Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

REFORMULASI KONSEP MAQASHID SYAR’IAH; MEMAHAMI KEMBALI TUJUAN SYARI’AT ISLAM DENGAN PENDEKATAN PSIKOLOGI Afrizal Ahmad
Hukum Islam Vol 14, No 1 (2014): Vol 14, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/hi.v14i1.988

Abstract

MENGGALI “IBRAH” DARI QASHASH AL-QUR’AN; Sebuah Kajian Pengantar Dalam Tinjauan Ilmu Al-Qur’an Sulaiman, Sulaiman; Ahmad, Afrizal
Mumtaz: Jurnal Studi Al-Quran dan Keislaman Vol 5, No 2 (2021): Mumtaz: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Keislaman
Publisher : Institut PTIQ Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36671/mumtaz.v5i02.183

Abstract

 Qashash al-Qur’an atau kisah-kisah dalam al-Qur’an yang mengisi seperempat al-Qur’an diyakini kebenarannya sebagai kisah nyata yang diturunkan Allah untuk diambil pelajaran (ibrah), hikmah dan dijadikan sumber tauladan dalam keseharian. Sebagian kisah tersebut telah didapatkan bukti sejarahnya melalui peneltian arkeologis, sementara sebagiannya yang lain belum didapatkan buktinya. Banyak cara yang dilakukan guna menggali ibrah dari kisah-kisah tersebut, antara lain; pendekatan sejarah, filsafat, sosiologis, psikologis dan sebagainya. Peneliti menggunakan metode kajian pustaka untuk menggali lebih dalam tentang (ibrah) yang didalam Al-Qur’an. Al-Qur’an bukanlah buku ilmiah, seperti buku sejarah misalnya, namun ia dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Ibnu Khaldun, Haekal, Muhammad al-Ghazali, Sayid Ramadhan al-Buti, Munzir Hitami, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Komaruddin Hidayat dan sebagainya yang menjadikan kisah-kisah dalam al-Qur’an sebagai sumber rujukan atau inspirasinya. Sayangnya, pendekatan yang dilakukan oleh beberapa kalangan dalam kajian terhadap kisah-kisah al-Qur’an lebih kepada penyusunan riwayat dari pada kajian mendalam tentang ibrah atau hikmah yang dapat diambil darinya. Agaknya, perlu diupayakan pengkajian kisah-kisah al-Qur’an dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan lainnya agar ia lebih berguna bagi pembangunan peradaban ilahiah di muka bumi.  Kata kunci; Ibrah, Qashash, dan al-Qur’an
Interpretation of the Quranic Verses and Indonesian Marriage Law on Interfaith Marriage Munir, Akmal Abdul; Zikri, Ahmad; Farhan, Ahmad; Ahmad, Afrizal; Supriadi, Supriadi
Madania: Jurnal Kajian Keislaman Vol 28, No 1 (2024): JUNE
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Fatmawati Sukarno Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/madania.v28i1.3535

