Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Hubungan antara Mindfulness dan Dispositional Forgiveness pada Remaja dengan Orang Tua Bercerai Shanti, Theresia Indira; Susanto, Bianca Vanessa
Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application Vol 9 No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ijgc.v9i1.37534

Abstract

Perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan secara legal. Dampak dari perceraian bukan hanya dirasakan oleh suami dan istri, namun juga oleh anak dari keluarga itu termasuk mereka yang sedang dalam tahap perkembangan remaja. Remaja membutuhkan dispositional forgiveness untuk dapat mengurangi resiko akibat perasaan negatif yang dirasakan. Pada konteks ini dispositional forgiveness pada remaja dikaitkan dengan sikap mindfulness remaja mengenai kondisi keluarga setelah perceraian orang tuanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara mindfulness dan dispositional forgiveness pada remaja dengan orang tua bercerai. Partisipan penelitian ini adalah 54 remaja berusia 15-21 tahun yang mengalami perceraian orang tua dalam rentang usia 12-21 tahun. Teknik sampling yang digunakan untuk mencari partisipan adalah convenience sampling. Alat ukur 15-items Five Facets of Mindfulness dan Heartland Forgiveness Scale digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Uji korelasi dilakukan terhadap data yang diperoleh dari kedua alat ukur ini. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara mindfulness dan dispositional forgiveness pada remaja dengan orang tua bercerai. Mindfulness dapat membantu individu untuk mengidentifikasi dan menerima perasaan serta pikirannya sehingga membantu terjadinya dispositional forgiveness dalam individu. Peneliti menjabarkan beberapa saran yang penting untuk dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya. Divorce is the legal dissolution of a marital relationship. Divorce does not only affect both husband and wife, but also the children, including those who’s going through adolescence. In order to decrease the detrimental effect caused by the negative feelings towards their parents’ divorce, adolescents need to have dispositional forgiveness. In this context, dispositional forgiveness in adolescent can be related to mindfulness about their family condition after the divorce. The purpose of this study is to see whether there is a significant relationship between mindfulness and dispositional forgiveness among adolescents of divorced parents. The participants of this study were 54 middle and late adolescents that went through parental divorcement in the age of 12-21. The participants were obtained by convenience sampling technique. Fifteen items Five Facets of Mindfulness and Heartland Forgiveness Scale were used to answer the purpose of this study. A correlational test was performed to analyze data. Correlation test results show that there is a significant relationship between mindfulness and dispositional forgiveness among adolescents of divorced parents. Mindfulness can help adolescents identify and accept their feelings and thoughts, which can lead into dispositional forgiveness in adolescents. Researcher outlined some important suggestions to be considered for future research.
Hubungan antara Self-Disclosure Remaja Awal dan Persepsi Remaja Awal terhadap Komunikasi Suportif Orang Tua Margo, Celeste; Shanti, Theresia Indira
JURNAL KONSELING GUSJIGANG Vol 6, No 1 (2020): Jurnal Konseling Gusjigang Juni 2020
Publisher : Universitas Muria Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24176/jkg.v6i1.4553

Abstract

Appropriate support can be provided by parents if early adolescents self-disclose from parents. However, through self-disclosure, early adolescents also need to perceive their parents as individuals who are able to accept their self-disclosure and are able to provide support. Therefore, parents need to show supportive communication that can encourage the desire of adolescents to perform self-disclosure. The purpose of this study is to see whether there is a significant relationship between early adolescent’s self-disclosure and early adolescent’s perception of supportive parental communication. The participants of this study were 614 early adolescents within the age range of 13-15 years who had undergone education, living with both parents, and domiciled in Jakarta. The participants were obtained through a non-probability sampling method by convenience sampling technique. To answer the purpose of this study, The Jourard Self-Disclosure Questionnaire and the Parental Supportive Communication Scale were used to conduct a correlation test. The correlation test results indicate that there is a significant positive relationship between early adolescent’s self-disclosure and early adolescent’s perception of supportive parental communication. For future research, the researchers outlined some important suggestions to be considered.
Parental Monitoring and Risk Behavior in Middle Adolescents Shanti, Theresia Indira; Gryselda, Chatarina Dara
KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 16, No 3 (2021)
Publisher : Department of Public Health, Faculty of Sport Science, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kemas.v16i3.23431

