Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

THE CONCEPT OF SOVEREIGNTY ACCORDING TO ABUL A’LA AL-MAUDUDI AND ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM Tampan Cresna, Achmad Arif
Ijtihad : Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.685 KB) | DOI: 10.21111/ijtihad.v12i2.3023

Abstract

Tidak memandang negara Barat ataupun Timur,isu penegakan kedaulatan merupakan sebuah kesepaka-tan seluruh umat manusia demi terciptanya perdamaiandunia. Namun, persoalan yang sering kali muncul adalahperbedaan standar dan orientasi kedaulatan versi Barat danIslam, yang kemudian menjadi dua kelompok besar yangsaling bertentangan. Adanya perbedaan konsep kedaulatanoleh dua tokoh Islam, namanya Abul A’la Al-Maududi danAbdullah Ahmad An-Na’im. Dari pembahasan yang telahdijelaskan, penulis mengambil kesimpulan bahwa kedau-latan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ataukesatuan yang tidak terletak dibawah kekuasaan lain. Dalamkonsep Al-Maududi terhadap kedaulatan, bahwa sistemkedaulatan hanya milik Allah SWT. Sedangkan rakyat atauumat Islam hanya sebagai wakil atau bisa disebut khalifah.Diantara asas politik Islam yang membedakan dengansistem kedaulatan adalah menjadikan kedaulatan di tangansyara’. Dalam konsep An-Na’im terhadap kedaulatan, bahwakekuasaan dipegang penuh oleh umat, umat Muslim ikutberperan dan bertanggung jawab, kebebasan adalah hakbagi semua orang, dan sistem kedaulatan berada dalamundang-undang Islam, kemudian dia memerintahkan untukmenolak sistem-sistem lain yang tidak bersum berdarinya.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 005/PUU-IV/2006 (BERDASARKAN ASAS NEMO JUDEX IDONEUS IN PROPRIA CAUSA DAN PRINSIP ISTIQLAL QADHA) Arif, achmad; Dewantara, Affrizal Berryl
Ijtihad : Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (376.028 KB) | DOI: 10.21111/ijtihad.v13i2.3540

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUUIV/2006 yang menguji Undang-Undang Komisi Yudisialberkenaan dengan frasa ?Hakim dan Hakim Konstitusi?mengundang perdebatan. Permohonan pengujian UU inidiajukan oleh Hakim Agung yang merasa dirugikan hakkonstitusionalnya dengan adanya pengawasan dari KomisiYudisial. Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaganegara yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untukmenguji undang-undang menerima permohonan ini danmengadilinya hingga putusan. Namun langkah yang diambilMahkamah Konstitusi ternyata menimbulkan pelanggaranasas peradilan yang berlaku di Indonesia yakni asas bahwahakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitan dengandirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).Sebagai upaya islamisasi hukum, Islam sebagai agama yangkomprehensif juga mengatur mengenai prinsip kehakimandisebut dengan prinsip istiqlal qadha. Maka penulis berusahamenganalisis langkah Hakim Konstitusi menerima perkaraini dari sudut pandang hukum dan hukum Islam. daripenelitian ini menunjukan langkah yang dilakukan HakimKonstitusi dengan melanggar asas Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui kandungan dari Putusan No.005/PUUIV/2006 dari asas nemo judex idoneus in propria causaSelanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadanya.PSelanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadanya.utusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUUIV/2006 yang menguji Undang-Undang Komisi Yudisialberkenaan dengan frasa ?Hakim dan Hakim Konstitusi?mengundang perdebatan. Permohonan pengujian UU inidiajukan oleh Hakim Agung yang merasa dirugikan hakkonstitusionalnya dengan adanya pengawasan dari KomisiYudisial. Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaganegara yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untukmenguji undang-undang menerima permohonan ini danmengadilinya hingga putusan. Namun langkah yang diambilMahkamah Konstitusi ternyata menimbulkan pelanggaranasas peradilan yang berlaku di Indonesia yakni asas bahwahakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitan dengandirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).Sebagai upaya islamisasi hukum, Islam sebagai agama yangkomprehensif juga mengatur mengenai prinsip kehakimandisebut dengan prinsip istiqlal qadha. Maka penulis berusahamenganalisis langkah Hakim Konstitusi menerima perkaraini dari sudut pandang hukum dan hukum Islam. daripenelitian ini menunjukan langkah yang dilakukan HakimKonstitusi dengan melanggar asas Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui kandungan dari Putusan No.005/PUUIV/2006 dari asas nemo judex idoneus in propria causa.1 Dosen Fakultas Syariah Prodi Perbandingan Madzhab universitas DarussalamGontor.2 Mahasiswa Fakultas Syariah Prodi Perbandingan Madzhab universitasDarussalam Gontor.Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/Puu-Iv/2006...170 Volume 13 Nomor 2, September 2019Selanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadany
ANALYSIS OF JUDGE DECISION NUMBER 1537/Pid.B/2016/PnJkt.Utr RELATED TO PENAL CODE AGAINST BLASPHEMY PERPETRATOR Achmad Arif; Haerul Akmal; Muhammad Imam Subagja
Jurnal Al-Dustur Vol 4, No 2 (2021)
Publisher : IAIN Bone

