Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Perbandingan Kejadian Malaria Di Pantai Timur Dan Pantai Barat Kecamatan Sikakap Kepulauan Mentawai The Comparison Of Malaria Incidence Between East And West Coast District Of Sikakap Mentawai Islands sri wahyuni handayani; Annita ,
Jurnal Kesehatan Saintika Meditory Vol 1, No 1 (2018): November 2018
Publisher : Stikes Syedza Saintika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30633/jsm.v1i1.275

Abstract

Malaria merupakan penyakit utama pada masyarakat yang tinggal di daerah tropis termasuk Indonesia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi serta menyerang usia produktif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian malaria di pantai barat dan pantai timur kecamatan Sikakap periode Januari sampai Juni 2018. Penelitian observasional dengan desain cross sectional comparative study ini menggunakan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mentawai pada populasi masyarakat yang tinggal di pantai barat dan pantai timur Kecamatan Sikakap dengan teknik total sampling dan analisa dengan uji chi square. Hasil, didapatkan bahwa frekuensi malaria di kedua daerah tergolong tinggi karena kejadian malaria lebih dari 5 kejadian per 1000 penduduk. Di Pantai Barat ditemukan  33 kasus dari 3084 orang (1,07%), sedangkan di Pantai Timur ditemukan 236 kasus dari 5179 orang (4,56%). Terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi malaria di pantai barat dan pantai timur Kecamatan Sikakap (p=0.00). Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda antara pantai barat dan pantai timur seperti kondisi wilayah perkebunan, keadaan pantai dan bentuk perairan yang mempengaruhi keberadaan nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria. Disarankan kepada dinas kesehatan untuk meningkatkan perhatian terhadap kasus malaria dengan melakukan deteksi dini, perawatan dan pengobatan serta penyuluhan yang berkesinambungan. Kata kunci : Frekuensi malaria; Pantai barat Kecamatan Sikakap, Pantai timur Kecamatan Sikakap.  ABSTRACT      Malaria is a major disease in people living in the tropics including Indonesia with high mortality and morbidity and attacking the productive age. The purpose of this study was to compare the incidence of malaria on the west coast and east coast of Sikakap sub-district from January to June 2018. This observational study was a cross sectional comparative study using secondary data from the Health Department of Mentawai  in the population living on the west coast and coast east District of Sikakap  with total sampling and analysis techniques with the chi square test. Results, it was found that the frequency of malaria in the two regions was high because malaria incidence was more than 5 incidents per 1000 population. On the West Coast there were 33 cases of 3084 people (1.07%), while in the East Coast 236 cases were found from 5179 people (4.56%). There was a significant difference between the frequency of malaria on the west coast and the east coast District of Sikakap  (p = 0.00). This is thought to be caused by different environmental conditions between the west coast and the east coast such as the condition of the plantation area, the condition of the coast and the shape of the waters that affect the presence of Anopheles mosquitoes as a malaria vector. It is recommended to the health office to increase attention to malaria cases by conducting early detection, care and treatment as well as sustainable counseling.
Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Adat dalam Kerangka UUPA Alida Saidah; Sri Wahyuni Handayani
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 5 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i5.2330

Abstract

Hak ulayat merupakan identitas kolektif, simbol spiritual, dan warisan leluhur masyarakat adat di Indonesia. Namun, hak-hak ini menjadi rentan seiring laju pembangunan berskala besar dan proyek strategis nasional. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3 secara normatif mengakui keberadaan hak ulayat , implementasinya menghadapi hambatan administratif, politis, dan struktural yang signifikan. Tulisan ini menggunakan pendekatan hukum normatif, menganalisis kerangka UUPA, putusan Mahkamah Konstitusi, dan regulasi sektoral untuk mengkaji bentuk perlindungan dan tantangannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengakuan normatif telah kuat, terutama pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, tetapi perlindungan di lapangan masih lemah. Tantangan utama meliputi minimnya pengakuan formal wilayah adat, tumpang tindih regulasi (misalnya dengan UU Kehutanan), konflik dengan investasi, dan kriminalisasi masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya. Untuk mewujudkan keadilan agraria, penelitian ini merekomendasikan harmonisasi kebijakan yang komprehensif, percepatan pemetaan wilayah adat secara partisipatif, dan penguatan kelembagaan adat agar mampu berinteraksi secara efektif dengan sistem hukum formal.
Tanah Ulayat dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Baru: Harmonisasi Regulasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Abu Bakar Rosyid Basalamah; Sri Wahyuni Handayani
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 5 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i5.2331

Abstract

Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur merupakan proyek strategis nasional yang diharapkan menjadi simbol transformasi peradaban Indonesia yang lebih hijau, inklusif, dan terdesentralisasi. Namun, pembangunan IKN memunculkan tantangan serius terkait perlindungan hak masyarakat adat, khususnya atas tanah ulayat. Tulisan ini menganalisis kerangka hukum yang berlaku, termasuk UUD 1945, UUPA, UU IKN, serta putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menyoroti kesenjangan antara pengakuan normatif dan implementasi di lapangan. Kajian ini juga mengidentifikasi persoalan operasional, seperti keterbatasan pemetaan wilayah adat, lemahnya mekanisme konsultasi PADIATAPA/FPIC, serta minimnya kompensasi yang memperhatikan aspek kultural. Analisis menunjukkan bahwa tanpa harmonisasi regulasi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang partisipatif, pembangunan IKN berpotensi memicu konflik agraria berkepanjangan. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan percepatan pemetaan wilayah adat, penerapan PADIATAPA secara substantif, kompensasi yang holistik, serta pembentukan forum mediasi multi-pihak untuk memastikan keadilan sosial dan perlindungan hak masyarakat adat
Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Badan Pertanahan Nasional Anitia Emalia Fallonne; Sri Wahyuni Handayani
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 5 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i5.2343

Abstract

Tanah memiliki arti penting bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya sebagai sarana ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari identitas sosial, budaya, dan spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme pelaksanaan mediasi di BPN dalam menangani sengketa hak atas tanah adat serta mengidentifikasi faktor penghambat dan pendukung keberhasilannya. Metode yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, doktrin, asas hukum, serta analisis deskriptif-analitis terhadap praktik administrasi pertanahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme mediasi di BPN dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu pengaduan dan pendaftaran, verifikasi dan penelitian, pemanggilan para pihak, pelaksanaan mediasi, serta pencatatan hasil kesepakatan. Faktor penghambat yang dominan adalah perbedaan persepsi mengenai status tanah adat, rendahnya pemahaman masyarakat hukum adat mengenai prosedur mediasi, keterbatasan sumber daya manusia di BPN, ketidaksetaraan posisi tawar para pihak, serta kompleksitas hukum pertanahan. Adapun faktor pendukung mencakup kejelasan regulasi mediasi, dukungan politik hukum terhadap hak ulayat, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyelesaian non-litigasi, dukungan LSM dan akademisi, serta peran kearifan lokal dalam musyawarah mufakat.