Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PUNAN LETO: IDENTITAS KULTURAL MASYARAKAT DAYAK KENYAH Gabriella Mening; Rina Martiara; Tutik Winarti
Joged Vol 19, No 1 (2022): APRIL 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v18i1.6973

Abstract

RINGKASAN Tulisan ini menganalisis tari Punan Leto pada masyarakat suku Dayak Kenyah khususnya di desa Ritan Baru dan Tukung Ritan dengan pendekatan sosial budaya dari teori Raymond Williams. Dalam teori Williams memiliki tiga komponen pokok yaitu, lembaga budaya (Institution), isi (content), dan efek (effect). Lembaga budaya menanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang mengontrol dan bagaimana cara mengontrol itu dilakukan; komponen isi lebih fokus pada apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan komponen efek menanyakan konsekuensi apa yang diinginkan dari proses budaya tersebut. Ketiga aspek ini dapat dipakai untuk memahami bagaimana tari Punan Leto menjadi identitas budaya Dayak Kenyah.ABSTRACT This research is discusses how art, especially dance, becomes a cultural identity in the Dayak Kenyah community, especially those in the villages of Ritan Baru and Tukung Ritan. Punan Leto dance is a traditional dance in the Dayak Kenyah community. This study uses a socio-cultural approach with Raymond Williams’ theory to formulate the problem, namely: Who maintains? What are the aspects that make up identity? What to expect when it comes to identity. The purpose of this study is to describe how the Punan Leto dance becomes the cultural identity of the Dayak Kenyah community.
Tari Golek Gambyong Gaya Yogyakarta Tutik Winarti
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 11, No 1 (2010): Juni 2010
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v11i1.500

Abstract

Gambyog Dance of Yogyakarta. Tari Golek Gambyong merupakan satu-satunya tari golek gaya Yogyakartayang berbentuk tari kelompok. Tari ini merupakan koreografi lama yang dicipta KGPA Mangkubumi pada masapemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Tari Golek Gambyong dibawakan oleh tiga orang penari, denganperan dan karakter yang berbeda, yaitu satu peran putri sebagai Golek, dua peran putra masing-masing menjadiKakang Gambyong dan Canthang Balung. Diperkirakan tari ini merupakan penggambaran adanya intrik politik yangterjadi pada masa itu atau sebagai sindiran bagi yang berseteru pada masa itu. Saat tari itu diciptakan, dalam keratonsedang terjadi intrik politik yang terkenal dengan nama pergolakan Suryengalaga.
Tari Nenemo Sebagai Identitas Masyarakat Kabupaten Tulang Bawang Barat Mariska, Fransiska Ria; Martiara, Rina; Manganti, Galih Suci; Winarti, Tutik
IDEA: Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan Vol 19, No 1 (2025)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/idea.v19i1.16623

Abstract

Tari Nenemo, yang dipersembahkan sejak 2016 di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, merupakan sebuah representasi identitas yang dirancang oleh pemerintah daerah sebagai fondasi jati diri dan pembangunan masyarakat wilayah pemekaran baru. Tarian ini menyatukan keberagaman budaya, aktivitas keseharian, serta filosofi hidup yang mendalam nilai kerja keras ("nemen"), pantang menyerah ("nedes"), dan keikhlasan ("nerimo") yang berakar dari kearifan lokal Piil Pesenggiri. Sebagai respons terhadap dinamika sosio-politik pasca pemekaran, Tari Nenemo diharapkan mampu merefleksikan serta mengangkat karakteristik khas masyarakat Tulang Bawang Barat, terutama di tengah dominasi penduduk transmigran, dengan usaha pelestarian dan sosialisasi budaya sebagai upaya mewariskan nilai-nilai tersebut kepada generasi mendatang. Penelitian terkait berfokus pada pengungkapan makna dan elemen simbolik dalam tarian ini guna memahami kesesuaiannya dengan konteks sosial budaya lokal, meskipun kajian mendalam menggunakan lensa semiotika Charles Sanders Peirce masih belum banyak dilakukan. Literatur dan studi sebelumnya yang memaparkan proses penciptaan, penyajian, serta aspek musikalitas pendamping Tari Nenemo, bersama dengan referensi mengenai identitas kultural Lampung, memberikan gambaran bahwa setiap unsur pertunjukan mulai dari gerakan, ekspresi, kostum, dan properti berperan tak hanya sebagai elemen estetis, melainkan juga sebagai cerminan falsafah hidup dan dinamika sosial yang otentik, sehingga tarian ini menjadi simbol identitas yang kuat di tengah arus modernisasi. 
Fungsi Tari Wura Bongi Monca di Desa Karumbu, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat Dayantri, Rima; Winarti, Tutik; Supriyanti, Supriyanti
IDEA: Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan Vol 18, No 2 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/idea.v18i2.13050

