Articles
KONTEKSTUAL DALAM ARSITEKTUR: Adaptasi Bangunan di Komplek Gedung Negara Cirebon
Nurtati Soewarno;
Nurhidayah Nurhidayah;
Erwin Yuniar Rahadian
Jurnal Arsitektur ARCADE Vol 6, No 2 (2022): Jurnal Arsitektur ARCADE Juli 2022
Publisher : Prodi Arsitektur UNIVERSITAS KEBANGSAAN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31848/arcade.v6i2.1017
Abstract: Indonesia has various of cultural heritages, both from local and immigrant culture. Gedung Negara, which previous called Residency Building, is one of the Dutch colonial government legacies in Cirebon city. Since its founding in 1865 until now this building has several times changed its name and function. This encourages various changes, additions, demolitions and transformations as an effort to adapt to new functions. The problem occurs if there is no context between new buildings and Gedung Negara as a cultural heritage building. This paper aims to determine the adaptation of architectural style of new buildings to Gedung Negara. By observing, a description of the function, form and architectural style of the new buildings around the Gedung Negara is obtained. Is there any architectural context betweem new buildings and Gedung Negara? How will the adaptation of these new buildings be? The architectural style context between new buildings and heritage buildings is highly recommended so that the new building can coexist in harmony with the cultural heritage building. It is hoped that the change of functions will not eliminate the uniqueness of the Indische Empire style and the Gedung Negara as a cultural heritage building in Cirebon city should be preserved well.Abstrak: Indonesia memiliki berbagai warisan budaya, baik yang berasal dari budaya lokal maupun budaya pendatang. Gedung Negara yang semula bernama Gedung Karesidenan adalah salah satu warisan Pemerintah Kolonial Belanda di kota Cirebon. Sejak didirikan tahun 1865 hingga saat ini gedung ini telah mengalami beberapa kali pergantian nama dan fungsi. Hal ini mendorong terjadinya berbagai perubahan, penambahan, pembongkaran maupun transformasi sebagai upaya adaptasi terhadap fungsi barunya. Permasalahan terjadi apabila tidak ada konteks antara bangunan baru dengan Gedung Negara sebagai bangunan cagar budaya. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi bentuk dan gaya arsitektur bangunan-bangunan baru terhadap Gedung Negara. Dengan melakukan observasi diperoleh gambaran fungsi, bentuk dan gaya arsitektur bangunan-bangunan baru di sekitar Gedung Negara. Apakah ada konteks gaya arsitektur antara bangunan baru dengan Gedung Negara? Bagaimana bentuk adaptasi bangunan-bangunan baru tersebut? Konteks gaya arsitektur antara bangunan baru dengan bangunan cagar budaya sangat disarankan agar bangunan baru dapat bersanding harmoni dengan bangunan cagar budaya. Diharapkan alih fungsi tidak menghilangkan keunikan gaya Indische Empire dan Gedung Negara sebagai bangunan cagar budaya di kota Cirebon sudah selayaknya dilestarikan dengan baik.
