Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Nafkah Sebuah Konsekuensi Logis dari Pernikahan Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 1 (2020): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.903 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i1.142

Abstract

Pemberian nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap isteri setelah adanya ikatan pernikahan yang sah, isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya, isteri bersedia diajak pindah tempat sesuai dengan keinginan suami, isteri tersebut adalah orang yang telah dewasa, isteri patuh dan taat kepada suami. Dalam hal seperti ini isteri berhak mendapatkan apa yang menjadi haknya selama isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah, yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya. Adapun ukuran nafkah itu diukur berdasarkan kebutuhan isteri yang mencakup sandang, pangan dan papan, sedangkan ulama mazhab lain mengatakan disesuaikan kondisi suami, bukan kondisi isteri. Adapun nafkah bagi isteri ghaib ketika akad dilaksanakan dan suami mengetahui bahwa isterinya itu seorang wanita pekerja/karir yang tidak mungkin tinggal di rumah, maka suami tidak berhak meminta isterinya untuk meninggalkan pekerjaannya. Akan tetapi kalau suami memintanya juga, dan isterinya tidak memenuhi permintaannya tersebut, maka kewajiban memberi nafkah kepada isterinya itu tidak menjadi gugur. Apabila suami tidak mengetahui kalau isterinya adalah seorang wanita pekerja/karir ketika akad dilaksanakan, maka suami berhak meminta isterinya meninggalkan pekerjaannya, dan kalau isterinya tidak memenuhi permintaannya tersebut, maka dia tidak berhak atas nafkah.
Bagian Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan dalam Kajian Hukum Islam Isniyatin Faizah; Febiyanti Utami Parera; Silvana Kamelya
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 2 (2021): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (732.718 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i2.166

Abstract

Abstrak: Harta warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalaki-lakian untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris). Dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan juga perlu adanya asas keadilan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda pada masa jahiliyyah, pembagian warisan hanya berlaku pada laki-laki saja dan terhadap anak yang belum dewasa, anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Setelah Islam sempurna pembagian warisan tidak lagi pembedaan antara ahli waris anak-anak, perempuan, dan orang dewasa dalam memperoleh hak-haknya untuk menerima warisan. Dalam hukum Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S. al-Nisā’ ayat 11, khususnya tentang bagian laki-laki dan perempuan. KHI mengatur kewarisan dalam pasal 174 yang termasuk golongan laki-laki yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Dalam pasal 176 dijelaskan tentang besarnya bagian. Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Konsep Keadilan dalam Hukum Waris Muhammad Syahrur Elva Imeldatur Rohmah; Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.255

Abstract

Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.
Sadd al-Dzari’ah sebagai Media dalam Penyelesaian Perkara Kontemporer Zulfikri Zulfikri; Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 4 No 2 (2023): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v4i2.474

Abstract

The Urgency of Expert Witnesses in Settlement of Cases in The Egyptian Judicial Legal System Ibrahim Munib; Muhammad Hasyied Abdurrasyied; Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 5 No 1 (2024): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v5i1.749

Abstract

This research seeks to describe the presence of expert witnesses in the Egyptian court system. They are utilizing a literature study whose primary data comes from books, journals, reports, and laws. Then, the data is processed descriptively and analytically to explain the subject matter described. The results showed that expert witnesses, or in Egyptian terms referred to as Expert Witness Reports, are enshrined in the Egyptian Evidence Law, No. 25 of 1968, used in Egyptian courts to obtain specialized advice on specific legal issues. Legal regulations govern the procedure for selecting expert witnesses and require the court to appoint one or three experts who must meet specific criteria. The whole process of the expert report must be conducted within the courtroom. The rules regarding the presence of expert witnesses in Egyptian courts also underline the importance of expert witnesses in legal proceedings. The rules emphasize the efforts made to ensure transparency, accuracy, and excellence in expert witness reports, essential to facilitate dispute resolution in court. The government takes a role in this matter through payment facilities for expert witnesses, not all of which is borne by the parties to the dispute.
Implementasi kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih terhadap pencatatan perkawinan di Indonesia Faizah, Isniyatin; Prafastara Winindra, Alantama; Niswatin Khoiroh , Dewi
AS-SAKINAH Vol 2 No 1 (2024): Vol 2 No 1 Februari 2024
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari'ah Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55210/jhki.v1i2.333