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30863/jad.v4i2.1864

Abstract

The discourse on religious blasphemy is one that raises a lot of polemics. In the Indonesian context, this does not only occur in the domain of positive law, but also extensively in the domain of Islamic thoughts. The underlying issue of the argument is whether the penalty to whom blaspheme such a religion in accordance of the satisfaction and  teaching of every adherent of religion in Indonesia, such types of questions emerge in discussions regarding the matter of what is most relevance in accordance of the teachings of the defied religion which in this case is Islam. This research aims to find out the sanctions imposed by the judge in case No.1537/Pid.B/ 2016/ PN. JktUtr. according to the perspective of Islamic law and also the law in force in Indonesia so that the normative juridical approach method used with logical thinking is deductive.
The Use of Marijuana for Medical Purposes: Between Normativity and the Principle of Islamic Law perspective Achmad Arif; Andini Rachmawati; Imam Kamaluddin; Nurjihan Naifah
Mazahib Vol 21 No 2 (2022): Volume 21, Issue 2, December 2022
Publisher : Fakultas Syariah UINSI Samarinda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21093/mj.v21i2.4751

Abstract

The limited availability of drugs for rare diseases makes some people use various ways to get treatment. One of them is using marijuana as medicine. In Islam, marijuana is not written directly in the texts, but it can be studied with Islamic legal principles in determining its ruling. Therefore, this paper aims to review the use of marijuana for medical needs from the point of view of the principle of Islamic law “al-ḥukmu yadûru ma’a al-'illah wujûdan wa’ adaman” (the law revolving around the cause for issuing it, whether it is present or absent). This study is library research sourced from the Islamic Jurisprudence references, then analyzed by the inductive method. The research results indicate that marijuana as a treatment is relatively new, and Islamic jurisprudence does not explicitly explain its legal use. Moreover, its use for health services is prohibited in the Narcotics Law. Marijuana in Islam is known to have an intoxicating cause that makes it haram (prohibited). The principle of Islamic law, “al-ḥukmu yadûru ma’a al-'illah wujûdan wa’ adaman” (the law revolving around the cause for issuing it, whether it is present or absent), serves as an excellent guide to know when a law applies and when it is suspended. If there is a cause (‘illah), then there is a law; if there is no cause (‘illah), there is no law. However, the reason (‘illah) with marijuana is a type of common cause (al-'illah al-muta’addiyah) where the branches of law (far’u al-ḥukm) follow the original law. Therefore, the use of medical marijuana is still illegal. Islam allows treatment with forbidden materials (haram) only in emergencies following the terms and conditions of emergency (dharuriyat) in Islam. Keywords: Marijuana, Medical, the principle of Islamic law “al-ḥukmu yadūru ma’a al-'illah wujūdan wa’ adaman” (the law revolving around the cause for issuing it, whether it is present or absent)
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 005/PUU-IV/2006 (BERDASARKAN ASAS NEMO JUDEX IDONEUS IN PROPRIA CAUSA DAN PRINSIP ISTIQLAL QADHA) achmad Arif; Affrizal Berryl Dewantara
Ijtihad Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (376.028 KB) | DOI: 10.21111/ijtihad.v13i2.3540