Memanfaatkan Potensi dan Keindahan Bangunan Kolonial melalui Alih Fungsi Bangunan Studi Kasus: Heritage the Factory Outlet di Jl Riau Bandung
Nurtati Soewarno
Rekayasa Hijau : Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan Vol 4, No 3 (2020)
Publisher : Institut Teknologi Nasional, Bandung
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.26760/jrh.v4i3.133-144
ABSTRAKBangunan peninggalan kolonial merupakan warisan budaya yang saat ini banyak dialih fungsikan terutama untuk fungsi komersial. Bangunan ini mempunyai gaya arsitektur yang unik dan beradaptasi terhadap iklim tropis dengan penerapan bukaan lebar, plafond tinggi dan atap bersudut tajam. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana memanfaatkan potensi bangunan peninggalan kolonial. Dengan melakukan observasi diperoleh data bahwa keindahan gaya arsitektur menjadi daya tarik pengunjung dan dengan tata letak furniture yang tepat akan diperoleh kenyamanan termal dan pencahayaan alami yang optimal. Heritage the Factory Outlet dipilih sebagai kasus studi karena alih fungsi terbilang sukses, tidak menghilangkan keaslian gaya arsitekturnya bahkan menjadikannya daya tarik tersendiri. Bangunan tambahan di bangun tidak lebih menonjol dari bangunan utama sehingga keberhasilan alih fungsi ini diharapkan dapat diterapkan pada bangunan cagar budaya lainnya. Diperlukan dukungan Pemerintah Daerah dalam pengawasan pelaksanaan perubahan agar tidak melanggar aturan konservasi dan menindak tegas segala bentuk pelanggaran yang dapat merusak bangunan sebagai warisan budaya.Kata kunci: bangunan peninggalan kolonial, alih fungsi, adaptasi gaya arsitektur, bangunan cagar budaya, adaptive reuseABSTRACTColonial heritage buildings are cultural heritages that nowadays many of them are undergoing functional shift, mainly into commercial function. These buildings have an architectural style that adapt to tropical climate by applying wide openings, high ceilings with sharp angeled roof. This research goal is to explore how to benefit the potential of colonial heritage buildings. Observation results showed that beauty of the architectural style is the attraction for visitors together with the right furniture layout, thermal comfort and optimal natural lighting. “Heritage” Factory Outlet was selected as a case study because of the function shift was successful, does not eliminate the beauty of the architectural style and in fact it becomes its unique attraction. The additional building does not become more prominent of the main building so that the succes of function shift is expected to be applied to other cultural heritage building. Local Government support is required in monitoring the implementation of changes that do not violate the rules of conservation and take firm action against any violation that may damage the building as a cultural heritage.Keywords: Colonial heritage building, building function shift, architecture style addaptation, cultural heritage building, adaptive reuse
PEMBUATAN DOKUMENTASI DAN SOSIALISASI PEMELIHARAAN MATERIAL PADA BANGUNAN KLENTENG DEWI WELAS ASIH CIREBON
Nurtati soewarno;
Theresia Pynkyawati
Lentera Karya Edukasi Vol 1, No 1 (2021): Jurnal LENTERA KARYA EDUKASI: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat
Publisher : Pusat Pengembangan dan Kajian Sarana dan Prasarana Pendidikan (P2K Sarprasdik)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (622.921 KB)
Abstract: The existence of a temple as a cultural heritage building deserves special attention. The temple is one of the old Chinese buildings founded by Chinese immigrants around the 16th century AD. Currently several temples have been declared as cultural heritage buildings, one of it’s the Dewi Welas Asih Temple in the city of Cirebon, West Java. Therefore, conservation and maintenance actions are needed, especially for building materials. The Itenas Bandung architecture study program in collaboration with the STT Cirebon architecture study program assisted by students helping the Kacapi Batara community to make documentation and material maintenance designs on old Chinese buildings in the city of Cirebon. Documentation is generally written in Kanji characters which are no longer known by future generations due to the political situation which has not allowed for cultural regeneration for approximately 32 years. In