Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Manuskripta

Pujangga (Kraton) Jawa Vs Agen dalam Pandangan Bordieu Arsanti Wulandari
Manuskripta Vol 7 No 2 (2017): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (582.803 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v7i2.94

Abstract

Generally, among the Javanese kingdom, there are poets who are employed specifically to produce texts or engage in the process of creating texts within the palace. These poets are the "hands" of the Kings to write down a story, advice or teachings that the King will pass on to his children or citizens. Furthermore, the texts produced are often anonymous. This indicates that writers and copywriters are still just behind the scenes. This paper will discuss the phenomenon and compare it with Bordieu's concept of agent concept which he thinks is highly influenced by habitus, capital, and strategy so that it affects the author's position and legitimacy of the results in the literary arena. This article makes the text SB 169: Babad Ngayogyakarta HB IV-V written by Tumenggung Sasra Adipura in 1869 and has been copied back in 1881 by Carik Sastra Pratama Nom, son of Patma Pratama, as the main corpus which comparated with Bordieu's concept. --- Pada umumnya, di kalangan kerajaan Jawa terdapat pujangga yang dipekerjakan khusus untuk memproduksi teks atau terlibat dalam proses penciptaan teks di lingkungan istana. Pujangga-pujangga inilah yang menjadi “tangan” para Raja untuk menuliskan sebuah cerita, nasehat atau ajaran yang akan disampaikan Raja kepada anak-anaknya ataupun warganya. Lebih lanjut, teks-teks yang dihasilkan seringkali anonim. Hal ini mengindikasikan penulis dan penyalin naskah masih sekedar berperan di belakang layar. Makalah ini akan membahas fenomena tersebut dan membandingkannya dengan konsep Bordieu tentang konsep agen yang menurutnya sangat dipengaruhi oleh habitus, modal, dan strategi sehingga berdampak pada posisi pengarang dan legitimasi hasilnya dalam arena sastra. Artikel ini menjadikan teks SB 169: Babad Ngayogyakarta HB IV-V yang ditulis oleh Tumenggung Sasra Adipura pada tahun 1869 dan telah disalin kembali pada tahun 1881 oleh Carik Sastra Pratama Nom anak dari Patma Pratama sebagai korpus yang dibandingkan dengan konsep Bordieu. Poets, Agent, Bordieu, King, Court, Babad Ngayogyakarta HB IV-V, Java.
Piwulang Estri sebagai Bentuk Reportase tentang Wanita Jawa Arsanti Wulandari
Manuskripta Vol 6 No 2 (2016): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (512.714 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v6i2.50

Abstract

A reportage is an act of reporting. A reportage can be based either on investigation or a written source. The old document in the form of a manuscript can be regarded either as a work or as a document, which repporting an evidence in the past. This circumstance can be said to the manuscript containing Piwulang Estri. Written in 1856 CE, during the time when Javanese woman, as reflected in the text, getting a high position in the mind of author. Women are depicted in symbolic ways in three texts in Piwulang Estri, i.e. Batik Suluk, Suluk Tenun, and Suluk Tanen. Tanen is derivatife form from the word tani, here the author made allusion of preparing 'land'. Women interpreted as a ‘land’, means to prepare the next generation. Weaving symbolise the process of educating the next generation, and batik as the process of “coloring” or giving form the next generation. The concepts or philosophy regarding a women from the psychology point of view are depicted in three Suluk texts in the Piwulang Estri. --- Sebuah reportase adalah sebuah pelaporan. Adanya reportase bermakna adanya informasi yang disampaikan dari satu pihak ke pihak lain. Sebuah reportase dapat didasarkan pada sebuah pengamatan ataupun sumber tertulis. Naskah dapat dikatakan sebagai sebuah karya yang dapat dimaknai juga sebagai sebuah dokumen, yang merekam kejadian pada masa lampau. Demikan pula naskah dengan judul Piwulang Estri. Naskah ini adalah naskah yang ditulis tahun 1856. Pada masa itu tampaknya wanita mendapatkan posisi yang bukan sembarangan. Wanita digambarkan dalam berbagai simbol yang termuat dalam tiga teks suluk di dalamnya, yaitu Suluk Batik, Suluk Tenun, dan Suluk Tanen. Tanen dari kata tani yang menggambarkan proses menyiapkan lahan. Wanita dimaknai sebagai lahan untuk menyiapkan generasi penerus, tenun untuk proses mendidik generasi penerus, dan batik sebagai proses mewarnai atau membentuk generasi penerus. Konsep-konsep ataupun filosofi dalam memandang wanita dari sisi psikologi banyak digambarkan dalam ketiga teks suluk yang terbungkus dalam teks Piwulang Estri ini.