Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KESULTANAN BUTON PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN LA SANGAJI : 1591-1597 Duratun Nashihah; Aslim Aslim; Elmy Selfiana Malik
Journal Idea of History Vol 3 No 1 (2020): Volume 3 Nomor 1, Januari - Juni 2020
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v3i1.1002

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul La Sangaji Sultan Buton III dan untuk mengetahui situasi kesultanan Buton pada masa pemerintahan Sultan La Sangaji. Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah. Tahapan penelitian ini yaitu: (1) pemilihan topik; (2) heuristik sumber; (3) verifikasi sumber (kritik sumber melalui kritik eksternal dan kritik internal); (4) interpretasi sumber (analisis dan sintesis); (5) historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sultan La Sangaji adalah putra dari Sultan Murhum yang lahir pada 1 safar 936 Hijriah (1530 M) dari perkawinannya dengan Sarifah Putri Datu Selayar. Sultan Murhum adalah anak hasil perkawinan dari Sugi Manuru dengan Watubapala yang pada saat itu Sugi Manuru merupakan Raja yang berkuasa di Muna. Sugi Manuru adalah anak dari Sugi Patani sedang Watubapala adalah anak dari Kiayi Jola yang merupakan keturunan Wa Kaa kaa. Situasi di Buton pada masa pemerintahan Sultan La Sangaji mengalami masa kegelapan karena adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan pekerjaan benteng tidak selesai dan juga menimbulkan bahaya kelaparan dan penyakit yang merajalela. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Sultan La Sangaji tidak ada rakyat yang meninggal karena kelaparan.
KRITIK SOSIAL DALAM PUISI SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA KARYA EMHA AINUN NADJIB Elmy Selfiana Malik; Dian Yuliarti Malik
Journal Idea of History Vol 3 No 2 (2020): Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2020
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v3i2.1121

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Nadjib. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode literary sociology yang menganalisis fenomena-fenomena yang terdapat dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya untuk memahami gejala sosial masyarakat dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Nadjib mengandung kritik terhadap isu-isu sosial yang terjadi di Indonesia. Emha dalam puisi ini mengingatkan individu-indivu atau kelompok-kolompok untuk tidak hanya mengejar kebutuhan dunia ataupun kebutuhan ukhrawi semata. Emha dalam puisi ini juga mengritik penguasa ynag berbuat semena-mena terhadap rakyatnya dan juga mereka yang mudah menyalahkan orang lain atau kelompok lain hanya karena perbedaan pendapat.
DISTRIK RUMBIA PADA MASA PEMERINTAHAN MOKOLE I PIMPIE: 1950-1962 Karmianti Karmianti; Suharni Suddin; Elmy Selfiana Malik
Journal Idea of History Vol 4 No 1 (2021): Volume 4 Nomor 1, Januari - Juni 2021
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v4i1.1303

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Mokole I Pimpie dan untuk mengetahui perkembangan Distrik Rumbia pada masa Pemerintahan Mokole I Pimpie 1950-1962. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan tahapan sebagai berikut: (1) pemilihan topik; (2) heuristik sumber; (3) verifikasi sumber; (4) interprestasi sumber, serta (5) historiografi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Mokole I Pimpie merupakan putra dari Mokole Munara. Mokole I Pimpie menggantikan Mokole Munara menjadi Kepala Distrik dengan gelar Mokole Keuwia-Rumbia ke-V pada tahun 1950. Pada masa pemerintahan Mokole I Pimpie, Distrik Rumbia mendapat gangguan keamanan dari gerombolan badik dan juga gangguan dari kelompok DI/TII. Distrik Rumbia di bawah pimpinan Mokole I Pimpie pada mulanya merupakan wilayah yang makmur, namun setelah masuknya gerombolan DI/TII di Rumbia pada sekitar tahun 1953 wilayah Rumbia menjadi terpuruk. Kondisi keamanan Distrik Rumbia yang tidak kondusif dengan adanya gerombolan DI/TII memengaruhi berbagai bidang kehidupan masyarakat Rumbia, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, serta politik. Mokole I Pimpie mulai memulihkan kembali kondisi Distrik Rumbia setelah gerombolan DI/TII berhasil ditumpas pada tahun 1959 hingga berakhirnya sistem kedistrikan pada tahun 1962.
IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DI DESA MUARA SAMPARA KECAMATAN KAPOIALA KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA Faika Burhan; Elmy Selfiana Malik; Sarman Sarman; Abdul Latif; Sitti Hermina
Journal Idea of History Vol 5 No 1 (2022): Volume 5 Nomor 1, Januari - Juni 2022
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v5i1.1648

