of the sun as its appointment. By application and the theory, sundial has an excess compared to the math clock. This is because the routine of worship and human social activity is absolutely determined by the time of the Sun standard, not the clock. Because the clock is just the average calculation of the sun's circulation averages around the earth, so the clock can not show the actual time. The sundial can also be used as a time-to-date verifier, as well as a prayer time guideline without time correction, such as digital clock or analog clock.
Kalender Cina dalam Tinjauan Historis dan Astronomis Elva Imeldatur Rohmah
Al-Marshad: Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu Berkaitan Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : University of Muhammadiyah Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.748 KB) | DOI: 10.30596/jam.v4i1.1934

Abstract

Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu, untuk tujuan penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Istilah kalender dalam literatur klasik maupun kontemporer biasa disebut tarikh, takwim, almanak dan penanggalan. Bentuk kalender cukup beragam, antara lain kalender sistem matahari (solar system), kalender sistem bulan (lunar system), dan kalender sistem bulan-matahari (lunar-solar system). Kalender Cina adalah salah satu kalender yang menggunakan sistem bulan-matahari (lunar-solar system). Dalam budaya dan pengetahuan bangsa Tiongkok purba, pembuatan kalender telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Penanggalan Cina ini dikenal dengan sebutan kalender rembulan, yin li atau kalender petani (nong liek) karena diperuntukan bagi upaya untuk mengetahui perubahan musim yang terjadi terhadap siklus di bumi. Praktek ini bertujuan agar manusia bisa mengetahui gejala alam yang sedang dan akan terjadi. Perhitungan tersebut didasarkan pada perhitungan ilmu feng shui, yakni dimensi waktu yang didasarkan dari konsep ilmu astronomi tiongkok purba dan mengacu pengaruh peredaran Matahari dan Bulan terhadap Bumi. Kalender Cina dihitung berdasarkan perhitungan lama bulan mengitari bumi yaitu 29,5 hari. Tarikh ini memang bukan tarikh bulan murni karena di samping berdasarkan peredaran bulan dicocokkan pula dengan peredaran musim yang dipengaruhi letak matahari. Keyword: Kalender Cina, Historis, Astronomis.
Menimbang Kegentingan Memaksa sebagai Syarat Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Zainatul Ilmiyah -; Mega Ayu Ningtyas; Elva Imeldatur Rohmah
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 2 No. 6 (2021): Desember
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v2i6.120

Abstract

Abstract: Government Regulation in place of Law as a legal product of the president whose authority is given attributively by the constitution should only be issued in circumstances of compelling urgency. However, there is still a debate about the meaning of the urgency of coercion. Based on the results of normative juridical research with a statutory, historical and conceptual approach in this study, it has been found that PERPPU can be said to be 'staatsnoodrecht' or subjective emergency law, which is the prerogative of the president. So that there are no benchmarks or limits regarding the requirements for determining matters of forcing urgency because PERPPU is a legal product that aims to fill legal voids in abnormal situations. The PERPPU is only valid temporarily for approximately one year until the next session of the DPR. This process serves as a checks and balances mechanism by the legislative power to neutralize it again by approving or rejecting the existence of PERPPU in the next session to be ratified into law. From the results of this study, the authors suggest that in making PERPPU, the president should look at Article 22 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and pay attention to signs of other laws and regulations in the same field. In ratifying PERPPU into law, the DPR should also pay attention to the content that must be contained in the law. Keywords: PERPPU, urgency, emergency law Abstrak: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai produk hukum presiden yang kewenangannya diberikan secara atributif oleh konstitusi seharusnya diterbitkan hanya pada keadaan hal ihwal kegentingan memaksa. Namun masih menjadi perdebatan tentang pemaknaan mengenai hal ihwal kegentingan memaksa. Berdasarkan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan, historis dan konsepsional dalam penelitian ini telah ditemukan bahwa PERPPU dapat dikatakan sebagai ‘staatsnoodrecht’ atau hukum darurat subyektif yang menjadi kewenangan prerogatif presiden. Sehingga tidak ada tolak ukur atau batasan mengenai persyaratan penetapan hal ihwal kegentingan memaksa. Hal ini karena PERPPU merupakan sebuah produk hukum yang bertujuan mengisi kekosongan hukum dalam situasi yang tidak nomal. Sehingga PERPPU hanya berlaku temporer dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun hingga masa sidang DPR berikutnya. Proses ini sebagai mekanisme check and balances oleh kekuasaan legislatif untuk menentralisir kembali dengan menyetujui atau menolak keberadaan PERPPU dalam sidang berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang. Dari hasil penelitian tersebut penulis memberikan saran bahwa dalam pembuatan PERPPU, presiden hendaknya tidak hanya melihat Pasal 22 UUD NRI 1945 saja, tetapi juga memperhatikan rambu-rambu peraturan perundang-undangan lain yang sebidang. Dalam hal proses pengesahan PERPPU menjadi Undang-Undang, DPR hendaknya juga memperhatikan materi muatan yang harus ada dalam sebuah undang-undang. Kata Kunci: PERPPU, kegentingan, hukum darurat
INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM DAKWAH Elva Imeldatur Rohmah
Busyro : Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam Vol 1 No 1 (2019): November : Busyro : Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam
Publisher : Prodi. Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Pesantren Sunan Drajat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (463.549 KB)