addition, replacement of managers are generally regenerated without a formal handover of documents. The initial step of this activity was started by studying the history of the establishment and other factors related to the development of the temple. Additional data were obtained by conducting interviews with the elders and administrators of the temple. The next step is a field visit to take measurements, shoot and sketch of architectural details and decorations. Measuring and taking pictures not only of buildings but also of heirlooms that are outside and inside the building. The data obtained were then analyzed to produce a drawing document including floor plans, views, sections, and plans for the proposed building material maintenance efforts. Documentation can be historical evidence in the past to be studied not only by future generations but also by the general public as one of the cultural heritage of the Indonesian nation. Abstrak: Keberadaan klenteng sebagai bangunan cagar budaya selayaknya patut mendapat perhatian khusus. Klenteng merupakan salah satu bangunan tua Tionghoa yang didirikan imigran Tinghoa sekitar abad ke 16 Masehi. Saat ini beberapa Klenteng telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya, salah satunya adalah Klenteng Dewi Welas Asih di kota Cirebon Jawa Barat. Oleh karenanya diperlukan tindakan konservasi dan pemeliharaan terutama pada material bangunannya. Progam studi arsitektur Itenas Bandung bekerja sama dengan program studi arsitektur STT Cirebon dibantu oleh mahasiswa membantu komunitas Kacapi Batara membuat dokumentasi serta rancangan pemeliharaan material pada bangunan tua Tionghoa di kota Cirebon. Dokumentasi umumnya ditulis dalam huruf Kanji yang sudah tidak dikenal oleh generasi penerus karena situasi politik yang tidak memungkinkan terjadinya regenerasi budaya selama kurang lebih 32 tahun. Selain itu penggantian pengelola umumnya secara beregenerasi tanpa serah terima dokumen secara formal. Langkah awal kegiatan ini dimulai dengan mempelajari sejarah pendirian dan faktor lain yang berkaitan dengan perkembangan klenteng. Data tambahan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada para sesepuh dan pengelola klenteng. Langkah berikutnya adalah kunjungan ke lapangan untuk melakukan pengukuran, pemotretan dan pembuatan sketsa detail-detail arsitektur dan ragam hias. Pengukuran dan pengambilan gambar tidak hanya pada bangunan tetapi juga pada benda-benda pusaka yang terdapat di luar dan dalam bangunan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis sehingga menghasilkan dokumen gambar meliputi gambar denah, tampak, potongan, serta rancangan upaya pemeliharaan material bangunan yang diusulkan. Dokumentasi dapat menjadi bukti sejarah di masa lampau untuk dipelajari tidak saja oleh generasi penerus tetapi juga oleh masyarakat umum sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia
SUSTAINABLE DESIGN, CONNECTIVITY ORDER AND DETAILING ARCHITECTURE TO SITE COMFORT, CORRIDOR BRAGA
Nurtati Soewarno;
Taufan Hidjaz;
Eka Virdianti
Dimensi: Journal of Architecture and Built Environment Vol. 45 No. 1 (2018): JULY 2018
Publisher : Institute of Research and Community Outreach, Petra Christian University, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (937.673 KB)
|
DOI: 10.9744/dimensi.45.1.45-54
Comfort in activities is very instrumental to liven up interaction within the city community. In fact, public spaces of a city are developed by the comfort obtained physically and psychically, Braga Corridor which built with the typology adapting the European and the tropical. This architecture is believed to provide fun experience for interaction, which eventually develop the physically comfort. Unfortunately that the city economy growth can threaten the existence of the Corridor. We believed the comfort fact to be the keyword to solve the problem. This study was aimed at analyzing connectivity and comfort. Mixed method research approach was employed. The data was gathered by a measuring tool, observation, and documentation. The analyzed using descriptive method. The results showed that the Braga Corridor segment 2 has provided visual psychic comfort and architecturally assisted thermal comfort in the morning and afternoon shadowing aspect, but for the comfort of the thermal beyond comfortable temperature zones.