Abstract

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Muara Sampara Kecamatan Kapoiala Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bersifat deskripsi kualitatif melalui metode wawancara, observasi dan dokumentasi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal Masyarakat Desa Muara Sampara Kecamatan Kapoiala dapat dilihat dalam bentuk aktivitas lalu lintas perahu dan pincara. Pembuatan dan penggunaan perahu dan pincara sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, bahkan menurut informasi sebelumnya pincara pernah digunakan sebagai jalur lalu lintas perdagangan pada masa Kerajaan Konawe. Hal ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat yang sudah dilakukan sejak dahulu hingga saat ini untuk mempertahankan hidup (2) sikap solidaritas kelompok masyarakat di Desa Muara Sampara Kecamatan Kapoiala terwujud dalam aktivitas gotong royong dalam mendukung pembangunan di Desa Muara Sampara. Sikap gotong royong tersebut terlihat dalam kegiatan sosial maupun budaya yang tercermin dalam perilaku masyarakat yang sederhana dalam jiwa kebersamaan. Kebersamaan etnis Bugis, Makassar dan Tolaki di Desa Muara Sampara terlihat dari sikap solidaritas dan sikap saling menghargai yang tetap terjaga hingga sekarang.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MUNA DALAM PENGELOLAAN HASIL PANEN JAGUNG SEBAGAI UPAYA MENJAGA KETAHANAN PANGAN La Ode Marhini; La Harjoprawiro; Elmy Selfiana Malik; Shinta Arjunita Saputri; Agus Rihu
Seshiski: Southeast Journal of Language and Literary Studies Vol 1 No 2 (2021): Volume 1, Issue 2, December 2021
Publisher : Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komisariat Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53922/seshiski.v1i2.23

Abstract

Limited resources require people to be wise and creative to exist in the particular demographic circumtances. This is also perceived by the people in Liangkabhori village, Muna Regency. The condition of the karst hilly soil and the limited supply of water as well as seasonal changes that are sometimes uncertain require the community to maximize harvest and effective storage so that food supplies are always available. This study aims to describe the vocabulary of corn hasrvest and local wisdom of the Muna community in Liangkabhori village in managing corn harvests as an effort to maintain food sustainability. The research method uses a qualitative descriptive approach. The results show that in an effort to maintain food security, the community has local knowledge in the process of managing corn harvests so that the harvest can still be consumed in the long term. The series of harvest management processes are (1) knowledge of the estimated harvest period of corn which is determined by three things, namely the age of corn, the appearance or visuality of corn fruit or corn leaves and weather conditions at harvest. (2) knowledge of the harvesting process (detongka) and initial treatment of newly harvested corn, (3) knowledge of sorting corn (Depinde), namely corn is selected and sorted and categorized into five types, namely perapi corn, kampuru corn, obunta corn, kamansighonu-ghonu corn and obhoka corn, (4) cleaning of corn cobs and hairs (Detoto) and (5) Storage (Kasoria)
Tradisi Bada Kupat dalam Budaya Jawa di Kelurahan Penanggo Jaya Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Timur Febri Krinasnawati; Nurtikawati; Shinta Arjunita Saputri; Elmy Selfiana Malik
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 6 No 1 (2023): Volume 6 No 1, Juni 2023
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v6i1.2136

Abstract

The Bada Kupat tradition (eid ketupat) is a tradition carried out by the people of Banyuwangi, East Java, who live in the village of Penanggo Jaya. This tradition is held on the 7th of Shawwal after Eid al-Fitr every year. The purpose of this study is to describe the process of implementing the bada kupat tradition in Penanggo Jaya Village and the meaning contained in the implementation of the bada kupat tradition in Penanggo Jaya Village. In this study, data collection was carried out by means of observation, interviews and documentation. The technique of determining the informants in this study used a purposive sampling technique. The data were analyzed using the following techniques: data presentation, data reduction, data verification and drawing conclusions. The results of this study indicate that the process of carrying out the bada kupat tradition consists of (1) the preparation stage, at this stage consisting of preparing tools and materials to carry out the bada kupat tradition, the process of making diamonds, there are 2 types of ketupat made namely onion ketupat and sinto ketupat ( Java), the process of making lepet as a side dish for ketupat and the process of making young jackfruit vegetables (Don't be fussy). (2) The implementation stage of the ater - ater, where at this stage after the ketupat and its accompanying food are ready to be served, it will be delivered or distributed to the family and neighbors around. (3) The final stage, in the final stage, salvation is carried out as a closing activity in the implementation of the bada kupat tradition and carrying out prayer together and eating together. In the bada kupat tradition, it contains meaning in every stage of its implementation, namely expressing gratitude, giving alms and friendship