Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

KAJIAN IMPLEMENTASI NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA DALAM PENGORGANISASIAN KAWASAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN Sylviani, Sylviani; Suryandari, Elvida Yosefi
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan kawasan hutan di tingkat tapak yang dikelola untuk memenuhi pengelolaan hutan lestari dalam rencana jangka panjang. Satu atau lebih fungsi hutan (konservasi, lindung dan produksi) dapat dimasukkan dalam suatu KPH, tetapi KPH diklasifisikan berdasarkan fungsi hutan yang dominan. KPH telah ditetapkan di beberapa provinsi, tetapi ada yang belum operasional. Aspek kelembagaan seperti kebijakan dan organisasi merupakan kendala dalam pelaksanaan KPH. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji implementasi Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pengelolaan KPH dan (2) mengkaji kebijakan organisasi dalam pengelolaan KPH. Kegiatan ini dilaksanakan di KPH Dampelas Tinombo di Sulawesi Tengah serta KPH Way Terusan dan KPH Batu Tegi di Provinsi Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis retrospektif, sedangkan untuk mengkaji struktur organisasi menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan NSPK pengelolaan KPH telah diimplementasikan oleh masing-masing KPH. Hal ini dapat dilihat dari adanya master plan mengenai ”perencanaan pengelolaan hutan dan tata hutan”. Terdapat kesamaan dalam struktur organisasi KPH yang ditunjukkan melalui pembagian kerja, wewenang, rentang kendali dan departemenisasi. Namun, terdapat perbedaan yaitu pengelompokkan jenis departemenisasi. Perbedaan ini disebabkan oleh : perbedaan kondisi daerah, potensi kawasan serta kebijakan setiap daerah. Bentuk organisasi KPH pada lokasi penelitian memiliki karakteristik “struktur organisasi fungsional.” Organisasi tipe ini akan senantiasa beradaptasi dengan lingkungannya agar tetap berkembang menuju visi dan misi yang telah dibuat. Apabila terdapat perubahan kebijakan, organisasi perlu mengubah internal organisasi, misalnya dengan menyesuaikan struktur organisasinya. Dengan bentuk struktur organisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), KPH dapat mengakomodasi kepentingan pusat melalui departementalisasi dengan pendekatan kriteria dalam NSPK. Koordinasi dalam hal pendanaan telah mulai dilakukan, baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Saran studi ini meliputi : (1) Perlunya kebijakan turunan, mengenai tugas dan peran KPH secara rinci untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan (2) Perlu penyiapan kondisi pemungkin dalam organisasi apabila terdapat perubahan kebijakan terkait organisasi KPH. Pemerintah pusat mengalokasikan dana melalui UPT terkait sampai KPH mandiri dan perlu aturan tentang kapabilitas dan mobilisasi SDM.
KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) DI DAERAH (STUDI KASUS KPH BANJAR, KALIMANTAN SELATAN DAN KPH LALAN MANGSANG MENDIS, SUMATERA SELATAN) Suryandari, Elvida Yosefi; Sylviani, Sylviani
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah ditetapkan sebagai tujuan strategis untuk mengelola hutan yang lebih baik. Walaupun demikian masih banyak kendala dijumpai dalam pembangunan KPH, diantaranya masalah kelembagaan dalam pendanaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji implementasi kebijakan terkait organisasi KPH dan (2) Mengkaji ketersediaan SDM pendukung dalam pembangunan KPH. Penelitian dilakukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis, Provinsi Sumatera Selatan dan KPHP Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan purposive sampling. Data dianalisis dengan analisis perencanaan SDMdan analisis kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk organisasi KPH saat ini adalah UPTD dari Satuan Lembaga Lain” Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kehutanan. Penelitian menunjukkan adanya ketidaksesuaian organisasi UPTD dengan peraturan yang ada. Bentuk organisasi tersebut mempunyai keterbatasan dalam anggaran dan kewenangan pelaksanaan kegiatan, Sumberdaya Manusia (SDM) baik kuantitas dan kualitas. Bentuk SKPD dapat berupa sekretariat, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (LTD), atau lembaga lain sebagai bagian dari perangkat daerah. Bentuk KPHyang tepat adalah LTD atau lembaga lain. Sesuai pasal 45 pada PP41/2007 maka organisasi KPH tidak bisa berbentuk “Lembaga Teknis Daerah”, tapi dalam bentuk “ karena skor organisasi di kabupaten sudah menunjukkan nilai yang maksimal. Kebutuhan saat ini adalah bagaimana memperkuat kelembagaan KPH sebagai SKPD dengan perencanaan yang baik. Langkah-langkah penting masih diperlukan sebelum KPHoperasional adalah penentuan peran dan fungsi KPH secara jelas dan tata hubungan kerja dengan stakeholder terkait termasuk pemegang ijin yang dapat dituangkan melalui peraturan. Lebih lanjut, komitmen daerah diperlukan untuk mendukung pembentukan KPHmenjadi SKPD.