KONTEKSTUAL DALAM ARSITEKTUR: Adaptasi Bangunan di Komplek Gedung Negara Cirebon
Nurtati Soewarno;
Nurhidayah Nurhidayah;
Erwin Yuniar Rahadian
Jurnal Arsitektur ARCADE Vol 6, No 2 (2022): Jurnal Arsitektur ARCADE Juli 2022
Publisher : Prodi Arsitektur UNIVERSITAS KEBANGSAAN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31848/arcade.v6i2.1017
Abstract: Indonesia has various of cultural heritages, both from local and immigrant culture. Gedung Negara, which previous called Residency Building, is one of the Dutch colonial government legacies in Cirebon city. Since its founding in 1865 until now this building has several times changed its name and function. This encourages various changes, additions, demolitions and transformations as an effort to adapt to new functions. The problem occurs if there is no context between new buildings and Gedung Negara as a cultural heritage building. This paper aims to determine the adaptation of architectural style of new buildings to Gedung Negara. By observing, a description of the function, form and architectural style of the new buildings around the Gedung Negara is obtained. Is there any architectural context betweem new buildings and Gedung Negara? How will the adaptation of these new buildings be? The architectural style context between new buildings and heritage buildings is highly recommended so that the new building can coexist in harmony with the cultural heritage building. It is hoped that the change of functions will not eliminate the uniqueness of the Indische Empire style and the Gedung Negara as a cultural heritage building in Cirebon city should be preserved well.Abstrak: Indonesia memiliki berbagai warisan budaya, baik yang berasal dari budaya lokal maupun budaya pendatang. Gedung Negara yang semula bernama Gedung Karesidenan adalah salah satu warisan Pemerintah Kolonial Belanda di kota Cirebon. Sejak didirikan tahun 1865 hingga saat ini gedung ini telah mengalami beberapa kali pergantian nama dan fungsi. Hal ini mendorong terjadinya berbagai perubahan, penambahan, pembongkaran maupun transformasi sebagai upaya adaptasi terhadap fungsi barunya. Permasalahan terjadi apabila tidak ada konteks antara bangunan baru dengan Gedung Negara sebagai bangunan cagar budaya. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi bentuk dan gaya arsitektur bangunan-bangunan baru terhadap Gedung Negara. Dengan melakukan observasi diperoleh gambaran fungsi, bentuk dan gaya arsitektur bangunan-bangunan baru di sekitar Gedung Negara. Apakah ada konteks gaya arsitektur antara bangunan baru dengan Gedung Negara? Bagaimana bentuk adaptasi bangunan-bangunan baru tersebut? Konteks gaya arsitektur antara bangunan baru dengan bangunan cagar budaya sangat disarankan agar bangunan baru dapat bersanding harmoni dengan bangunan cagar budaya. Diharapkan alih fungsi tidak menghilangkan keunikan gaya Indische Empire dan Gedung Negara sebagai bangunan cagar budaya di kota Cirebon sudah selayaknya dilestarikan dengan baik.
PENERAPAN PRINSIP NATURE IN THE SPACE DAN NATURE OF THE SPACE PADA HEALTHY PLAZA AVENUE DI KOTA BARU PARAHYANGAN
Rizal Pardamean Sihite;
Nurtati Soewarno
JMARS: Jurnal Mosaik Arsitektur Vol 9, No 2 (2021): September
Publisher : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.26418/jmars.v9i2.48407
Humans are essential can not be separated from nature because humans rely heavily on nature for their survival. Currently including natural elements in the design of a building has become a lifestyle and trend, as seen in some commercial buildings, such as Hotels, Shopping Malls that take the theme of nature. Healthy Plaza Avenue is a planned shopping center to fulfill facilities in Kota Baru Parahyangan, a new residential neighborhood that has a vision of an independent green city. Healthy Plaza Avenue design method starts from problem formulation, data collection, design process, and design products. Nature in the space and Nature of the space are two of the three categories of biophilic design principles that are considered to be appropriately applied to the design of Healthy Plaza Avenue. The application of the principles of Nature in the space and nature of the space is seen in the Atrium by placing ornamental plants and shade trees equipped with waterways that boil in the Event Plaza. While in the outside area is a planned Rain Garden that serves in addition to adding beauty also as a catchment and recycling area for the needs of the building. In addition, hanging plants are also placed on the façade of the building to reflect the green elements so that Healthy Plaza Avenue can be harmonious with the environment. It is hoped that the concept of Nature in the Space and Nature of the Space can be in line with the vision of Kota Baru Parahyangan as an independent city that maintains its environmental beauty.