Abstract

Friends played significant role due to middle adolescents tended to imitate behaviour of their friends including the risk behaviour. Parental monitoring could minimize the risk. However, the excessive unreasonable parental monitoring tended to increase risk behaviour of middle adolescents. Therefore, the purpose of this study was to know whether perceived parental monitoring had a significant relationship with risk behaviour among middle adolescents. This study used quantitative method with two measuring instruments in the form of a questionnaire, Parental Monitoring Questionnaire which consisted of 25 items to measure parental monitoring and Adolescence Risk Behaviour Questionnaire which consisted of 15 items to measure risk behaviour. The participants in this study were 105 male senior high school student age 15-17 years, who lived with both of their parents in Jakarta. Correlation test results showed that there was a significant relationship between perceived parental monitoring and substance use, premarital sex, and criminal behaviour among middle adolescents. Based on these results, the researcher presented some discussion materials and the suggestions that needed to be considered for further research.
Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan Sosial pada Ibu yang Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-kanak Madya Dame, Ilona Gok; Shanti, Theresia Indira; Kristiani, Reneta
Sosio Konsepsia Vol 10 No 3 (2021): Sosio Konsepsia
Publisher : Puslitbangkesos Kementerian Sosial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33007/ska.v10i3.2064

Abstract

Abstrak: Kekerasan seksual yang pernah dialami ibu pada masa kanak-kanak dapat berdampak negatif pada kehidupannya, terutama dalam menjalankan peran pengasuhan anak. Individu yang mengalami kekerasan seksual umumnya merasa kurang aman dan kurang mampu dalam mengendalikan lingkungannya.  Pada ibu, dampak psikologis ini berkaitan dengan keyakinan bahwa ia dapat memberikan pengasuhan yang baik untuk anak-anaknya, yang disebut dengan parenting self-efficacy. Dukungan sosial dibutuhkan untuk mengurangi dampak negatif dari pengalaman masa lalu tersebut. Tujuan penelitian ini untuk meneliti hubungan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada para ibu yang mengalami kekerasan seksual saat masa kanak-kanak. Penelitian ini menggunakan 36 pertanyaan Self-Efficacy for Parenting Tasks Index dan 40 pertanyaan Interpersonal Support Evaluation List untuk menguji korelasi antarkedua hal tersebut. Hasil tes korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada para ibu yang mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanak (r=0.709; p=0.000, L.o.S 0.01). Hasil menunjukkan bahwa para ibu yang mengalami kekerasan seksual masa kanak-kanak membutuhkan dukungan sosial berkelanjutan untuk dapat mengasuh anak-anaknya dengan parenting self-efficacy yang tinggi. Oleh karena itu, dukungan sosial bagi para ibu, penyintas kekerasan seksual, sangat penting karena berdampak pada masa depan penyintas tersebut dan juga individu lain yang dipengaruhi oleh penyintas tersebut. Kata kunci: ibu, parenting self-efficacy, kekerasan seksual masa kanak-kanak, dukungan sosial  
Hubungan antara Mindfulness dan Dispositional Forgiveness pada Remaja dengan Orang Tua Bercerai Shanti, Theresia Indira; Susanto, Bianca Vanessa
Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application Vol 9 No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ijgc.v9i1.37534