Kajian Kebijakan Penguasaan Lahan Dalam Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Di Kabupaten Lampung Selatan Sylviani, Sylviani; Dwiprabowo, Haryatno; Suryandari, Elvida Yosefi
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam pengelolaan kawasan hutan tidak terlepas dari adanya persoalan-persoalan atau konflik lahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi konflik lahan antara lain ekonomi, sosial, ekologi dan kebutuhan lahan pertanian. Beberapa bentuk konflik lahan antara lain tumpang tindih penggunaan lahan dan sengketa kepemilikan lahan. Di lain pihak, konflik sosial dapat terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pembangunan KPH. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi para pihak serta bentuk klaim lahan dalam pengelolaan lahan, mengidentifikasi kelembagaan dan aturan tenurial di kawasan KPH serta rekomendasi kebijakan. Kajian dilakukan dengan metode Rapid Land Tenure Assessment (RATA) untuk menilai, menganalisis, memahami, dan menjelaskan secara ringkas suatu masalah dan/atau konflik sistem penguasaan tanah yang kompleks. Hasil kajian menunjukkan bahwa masalah tenurial di kawasan KPH Lampung Selatan terjadi dengan telah diokupasinya kawasan hutan oleh pemukiman, fasilitas umum/sosial dan pusat perbelanjaan dalam bentuk desa definitif. Peran para pihak/aktor dalam penguasaan lahan di kawasan KPH sangat menentukan. Pemerintah pusat yang menerbitkan kebijakan tidak melakukan evaluasi terutama dalam tata batas kawasan dan ijin-ijin yang sudah tidak aktif. Sementara pemerintah daerah mengeluarkan Perda pembentukan desa definitif dan menerbitkan SPT pajak tahunan bagi penggarap lahan yang merupakan legal klaim. Dalam kelembagaan, tidak ada koordinasi antara Kementerian Kehutanan (sebagai penguasa kawasan) dengan para pihak di pemerintahan daerah dalam penerbitan sertifikasi tanah. Disarankan adanya kebijakan yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan menjadikan lahan kawasan hutan menjadi lahan garapan dengan program HTR, HKM atau Hutan Desa serta melakukan tata batas ulang kawasan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan; Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor Syahadat, Epi; Sylviani, Sylviani
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Analisis kebijakan penyediaan lahan HTI adalah suatu kajian terhadap aturan main dalam penyediaan lahan untuk pembangunan hutan tanaman, dasar hukum, serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan aspek legalitas lahan kepada pemegang ijin IUPHHK-HT untuk mengelola suatu kawasan hutan produksi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman dan secara khusus mengkaji: 1) kebijakan alokasi dan distribusi lahan hutan tanaman; 2) tatacara dan persyaratan perijinan penyediaan lahan hutan tanaman dan 3) gap implementasi peraturan penyediaan lahan hutan tanaman. Hutan tanaman yang dikaji adalah: hutan tanaman industri (HTI). Hasil kajian menunjukan bahwa tidak ada gap kebijakan dalam penyediaan lahan hutan tanaman. Pemerintah daerah mengikuti mekanisme yang sudah ditentukan oleh Kementerian Kehutanan yang tertera dalam P.19/2007 Jo P.11/2008 (untuk HTI). Proses perijinan IUPHHK melalui mekanisme permohonan kepada Menteri Kehutanan belum efektif dan efisien disebabkan oleh: 1) belum adanya ketentuan yang baku mengenai besarnya biaya dalam proses permohonan ijin dan 2) adanya ketidak singkronan bunyi pasal dalam P.63/2008 dengan bunyi pasal 5 (huruf f dan g) dalam P.11/2008 mengenai permohonan rekomendasi Gubernur.
TIPOLOGI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) DI INDONESIA Budiningsih, Kushartati; Ekawati, Sulistya; Gamin, Gamin; Sylviani, Sylviani; Suryandari, Elvida Yosefi; Salaka, Fentie
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 12, No 3 (2015): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4559.056 KB)