The transformation of Shophouse as an effort to continue the trading tradition in Pasar Baru area, Bandung
Nurtati Soewarno;
Mustika Kusumaning Wardhani
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur Vol 8 No 1 (2023): ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur | Januari 2023 ~ April 2023
Publisher : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30822/arteks.v8i1.1976
The development of cities in Indonesia must be connected to the role of the Dutch colonial government. Cities were built from an indigenous village by creating a grid pattern to divide the village into residential blocks with the traditional market as the center. The Chinese, as immigrants, had no choice of work other than being traders. Currently, in Pasar Baru, the first commercial area in Bandung, Chinese-style shophouses are still recognizable, and some have been designated cultural heritage buildings. Unfortunately, some more are no longer intact, split into several units, or transformed into other shophouses. This study aims to show how Chinese society has continued to trade as tradition and how the shophouse as a legacy has adapted. The method used in this research is descriptive qualitative using several case studies. From survey observations, it can be seen that the transformation of shophouses begins with the division of shophouses in a transverse direction so that each unit still has road access to continue the trading tradition. The success of the descendant's continued tradition has made Pasar Baru the most prominent trading center in Bandung and serves other cities around Bandung.
PENERAPAN GAYA ARSITEKTUR KONTEMPORER PADA PEX EXHIBITION DAN CONVENTION CENTER DI KOTA BARU PARAHYANGAN
Alfian Al Ghifari;
Nurtati Soewarno
Jurnal Arsitektur Vol. 13 No. 2 (2021): Jurnal Arsitektur
Publisher : Program Studi Arsitektur Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1351.261 KB)
|
DOI: 10.59970/jas.v13i2.29
Arsitektur Kontemporer merupakan bentuk karya arsitektur yang terjadi pada masa kini. Arsitektur Kontemporer memiliki karakteristik tampilan yang menarik dan tidak bersifat ketinggalan jaman, desain bergaya kontemporer dapat memberikan kenyamanan visual dan juga menggambarkan kehidupan modern bagi penggunanya khususnya pengguna bangunan PEX Exhibition dan Convention Center di Kota Baru Parahyangan. Namun penerapan arsitektur kontemporer ini akan mengubah tipologi karakter bangunan bagi wilayah Kota Baru Parahyangan, karena penerapan prinsip Arsitektur Kontemporer pada PEX Club House merupakan bentuk penerapan kebebasan gaya yang selaras dengan prinsip arsitektur kontemporer ini tersendiri. Penerapan Arsitektur Kontemporer pada PEX Club House akan memiliki bentuk dan tampilan yang merangsang fantasi, menciptakan ide dan mengembangkan kreativitas penggunanya serta memiliki daya tarik tersendiri sehingga dapat mengundang pengunjung dan menghidupkan aktifitas didalamnya. Penerapan arsitektur kontemporer diterapkan dalam pengolahan sirkulasi ruangan, bentuk massa bangunan, harmonisasi elemen exterior dan interior, desain fasad serta struktur dan konstruksi bangunan. Metoda penelitian yang diterapkan adalah kualitatif, pendekatan terhadap data-data dan informasi serta perumusan perancangan desain yang mengandung prinsip-prinsiparsitektur kontemporer. Dengan diterapkannya Arsitektur Kontemporer pada PEX Club House diharapkan dapat menciptakan nuansa bangunan yang interaktif dan kreatif serta membuat perputaran ekonomi kreatif bagi penghuni kawasan Kota Baru Parahyangan dan sekitarnya
PENERAPAN KONSEP ARSITEKTUR POST-MODERN PADA BANGUNAN BALE PARAHYANGAN DI KOTA BARU PARAHYANGAN