Abstract

Perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan secara legal. Dampak dari perceraian bukan hanya dirasakan oleh suami dan istri, namun juga oleh anak dari keluarga itu termasuk mereka yang sedang dalam tahap perkembangan remaja. Remaja membutuhkan dispositional forgiveness untuk dapat mengurangi resiko akibat perasaan negatif yang dirasakan. Pada konteks ini dispositional forgiveness pada remaja dikaitkan dengan sikap mindfulness remaja mengenai kondisi keluarga setelah perceraian orang tuanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara mindfulness dan dispositional forgiveness pada remaja dengan orang tua bercerai. Partisipan penelitian ini adalah 54 remaja berusia 15-21 tahun yang mengalami perceraian orang tua dalam rentang usia 12-21 tahun. Teknik sampling yang digunakan untuk mencari partisipan adalah convenience sampling. Alat ukur 15-items Five Facets of Mindfulness dan Heartland Forgiveness Scale digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Uji korelasi dilakukan terhadap data yang diperoleh dari kedua alat ukur ini. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara mindfulness dan dispositional forgiveness pada remaja dengan orang tua bercerai. Mindfulness dapat membantu individu untuk mengidentifikasi dan menerima perasaan serta pikirannya sehingga membantu terjadinya dispositional forgiveness dalam individu. Peneliti menjabarkan beberapa saran yang penting untuk dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya. Divorce is the legal dissolution of a marital relationship. Divorce does not only affect both husband and wife, but also the children, including those who’s going through adolescence. In order to decrease the detrimental effect caused by the negative feelings towards their parents’ divorce, adolescents need to have dispositional forgiveness. In this context, dispositional forgiveness in adolescent can be related to mindfulness about their family condition after the divorce. The purpose of this study is to see whether there is a significant relationship between mindfulness and dispositional forgiveness among adolescents of divorced parents. The participants of this study were 54 middle and late adolescents that went through parental divorcement in the age of 12-21. The participants were obtained by convenience sampling technique. Fifteen items Five Facets of Mindfulness and Heartland Forgiveness Scale were used to answer the purpose of this study. A correlational test was performed to analyze data. Correlation test results show that there is a significant relationship between mindfulness and dispositional forgiveness among adolescents of divorced parents. Mindfulness can help adolescents identify and accept their feelings and thoughts, which can lead into dispositional forgiveness in adolescents. Researcher outlined some important suggestions to be considered for future research.
GAMBARAN PERSEPSI GURU BIMBINGAN KONSELING LULUSAN PENDIDIKAN STRATA SATU BIMBINGAN KONSELING TERHADAP KOMPETENSI DALAM BERPERAN SEBAGAI GURU BK DI JAKARTA SELATAN Rini Ariani; Theresia Indira Shanti
Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi Vol 11 No 2 (2020)
Publisher : Universitas Paramadina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51353/inquiry.v11i2.244

Abstract

Guru Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan guru yang berwenang dalam memberikan bantuan psikologis terhadap siswa secara ilmiah dan profesional di sekolah. Namun peran yang ditampilkan guru BK saat ini tampak belum maksimal kerena masih ditemukannya berbagai keluhan mengenai kompetensi yang ditampilkan guru BK baik dari pimpinan sekolah, guru BK sendiri, maupun dari siswa yang menerima layanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami gambaran persepsi guru BK lulusan pendidikan strata satu Bimbingan Konseling terhadap kompetensi dalam berperan sebagai guru BK yang bekerja di Kota Jakarta Selatan.Penelitian ini berupa deskriptif dengan metode kombinasi (mixed methods) tipe explanatory design. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan pengisian kuesioner yang disusun peneliti untuk memperoleh data numerik.  Terdapat satu kuesioner yang digunakan yaitu persepsi terhadap kompetensi guru BK (91 item, α=0.986). Teknik sampling incidental digunakan saat pengumpulan data kuantitatif terhadap 100 orang guru BK dan teknik homogeneous sampling saat pengumpulan data kualitatif terhadap 3 orang dari perwakilan kategori.Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya guru BK mempersepsikan bahwa kompetensi yang dimilikinya berada pada taraf sedang dalam berperan sebagai guru BK di Jakarta Selatan. Hasil analisis data primer berupa pengolahan deskriptif didapatkan hasil bahwa terdapat satu sub domain dari area pengetahuan dan lima sub domain dari area keterampilan yang masih membutuhkan penguatan berupa pelatihan. Data kualitatif menunjukkan hal yang serupa. Hal ini berarti bahwa guru BK masih memiliki pandangan bahwa kompetensi yang dimilikinya masih berada ditaraf cukup, namun masih membutuhkan berbagai pengembangan untuk memaksimalkan kualitas pemberian layanan bimbingan konseling di sekolah.
Dinamika Stres, Strategi Coping, dan Dukungan Sosial yang Diharapkan Mahasiswa Skripsi di Universitas XYZ Silvyana Hianto; Theresia Indira Shanti
Provitae: Jurnal Psikologi Pendidikan Vol 11, No 2 (2018): Provitae
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.96 KB) | DOI: 10.24912/provitae.v11i2.2758