Abstract

One of the social phenomena that occurs among Muslims today is interfaith marriage, which raises various pros and cons. This fact and discourse is still being discussed, especially with the application to the Constitutional Court (MK) to conduct a judicial review of the marriage law. However, the Constitutional Court rejected the application, and various parties were not satisfied with this decision because whether an interfaith marriage is valid is the domain of each religion. Normatively, the narrative of interfaith marriage has been mentioned in the Quran in Surah al-Baqarah verse 221. In the case of Rizky Febian's marriage to Mahalini, who was originally Hindu and has become a muallaf. The theological basis is still strong as a consideration for a Muslim when deciding to get married.  This study will explore the interpretation of Quranic verses related to interfaith marriage from various mufassirs, which are also related to the Indonesian marriage law. As a literary research, the data used are the Quran, books of commentaries, laws on marriage, and articles relevant to this research. The results show that the scholars' interpretation suggests that interfaith marriage is forbidden. Even in the perspective of the state, interfaith marriage is still prohibited. Even so, some opinions allow believing men to marry women of the People of the Book but forbid women of other religions. Pernikahan beda agama merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi di kalangan umat Islam saat ini, dan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Fakta dan wacana tersebut masih menjadi perdebatan, khususnya dengan adanya permohonan uji materiil undang-undang perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun Mahkamah Konstitusi menolak kasus tersebut dan banyak pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut karena masing-masing agama menentukan boleh atau tidaknya pernikahan beda agama. Biasanya Al-Quran menyebutkan pernikahan beda agama dalam surat al-Baqarah ayat 221. Dalam kasus pernikahan Rizki Febrian dengan Mahallini yang awalnya beragama Hindu dan kemudian menjadi muallaf, jelas bahwa pertimbangan teologis tetap penting bagi umat Islam dalam memilih untuk menikah. Kajian ini akan melihat bagaimana berbagai mufassir memahami teks-teks Alquran tentang pernikahan beda agama, yang juga relevan dengan hukum pernikahan di Indonesia. Sebagai penelitian kepustakaan, data yang digunakan adalah Alquran, tafsir, hukum perkawinan, dan artikel yang relevan dengan pembahasan. Temuan ini menunjukkan bahwa penafsiran para ulama menyatakan bahwa pernikahan beda agama dilarang. Dalam pandangan negara, pernikahan beda agama masih dilarang. Meskipun demikian, sebagian orang berpendapat bahwa laki-laki boleh menikahi wanita yang Ahli Kitab tetapi tidak boleh menikahi wanita yang beragama lain. 
HIRARKI MOTIVASI MENIKAH DALAM ISLAM DITINJAU DARI MAQASHID SYARI’AH Ahmad, Afrizal
KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/knowledge.v5i3.6536

Abstract

ABSTRACT This study aims to examine the motivations for marriage in Islam using the perspective of Maqashid Syariah and to compare them with Maslow’s Hierarchy of Needs Theory.The fundamental difference between the two theories lies in their orientation and theoretical foundations. The Maqashid Syariah framework is derived from Islamic texts (nash) and considerations of maslahah (benefit) from a Sharia perspective, while Maslow’s theory is based on the psychological analysis of human needs without incorporating religious elements. This research is a library study employing content analysis methods on literature related to Islamic jurisprudence on marriage (fiqh al-zawaj), principles of Islamic law (usul al-fiqh), and motivational theory. The findings indicate that marriage motivations according to Maqashid Syariah can be categorized into three levels of benefit: Dharuriyyat (essentials), Hajiyyat (complementary needs), and Tahsiniyyat (refinements). Motivations under dharuriyyat include the preservation of religion (hifz al-din), honor (hifz al-‘a’radh), emotional well-being (hifz al-qalb), life (hifz al-nafs), lineage (hifz al-nasl), intellect (hifz al-‘aql), and wealth (hifz al-mal). Hajiyyat motivations pertain to the fulfillment of sexual and health-related needs, while tahsiniyyat motivations relate to aspects of refinement, such as virginity, chastity, and physical appearance. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji motivasi pernikahan dalam Islam dengan menggunakan perspektif Maqashid Syariah serta membandingkannya dengan Teori Motivasi Maslow. Perbedaan mendasar antara kedua teori tersebut terletak pada orientasi dan sumber teori. Teori Maqashid Syariah disusun berdasarkan nash dan pertimbangan maslahat dari perspektif syariat, sedangkan Teori Maslow berangkat dari analisis kebutuhan manusia secara psikologis tanpa memasukkan unsur keagamaan. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan metode analisis isi terhadap literatur-literatur fiqh pernikahan, ushul fiqh, dan teori motivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi menikah menurut Maqashid Syariah dapat dikategorikan ke dalam tiga hierarki maslahat: dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Motivasi dharuriyyat meliputi pemeliharaan agama (hifz al-din), kehormatan (hifz al-‘a’radh), hati (hifz al-qalb), jiwa (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), akal (hifz al-‘aql), dan harta (hifz al-mal). Motivasi hajiyyat terkait pemenuhan kebutuhan seksual dan kesehatan, sedangkan motivasi tahsiniyyat berkaitan dengan faktor kesempurnaan seperti keperawanan, keperjakaan, dan penampilan fisik.