Abstract

Tulisan ini mengupas fungsi Tari Wura Bongi Monca di Desa Karumbu Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Tari Wura Bongi Monca adalah tarian penyambutan tamu, tarian selingan di tengah dan akhir acara, dan tarian hiburan untuk memeriahkan acara. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi tari. Tipologi fungsi tari dirumuskan dalam enam kategori, yaitu tari sebagai refleksi dan legitimasi tatanan sosial, wahana ekspresi ritual sekuler dan keagamaan, hiburan sosial atau kegiatan rekreasi, saluran atau pelepasan spiritual, pencerminan nilai estetis atau suatu kegiatan estetis itu sendiri, dan sebagai pencerminan pola kegiatan ekonomi untuk menunjang kehidupan. Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi tari Wura Bongi Monca sebagai bagian penting dalam memenuhi kebutuhan kesenian untuk hiburan, cerminan nilai estetis, cerminan pola kegiatan ekonomi, refleksi, wahana ekspresi ritual dan keagamaan, dan sebagai saluran pelepasan spritual. The Function of the Wura Bongi Monca Dance in Karumbu Village, Langgudu Subdistrict, Bima Regency, West Nusa Tenggara.This paper examines the functions of the Wura Bongi Monca Dance in Karumbu Village, Langgudu Subdistrict, Bima Regency, West Nusa Tenggara. The Wura Bongi Monca Dance serves as a welcoming dance for guests, an interlude performance during and at the end of events, and as entertainment to enliven festivities. This study adopts an anthropological approach to dance. The typology of dance functions is categorized into six areas: dance as a reflection and legitimization of social order, a medium for secular and religious ritual expression, social entertainment or recreational activity, a channel for spiritual release, a reflection of aesthetic values or aesthetic activity itself, and as a reflection of economic activities supporting livelihoods. The study demonstrates that the Wura Bongi Monca Dance plays a crucial role in fulfilling artistic needs for entertainment, reflecting aesthetic values, economic activity patterns, and social order, serving as a medium for ritual and religious expression, and as a channel for spiritual release.
Program Selendang Sutera sebagai Media Kreativitas untuk Menanamkan Solidaritas dan Rasa Kebangsaan Mahasiswa Nusantara Arindyasari, Putu Ayu; Pusparini, Ni Made Tirta Baira; Rohmah, Irta Hayyin Nur; Luthfiana, Alfiya Mar'ata; Winarti, Tutik
Ekspresi Vol 12, No 2 (2023)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/ekp.v12i2.11526

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan Program Gelar Budaya Etnis Selendang Sutera yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudhayan) DI Yogyakarta yang melibatkan 34 IKPM di Yogyakarta. Fokus kajian dilakukan pada bentuk sajian karya seni dan perannya dalam menanamkan rasa solidaritas dan kebangsaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif analitik. Adapun tahap penelitian yang dilakukan meliputi tahap pra-lapangan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan tulisan. Hasil yang didapat yaitu, bentuk sajian Program Gelar Budaya Etnis Selendang Sutera dari tahun ke tahun tidak pernah lepas dari akar budaya tradisi daerahnya. Bentuk sajian tampak pada pemilihan tema, komposisi penari, pola lantai, property, dan musik yang digunakan. Terdapat beberapa pengembangan bentuk pola gerak tari tradisi menjadi gerak kreasi baru, serta pengembangan komposisi bentuk seperti lifting/akrobatik sesuai dengan jiwa jaman para pelakunya. Gelar Budaya Etnis Selendang Sutera merupakan ajang bagi generasi muda Indonesia yang sedang menimba ilmu di Yogyakarta untuk bersatu, mempererat solidaritas kelompok maupun bersama untuk kemajuan negara dan bangsa. Kata kunci: Selendang Sutera, IKPM, solidaritas, kebangsaan AbstractThis article describes the Gelar Budaya Etnis Selendang Sutera Program, organized by the DI Yogyakarta Culture Service (Kundha Kabudhayan), which involves 34 IKPM in Yogyakarta. The focus of the study was on the form of presentation of works of art and its role in instilling a sense of solidarity and nationality. This research uses qualitative methods, which are presented in analytical descriptive form. The research stages include pre-field, data collection, data analysis, and writing preparation. The results obtained are that the presentation of the Silk Shawl Ethnic Cultural Degree Program from year to year has never been separated from the traditional cultural roots of the region. The form of the presentation can be seen in the choice of theme, composition of dancers, floor pattern, props, and music used. There are several developments in the form of traditional dance movement patterns into new creative movements, as well as the development of compositional forms such as lifting/acrobatics in accordance with the spirit of the times of the performers. The Gelar Budaya Etnis Selendang Sutera Program event is an opportunity for the young generation of Indonesia studying in Yogyakarta to unite, strengthen group solidarity, and work together for the country's and nation's progress. Keywords: Selendang Sutera, IKPM, solidarity, nationality