Muhammad Naufal;
Nurtati Soewarno
Jurnal Arsitektur Vol. 13 No. 2 (2021): Jurnal Arsitektur
Publisher : Program Studi Arsitektur Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1389.651 KB)
|
DOI: 10.59970/jas.v13i2.34
Bale Parahyangan adalah bangunan yang dirancang untuk fungsi Eksibisi dan Konvensi yang berlokasi di Jl. Parahyangan, Kota Baru Parahyangan. Nama Bale Parahyangan diambil dari dua kata yaitu “Bale” berasal dari bahasa Sunda yang berarti balai atau gedung pertemuan dan “Parahyangan” berasal dari nama lokasi dimana bangunan tersebut berada, yaitu di Kota Baru Parahyangan, Bale Parahayangan dirancang dengan fasilitas utama sebagai tempat untuk kegiatan pertemuan dan pameran dengan kapasitas total 1500 orang yang dapat menampung aktifitas MICE (Meeting, Invention, Convention, Exhibition) berupa Rental Office, Co-Working Space, dan Meeting Room. Bangunan ini dirancang dengan konsep Arsitektur Post Modern dan gabungan dari konsep Post Modern-Contextualism yang memperhatikan 3 aspek utama yaitu aspek kondisi lingkungan, sosial budaya masyarakat dan sejarah kawasan sekitarnya. Penerapan konsep Arsitektur Post ModernContextualism diimpelentasikan pada elemen utama bangunan seperti penataan lanskap yang selaras dengan lingkungan sekitar, fasad yang menggunakan bentukan dari budaya Sunda, olahan ruang dalam yang luas dan terbuka serta tatananmassa bangunan yang bersifat geometris namun tetap responsif terhadap bentuk tapak. Diharapkan penerapan konsep Arsitektur Post-Modern dapat menjadikan bangunan Bale Parahyangan sebagai salah satu icon di kawasan Kota Baru Parahyangan yang dapat meningkatkan kunjungan masyarakat ke kawasan ini.
PERUBAHAN ELEMEN FASAD BANGUNAN CAGAR BUDAYA EKS KOLONIAL: Kasus Studi: Bangunan Hunian karya A.F Aalbers di Jalan Prabu dimuntur Kota Bandung
Muhammad Rifqi Fadhlurrohman;
Nurtati Soewarno
Jurnal Arsitektur Vol. 14 No. 2 (2022): Jurnal Arsitektur
Publisher : Program Studi Arsitektur Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2561.134 KB)
|
DOI: 10.59970/jas.v14i2.92
Indonesia adalah salah satu Negara koloni Belanda di Asia Tenggara. Lamanya pemerintah Belanda tinggal di Indonesia dapat diidentifikasi dari bangunan-bangunan peninggalannya yang bergaya Indische. Saat ini sebagian besar dari bangunan tersebut telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya. Sebagai kota yang direncanakan akan menjadi ibu kota Hindia Belanda, Pemerintah kota Bandung meminta para Arsitek Belanda untuk mendesain bangunan dan kawasan, salah satunya adalah A.F Aalbers. Karya-karya Aalbers sangat adaptif terhadap iklim tropis Indonesia, memiliki tipe spesifik, baik yang diterapkan pada desain Hotel, Bank maupun pada bangunan hunian. Makalah ini akan memaparkan tipologi bangunan hunian karya Aalbers yang berlokasi di kawasan Gedung Sate. Apa ciri spesifik dari karya Aalbers dan bagaimana perkembangannya terkait dengan perubahan pada kawasan bekas kolonial menjadi kawasan komersial. Observasi ke lapangan diperlukan untuk mendata keberadaan bangunan karya Aalbers dan mengetahui kondisi terkini. Selain itu untuk mengetahui gaya dan bentuk originalnya dipelajari literatur mengenai karya-karya Aalbers, baik yang berada di Indonesia maupun di Negara lain. Diharapkan perubahan fungsi kawasan tidak mengganggu keberadaan bangunan cagar budaya bahkan keelokan dan potensinya dapat menjadi daya tarik tersendiri. Diharapkan pula bangunan cagar budaya dapat beradaptasi terhadap fungsi baru sehingga bangunan, sebagai warisan bangsa dapat tetap digunakan dan dilestarikan.