Abstract

Pancasila adalah kumpulan lima nilai dasar yang menjadiacuan tingkah laku bangsa Indonesia. Sedangkan dakwah ialahmenyeru kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhiyang buruk sebagai pangkal tolak kekuatan mengubahmasyarakat dan keadaan yang kurang baik kepada keadaanyang lebih baik sehingga merupakan suatu pembinaan.Dakwah pada hakikatnya menyeru kepada manusia untukberbuat baik dan menjauhi yang buruk. Namun tantangandakwah pada era globalisasi saat ini lebih kompleks danberagam. Problematika dakwah yang muncul saat ini adalahadanya pluralitas bangsa kita yang diiringi kemajuan teknologiyang sangat pesat. Maka hal yang harus segeradiimplementasikan untuk menghadapi kondisi masyarakattersebut yakni dengan mengintegrasikan dan internalisasinilai-nilai Pancasila dalam dakwah. Peran dakwah sangatbesar karena dapat mempersatukan, menciptakan ikatanbersama, mewujudkan solidaritas, baik dalam lingkup kecilhingga pada lingkup masyarakat secara menyeluruh. Olehkarena itu, para dai sudah seharusnya memahami secara baikmengenai nilai-nilai Pancasila, sehingga pada saat kegiatandakwah dilakukan, nilai-nilai ini selalu berhasil dimunculkandan diilhami dengan baik bahkan diamalkan oleh masyarakat.
Konsep Keadilan dalam Hukum Waris Muhammad Syahrur Elva Imeldatur Rohmah; Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.255

Abstract

Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.
Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Kampus Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam Rohmatul Anam; Tazkia Amelia Fauzi; Tutut Dwi Setyorini; Elva Imeldatur Rohmah
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 3 No. 6 (2022): Desember
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v3i6.153

Abstract

Abstract: Sexual harassment is an issue of human rights which requires attention from the national and international community. Although most people care about matters relating to sexual harassment in Indonesia's global context, this issue is sometimes forgotten in local places and the campus environment. This research is a normative-empirical research that tries to identify the types of sexual harassment in Indonesian campus life and the punishments for perpetrators of sexual violence. Sexual violence is not regulated by the Al-Quran, Al-Hadith, or jarimah hadd, so these jarimah are considered ta'zir jarimah according to Islamic law. According to Permendikbud Number 30 of 2021, universities are required to provide sanctions to perpetrators of sexual violence that occur on campus so that it can provide a deterrent effect for perpetrators and also to rebuild a campus environment that is safe from crimes of sexual violence. Meanwhile, Law Number 12 of 2022 explains that someone who has a position as an official but deliberately uses his position to threaten, intimidate, persecute or embarrass for reasons of discrimination which is aimed at sexual violence, that person is subject to Article 11 or 12 with a maximum imprisonment of 12-15 years in prison. Keywords: Sexual violence, campus, positive law, Islamic law..   Abstrak: Pelecehan seksual merupakan salah satu isu tentang hak asasi manusia, yang mana membutuhkan perhatian dari dunia nasional maupun internasional. Meskipun kebanyakan orang peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan seksual dalam konteks global di Indonesia, namun terkadang isu ini di tempat-tempat lokal bahkan di lingkungan kampus sering terlupakan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif - empiris yang mencoba mengidentifikasi macam pelecehan seksual di kehidupan kampus Indonesia serta hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Pada dasarnya, kekerasan seksual tidak diatur oleh Al-Quran, Al-Hadits, atau jarimah hadd, maka jarimah tersebut dianggap sebagai jarimah ta'zir menurut hukum Islam. Menurut Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Perguruan tinggi wajib memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan juga untuk membangun kembali lingkungan kampus yang aman dari kejahatan kekerasan seksual. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 menjelaskan bahwa sesorang yang memiliki kedudukan sebagai pejabat, namun dengan sengaja menggunakan jabatannya untuk mengancam, mengintimidasi, melakukan persekusi atau mempermalukan atas alasan diskriminasi yang hal tersebut bertujuan untuk kekerasan seksual maka orang tersebut dikenai pasal 11 atau 12 dengan pidana penjara maksimal 12 – 15 tahun penjara. Kata kunci: Kekerasan seksual, kampus, hukum positif, hukum Islam.
Problematika Poligami dalam Lintas Sejarah dan Agama Elva Imeldatur Rohmah
Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol 25 No 1 (2022): Al-Qanun, Vol. 25, No. 1, Juni 2022
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/alqanun.2022.25.1.83-97