Abstract

Indonesia terkenal sebagai negara yang beragam suku, budaya dan agama, sudah menjadi suatu hal yang umum bilamana terdapat problematika yang menyangkut salah satu ajaran dengan ajaran lain. Agama Islam merupakan agama yang banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia, menjadikannya salah satu agama yang banyak berkontribusi dalam masalah yang muncul di negara dengan mengatasnamakan agama. Sebagaimana permasalahan dalam perkawinan, dalam agama Islam perkawinan menurut ahli fikih berbanding terbalik dengan apa yang dijelaskan dalam peraturan pemerintah, peraturan tersebut menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dalam prosesnya mencakup apa yang telah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, yang mana didalamnya tertera bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Islam tidak mengenal adanya pencatatan pernikahan, karena pada dasarnya pernikahan yang sah menurut Islam apabila telah mencakup rukun dan syarat dalam pernikahan maka sudah bisa dikatakan sebagai pernikahan yang sah. Implimentasi kaidah Dar’ul Mafāsid Muqaddamun ‘alā Jalbil Maşalih mungkin akan menjadi penguat bahwa pencatatan pernikahan adalah salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan terkait pernikahan menurut Islam dan peraturan perundang-undangan.
Hilah Hukum dan Kemungkinan Penerapannya dalam Praktik Hibah dan Wasiat Jannah, Elly Uzlifatul; Faizah, Isniyatin
Al-Faruq: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Islam Vol. 1 No. 2 (2023): Al-Faruq : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Islam
Publisher : Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58518/al-faruq.v1i2.1448

Abstract

The Islamic law is god’s regulation for human advantages in the word and hereafter. It always relevant with the situation and more elastice toward the mua’amalah (furu’iyah) cases. But the elasticity of the Islamic law always be politicized to obtain the self-interest with out any concider the wors result. Exemple, something (regulation) that forbid by Nash would be allowed immediately because of interest. In Islamic law this case is mentioned as Hilah. Hilah is forbidden by syar’i, but in Islam, part of people are allowed and forbid the hilah. Hilah is suppose as an action to avoid the Islamic law subtantially that contain the moral value, meanwhile the is may not abolished in aplication of law. Hilah is one of the way to finding and developing Islamic law in every cases. It make Islamic law can be always relevant with every situation, no one left behind. For example Hibah and Wasiat for a daughter, one of the strategy to deviding the heir propotion without seeing a gender between a male or fimale. It has a wisdom legal fiction to finding the moral value, not a hilah to avoidding the religion obligations that was absolute in justice.
Penerapan Konsep Ijtihad dalam Mengatur Teknologi Reproduksi Modern di Indonesia Nisa, Ihda Shofiyatun; Faizah, Isniyatin; Mashuri, Bisri; Khasanah, Muizzatul
Al-Faruq: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Islam Vol. 4 No. 1 (2025): Al-Faruq : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Islam
Publisher : Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58518/al-faruq.v4i1.3394