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUUIV/2006 yang menguji Undang-Undang Komisi Yudisialberkenaan dengan frasa “Hakim dan Hakim Konstitusi”mengundang perdebatan. Permohonan pengujian UU inidiajukan oleh Hakim Agung yang merasa dirugikan hakkonstitusionalnya dengan adanya pengawasan dari KomisiYudisial. Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaganegara yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untukmenguji undang-undang menerima permohonan ini danmengadilinya hingga putusan. Namun langkah yang diambilMahkamah Konstitusi ternyata menimbulkan pelanggaranasas peradilan yang berlaku di Indonesia yakni asas bahwahakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitan dengandirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).Sebagai upaya islamisasi hukum, Islam sebagai agama yangkomprehensif juga mengatur mengenai prinsip kehakimandisebut dengan prinsip istiqlal qadha. Maka penulis berusahamenganalisis langkah Hakim Konstitusi menerima perkaraini dari sudut pandang hukum dan hukum Islam. daripenelitian ini menunjukan langkah yang dilakukan HakimKonstitusi dengan melanggar asas Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui kandungan dari Putusan No.005/PUUIV/2006 dari asas nemo judex idoneus in propria causaSelanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadanya.PSelanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadanya.utusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUUIV/2006 yang menguji Undang-Undang Komisi Yudisialberkenaan dengan frasa “Hakim dan Hakim Konstitusi”mengundang perdebatan. Permohonan pengujian UU inidiajukan oleh Hakim Agung yang merasa dirugikan hakkonstitusionalnya dengan adanya pengawasan dari KomisiYudisial. Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaganegara yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untukmenguji undang-undang menerima permohonan ini danmengadilinya hingga putusan. Namun langkah yang diambilMahkamah Konstitusi ternyata menimbulkan pelanggaranasas peradilan yang berlaku di Indonesia yakni asas bahwahakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitan dengandirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).Sebagai upaya islamisasi hukum, Islam sebagai agama yangkomprehensif juga mengatur mengenai prinsip kehakimandisebut dengan prinsip istiqlal qadha. Maka penulis berusahamenganalisis langkah Hakim Konstitusi menerima perkaraini dari sudut pandang hukum dan hukum Islam. daripenelitian ini menunjukan langkah yang dilakukan HakimKonstitusi dengan melanggar asas Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui kandungan dari Putusan No.005/PUUIV/2006 dari asas nemo judex idoneus in propria causa.1 Dosen Fakultas Syariah Prodi Perbandingan Madzhab universitas DarussalamGontor.2 Mahasiswa Fakultas Syariah Prodi Perbandingan Madzhab universitasDarussalam Gontor.Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/Puu-Iv/2006...170 Volume 13 Nomor 2, September 2019Selanjutnya penulis berusaha meninjau langkah HakimKonstitusi dalam menerima perkara tersebut dari prinsipprinsipistiqlal qadha.Hasil peradilan diatas bukan tanpasebab, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai satusatunyalembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD1945 maka Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asasbahwa hakim tidak boleh mengadili kasus yang berkaitandengan dirinya sendiri dari pada asas hakim tidak bolehmenerima perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkanasas hakim harus menerima perkara yang diajukan kepadanya(ius curia novit) maka MK menerima dan mengadili kasusini. Dalam pandangan istiqlal qadha hal ini juga bukan suatupelanggaran karena Islam memandang hakim sebagai orangyang memiliki kompetensi tertentu yang mampu berijtihad,memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukankepadany
Peran KPU Ponorogo Dalam Penanggulangan Money Politic Pilkada Kabupaten Ponorogo Achmad Arif; Haerul Akmal; Iman Nur Hidayat
Ijtihad Vol. 15 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.431 KB) | DOI: 10.21111/ijtihad.v15i1.5528

Abstract

Penelitian ini mengkaji secara komprehensif peran KPU Ponorogo dalam penangggulangan money politic Pilkada Ponorogo. Money politic dalam Pilkada sudah menjadi rahasia umum, namun sampai saat ini belum ada alternatif kongkrit dalam penyelesaiannya di tingkatan pemilih. Penelitian ini selain untuk mengetahui peran KPU Ponorogo juga untuk memberikan saran dan solusi untuk Pilkada yang LUBER dan JurDil sebagaimana amanah dari konstitusi. Dalam mencapai tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan metode kombinasi, penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif digunakan untuk menganalisis aturan-aturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum KPU Ponorogo dalam rangka penanganan money politic. Penelitian empiris digunakan untuk menganalisis data faktual di lapangan terkait dengan peran KPU Kabupaten Ponorogo. Data-data yang faktual KPU Kabupaten Ponorogo dianalisis untuk melihat seberapa besar peran KPU Kabupaten Ponorogo dalam hal penanggulangan money politic di Kaubupaten Ponorogo. Hasil analisis data dari penelitian normatif dan empiris kemudian dikombinasikan dalam rangka mencari jawaba atas peran KPU Ponorogo dalam penanggulangan money politic dalam Pilkada di Ponorogo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KPU Ponorogo, memiliki peran aktif dalam menanggulangi money politic yaitu dengan memberikan Pendidikan politik dan demokrasi bagi setiap penduduk yang telah memiliki hak pilih.  Keyword: KPU, Ponorogo, Pilkada, Money Politic