Abstract

Tipologi KPH disusun melalui pengelompokkan KPH berdasarkan karakteristik pengelola KPH, partisipasi para pihak dan potensi usahanya.  Pendekatan survei melalui pengiriman kuisioner pada 86 KPH model berlembaga digunakan untuk pengumpulan data primer disamping pengumpulan literatur terkait KPH untuk memperoleh data pendukung bersifat sekunder.  Sejumlah 35 KPH dianalisis kondisinya dan menghasilkan 3 tipe KPH yakni tipe A (3,66 -5,00), tipe B (2,33 – 3,66) dan tipe C (1,00 – 2,33). KPH tipe A berkarakteristik pemahaman konsep KPH baik, SDM cukup dan kapabel,  dukungan stakeholder tinggi, dan potensi usaha baik.  KPH tipe B berkarakteristik pemahaman konsep KPH sedang, jumlah dan kapabilitas SDM tersedia tapi belum cukup,  dukungan stakeholder sedang, dan potensi usaha sedang.  KPH Tipe C berkarakteristik pemahaman konsep KPH  kurang, jumlah dan kapabilitas SDM  belum cukup,  dukungan stakeholder kurang, dan potensi usaha kurang.  Sebagian besar KPH (97%) termasuk ke dalam KPH tipe B dan KPH tipe C, ini berarti bahwa KPH masih memerlukan pendampingan dari pemerintah dalam pembangunannya.
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Serampas Dalam Upaya Pelestarian Hutan Surati, Surati; Sylviani, Sylviani; Sumirat, Bugi Kabul; Handoyo, Handoyo; Hidayat, Dian Charity; Ariawan, Kuncoro
Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat (SENDAMAS) Vol 1, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : UniversitasAl Azhar Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36722/psn.v1i1.3256

Abstract

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan hutan adat. Tulisan ini didasarkan pada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat hukum adat (MHA) Serampas dalam upaya pelestarian hutan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan data meliputi wawancara mendalam dengan pemilihan informan secara purposive sampling, pengamatan lapangan dan diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik itu data sekunder maupun data primer. Setelah itu kondensai data, memaparkan data dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan sistem pembagian lahan “Ajum Arah” masyarakat mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh lembaga adat, sehingga pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan adat dapat dilakukan secara optimal. Bentuk pemberdayaan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang terdiri dari empat unit usaha. Melalui unit usaha Bumdes, MHA Serampas dapat memanfaatkan hutan adat dengan program “pohon asuh”, wisata alam, pemanfaatan air dengan adanya mikrohidro, dan mengoptimalkan lahan yang dimiliki dengan sistem agroforestry. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan yang dimiliki dengan jenis unggulan kopi dan kayu manis, tanpa merusak hutan adat.Kata kunci: Masyarakat hukum adat, Serampas, Pemberdayaan
SOCIAL CAPITAL IN MANAGING COMMUNITY PLANTATION FOREST: A CASE STUDY AT KPH BOALEMO, GORONTALO PROVINCE Sylviani, Sylviani; Suka, Aneka Prawesti; Surati, Surati; Kurniasari, Dewi Ratna
Indonesian Journal of Forestry Research Vol. 7 No. 1 (2020): Indonesian Journal of Forestry Research
Publisher : Association of Indonesian Forestry and Environment Researchers and Technicians

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59465/ijfr.2020.7.1.71-82

Abstract

Community Plantation Forest (HTR) is one among alternatives expected to fulfill the needs of timber. Limited capital, which is simply known as financial capital, is considered as the main problem in HTR development. However, there is also other capital but less known and understood namely social capital. This study aims to determine the social capital that can be utilized in HTR management. The study was conducted in Rumbia Village, Boalemo District, Gorontalo Province. The data collected was analyzed using descriptive qualitative method in three steps: data reduction, data display and verification. In this study, the social capital is discussed in its dimensions of trust, norm and network. Results of the study show that strengthening social capital in its dimension of trust, norm, and network would encourage independence of both the farmers and forest farmer groups in HTR management. If the social capital does not work properly, gap among farmers could occur and even becomes a barrier or limits in involvement of members of the farmer group in the management of HTR. The farmers had high trust to forestry extension officer. It became a dimension of social capital that should be developed further in HTR management to reach optimally benefits from HTR land. In addition, the farmers also had a high compliance to social norms of traditions, religion and customary rules. The social capital hold by the farmers should be addressed in proper way by local and central government in order to develop successful HTR management.