Abstract

This study discusses the application of the concept of ijtihad in regulating modern reproductive technology in Indonesia using an Islamic law approach. The development of reproductive technologies such as in vitro fertilization (IVF), artificial insemination, and genetic engineering have raised various legal and ethical issues in Islam, particularly concerning the clarity of lineage (nasab), the legal status of children, and the validity of medical practices from a sharia perspective. Therefore, an in-depth analysis is needed to examine the role of ijtihad in establishing laws and regulations that align with Islamic principles. This research uses a normative legal research method with conceptual, legislative, and historical approaches. The data sources include primary legal materials such as the Qur’an, Hadith, and fatwas from the Indonesian Ulema Council (MUI), as well as national regulations governing reproductive technologies, such as the Health Law and other related regulations. In addition, secondary legal materials from Islamic law literature and academic studies are also analyzed to understand the legal development regarding reproductive technology practices in Indonesia. The results of the study indicate that the concept of ijtihad plays a strategic role in shaping fatwas and regulations related to modern reproductive technologies. MUI's fatwa permits IVF practices as long as they are performed by a legally married couple and prohibits the use of sperm or egg donors due to its contradiction with the principle of nasab in Islam. National regulations have also accommodated Sharia principles by limiting reproductive technology practices to avoid conflicts with religious norms. However, challenges in the implementation of these regulations remain, such as differences in interpretation among scholars, insufficient oversight of medical practices, and the low level of public understanding regarding Islamic law in reproductive technologies.
PENDAMPINGAN PRAKTIK RASHDUL KIBLAT DI MUSHALLA AL-ANWAR DESA LERANWETAN KECAMATAN PALANG KABUPATEN TUBAN Faizah, Isniyatin; Lisaniyah, Fashi Hatul; Kamelya, Silvana; Sucipto, Yogi; Putra, Evendi
SEMAR : Jurnal Sosial dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 1 (2025): Semar : Jurnal Sosial dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : CV. Kalimasada Group

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59966/semar.v3i1.1598

Abstract

The Rashdul Kiblat practice assistance program at the Al-Anwar Mushalla in Leranwetan Village, Palang Subdistrict, Tuban Regency aims to improve the community's understanding and skills in determining the correct Qibla direction according to the Rashdul Kiblat method. This program is implemented through a series of activities, including socialization, practical training, and direct assistance at the mushalla. Using a participatory approach, residents are provided with knowledge about the importance of accurate Qibla direction in worship, and are trained to use the Rashdul Kiblat method with simple tools that are easy to practice. The expected outcome of this activity is an increased understanding and accuracy in determining the Qibla direction within the community, as well as empowering residents to independently apply and teach this knowledge. This program also aims to strengthen social ties within the community and ensure the sustainability of the practices that have been applied. Overall, this activity has a significant positive impact on the quality of the community’s worship and independence in determining the Qibla direction accurately and precisely.
PENERAPAN ISTISHÂB DALAM KASUS AHLI WARIS YANG HILANG (MAFQŪD) ATAU TIDAK DI KETAHUI KEBERADAANNYA Faizah, Isniyatin; Izza, M. Syafi’ Nuril; Najib, M.
Al Hakam : The Indonesian Journal of Islamic Family Law and Gender Issues Vol 5 No 1 (2025): Al Hakam
Publisher : Study Program of Islamic Family Law, Syari'ah Faculty, University of Al-Hikmah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35896/alhakam.v5i1.1004

Abstract

Islamic inheritance law is a critical aspect that Muslims are required to study as part of fardu kifayah, in accordance with the teachings of the Prophet Muhammad. A key challenge in this domain is the case of a missing heir, or mafqūd, whose unknown whereabouts often trigger disputes over the ownership of inherited assets. This study aims to investigate the role of Istishāb, an Islamic legal method that maintains the existing legal status until evidence emerges to change it, in addressing cases of missing heirs. Employing a qualitative approach through document analysis, this research explores the definition of Istishāb as understood by ushul fiqh scholars, its relevance to inheritance law, and its application in determining the status of a mafqūd. The findings reveal that Istishāb plays a significant role in ensuring justice and legal certainty by presuming the missing heir is alive until proof of death is established, thereby protecting the rights of other heirs. The study also elaborates on the perspectives of fiqh scholars, the supporting shar’i evidence, and the procedures for determining the status of a mafqūd, including the freezing of the inheritance share until legal certainty is achieved. Thus, Istishāb functions not only as a legal tool but also as a mechanism to ensure social justice in the distribution of inheritance.