Abstract

This paper aims to determine the phenomenon and problems of polygamy throughout history and the views of several religions on polygamy. This article was written using a descriptive-analytical method. The result is that almost all nations in the world, from time immemorial, have been familiar with polygamy. For example, since time immemorial, polygamy has been known by Hindus, Israelis, Persians, Roman Arabs, Babylonians, Tunisians, and others. Polygamy also extends to the Hebrews and Sicilians, who later gave birth to most of the Russians, Lithuanians, Poles, Czechoslovakia, and Yugoslavia, as well as part of the population of Germany, Switzerland, the Netherlands, Denmark, Sweden, Norway, and England. Polygamy exists in every human civilization. Islam, Christianity, Hinduism, Buddhism, and Judaism do allow polygamy, although, in essence, the principle of marriage taught in these religions is monogamy. Meanwhile, modern Church Law forbids its followers from polygamy. The Qobty Orthodox Church, the Roman Orthodox Church, and the Syriac Orthodox Church do not allow a husband or wife to have a second marriage as long as the first marriage is still ongoing or has not been cancelled. So, a marriage that is recognized as legal is the marriage of a man to a woman, and polygamy is not allowed.   Abstrak:  Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui fenomena dan problematikan poligami sepanjang sejarah dan pandangan beberapa agama tentang poligami. Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Hasilnya adalah hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Misalnya, sejak dahulu kala poligami telah dikenal oleh orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, Arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain. Poligami juga meluas pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia, serta sebagian penduduk Jerman, Swiss, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. Poligami ada dalam setiap peradaban manusia. Dalam agama Islam, Nasrani, Hindu, Budha, maupun Yahudi memang memperbolehkan adanya poligami, meskipun pada hakikatnya asas pernikahan yang diajarkan dalam agama-agama tersebut adalah monogami. Sedangkan Undang-undang Gereja modern mengharamkan pengikutnya berpoligami. Gereja Qobty Ortodoks, Gereja Roma Ortodoks, dan Gereja Suryani Ortodoks tidak membolehkan seorang suami atau istri melakukan pernikahan kedua, selama pernikahan pertama masih berlangsung atau belum dibatalkan. Jadi, pernikahan yang diakui sah adalah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dan poligami tidak diperbolehkan.
PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA, IRAN, DAN PERANCIS Elva Imeldatur Rohmah
Ummul Qura Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan Vol. 13 No. 1 (2019): Maret
Publisher : Institut Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.135 KB) | DOI: 10.55352/uq.v13i1.413

Abstract

Berkembangnya kemauan dan tindakan manusia atau masyarakat mengakibat kan berkembangnya sistem pemerintahan dan konsep trias politika dengan variasinya masing-masing. Variasi ini terdapat dalam pelaksanaan pemerintahan di negara Indonesia, Iran, maupun Perancis. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan perbandingan mendasar sistem pemerintahan pada ketiga negara tersebut dilihat dari konstitusinya masing-masing. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode komparatif, yakni membandingkan sistem pemerintahan dan konsep trias politika yang diterapkan di Indonesia, Iran, dan Perancis. Dalam sistem pemerintahan presidensial benar-benar ada pemisahan kekuasaan perundang-undangan dan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan campuran merupakan bentuk variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan campuran ini bukanlah merupakan bentuk dari yang sebenarnya, ini merupakan modifikasi dari sistem parlementer atau pun sistem presidensial yang selanjutnya disebut dengan sistem semi presidensial. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa pada saat ini Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial tidak murni, Iran menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer, sedangkan Perancis menganut sistem semi presidensial. Masing-masing lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di negara Indonesia, Iran, dan Perancis belum mampu menjadi lembaga yang independen karena di negara-negara tersebut satu lembaga dapat mengintervensi lembaga kekuasaan yang lain.
FUNGSI LEGISLASI DPR DAN DPD PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012) Elva Imeldatur Rohmah
Ummul Qura Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan Vol. 11 No. 1 (2018): Ummul Qura : Jurnal Ilmiah Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan
Publisher : Institut Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (546.253 KB) | DOI: 10.55352/uq.v11i1.425

Abstract

Dewan Perwakilan Daerah adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amandemen ketiga UUD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah sekaligus memberikan peran kepada daerah. Namun kenyataannya undang-undang membuat kedudukan DPD subordinat terhadap DPR, sehingga DPD mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi mengenai UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan putusan dengan Nomor 92/PUU-X/2012. Dalam agama Islam, pembentukan hukum harus selalu memperhatikan aspek maslahah, dalam fikih siyasah juga terdapat asas-asas yang harus diwujudkan oleh pemerintah di antaranya adalah asas maslahah (kemanfaatan). Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga mengharuskan pejabat pemerintah selalu memperhatikan asas kemanfaatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 menjelaskan bahwa DPD harus terlibat dalam tiap tahapan penyusunan prolegnas, mulai dari pengajuan, pembahasan, dan penetapan prolegnas, namun DPD tidak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna. Jika hal tersebut dilihat dari perspektif maslahah mursalah, tampak bahwa DPD tidak mampu membawa kemaslahatan untuk sistem ketatanegaraan Indonesia karena fungsi legislasi yang dimilikinya tetap lemah yakni hanya ikut dalam tahap pengajuan RUU saja.