Abstract

Thesis writing problem at XYZ University has emerged since a few years ago. Therefore, this study aims to understand the existing conditions in the field regarding stress conditions, causes, coping strategies, and expected social support. This research uses the mixed methodology, involving XYZ University students who cannot complete their thesis in two semesters (including “Seminar”). Based on data from 84 students who participated, is known that the main obstacles are difficult in writing down ideas to a scientific form, bad relationship with the thesis advisor, courses that should be taken, and emergency psychological disorders symptoms. Furthermore, the most used coping strategy is emotional-focused coping. While the most expected social support is emotional support, networking (e.g., study groups) and information (e.g., feedback, discussion, and suggestions), qualitative data shows that "deadline" is essential to motivate students in completing a thesis. This research provides an intervention plan to help the students to complete their thesis. For example, the university manager can provide a system and providing facilities that can help these students to complete their thesis. Also, it also requires an emphasis on scientific writing tasks carried out in small groups or individually to students, with the aim of honing students' scientific writing skills before finally taking thesis.
HUBUNGAN ANTARA MINDFULNESS IBU & KONFLIK IBU DENGAN ANAK REMAJA USIA 13-15 TAHUN Daniel Saputra; Theresia Indira Shanti
MANASA Vol 8 No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.287 KB) | DOI: 10.25170/manasa.v8i1.1951

Abstract

Mothers are expected to have good relationships with their adolescents. However, there aremany conflicts between mothers and their adolescents, which cannot be resolved properly bymothers. Therefore, mothers who have early adolescent child need to have a mindful attitudeto avoid conflicts and resolve conflicts that occur with teenagers. The aim of this study is tofind out the relationship between mindfulness and conflict among mothers who haveadolescents aged 13-15 years. Participants in this study were 118 mothers who haveadolescents aged 13-15 years, which were collected using 15-item Five Facet MindfulnessQuestionnaire (FFMQ-15) and Konflik Ibu-Anak (KIA) and convenience sampling method.Correlation analysis show that there is a significant negative relationship between mindfulnessand conflict among mothers who have adolescents aged 13-15 years (r(117) = -0.272; p <0.05,one-tailed). This finding confirmed previous study, that the mor mindfulness the mother is, themore mother aware and process her emotion, and the less conflict they she has with herdaughter. It is recommended that further analysis needed to the context of respondents.
GAMBARAN KOMUNIKASI SUPORTIF DARI TEMAN YANG MEMBANTU REGULASI EMOSI PADA MAHASISWA (STUDI PADA MAHASISWA YANG BARU MELEWATI TAHUN PERTAMA DI UNIVERSITAS X) Amelia Hartono; Theresia Indira Shanti
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1616

Abstract

Mahasiswa tahun pertama rentan terhadap stres yang disebabkan adanya masa transisi dan lingkungan baru. Pada saat yang bersamaan mereka dituntut untuk menampilkan performa akademik yang baik, membentuk relasi yang baru dengan teman, serta menjadi orang dewasa yang mandiri. Dukungan dari teman sebaya dalam bentuk komunikasi suportif dapat membantu mahasiswa tahun pertama dalam meregulasi emosinya agar mereka mampu menjalani perkuliahan dengan baik, sehingga pada akhirnya mampu berprestasi. Aspek dalam komunikasi suportif terdiri dari empati, menghormati, tulus, tidak menghakimi, motivasi, praktis atau dapat dipahami, dan menjaga rahasia. Dengan metode convenience sampling, sebanyak 15 mahasiswa tahun pertama dipilih sebagai responden penelitian. Gambaran komunikasi suportif yang membantu regulasi emosi dari teman sebaya diperoleh melalui wawancara kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa empati, tulus, motivasi, dan saran praktis merupakan dasar komunikasi suportif dari teman yang membantu mahasiswa tahun pertama meregulasi emosinya.
Psychoeducational Interventions on Conflict Resolution Styles among Individuals Involved in Commuter Marriages Qurrata A'yun; Theresia Indira Shanti
Journal of Innovation and Community Engagement Vol. 2 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Kristen Maranatha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28932/jice.v2i2.3777

Abstract

Couples in commuter marriages who live apart face many challenges, such as having ineffective communications which lead to conflict. Couples who use a positive and constructive conflict resolution style, have a better chance of getting a better quality of marital life. This intervention aims to provide psychoeducation to participants in order to understand conflict resolution styles that can be applied when dealing with and resolving conflicts in commuter marriages. The evaluation of the intervention effect was carried out by comparing the knowledge and skill to the application of conflict resolution styles, before and after the intervention. After being given psychoeducation, it was found that 25 participants changed the resolution style they would use when experiencing conflict with their partner. While the other 5 participants still chose the same resolution style. In conclusion, through this psychoeducation, participants have new knowledge about various resolution styles that can be used, and according to the conflict conditions experienced by each partner.