Ika Pawitra Miranti
Unknown Affiliation

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PENGARUH PAPARAN INHALASI PUPUK NANOSILIKA DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN HEPAR TIKUS WISTAR JANTAN Dewa Ayu Anggi Paramitha; Ika Pawitra Miranti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 8, No 2 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.796 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i2.23785

Abstract

Latar belakang: Penggunaan pupuk nanosilika koloid secara luas menyebabkan rumah tangga pertanian Indonesia berisiko terpapar lewat jalur semprot. Pada penelitian sebelumnya, inhalasi nanosilika dapat menyebabkan masalah organĀ  paru dan hepar karena dapat berpindah ke sirkulasi sistemik. Untuk itu, efek toksisitas pupuk nanosilika secara inhalasi penting untuk diuji pada organ hepar pada hewan coba. Tujuan: Mengamati pengaruh paparan inhalasi pupuk nanosilika koloid terhadap gambaran histopatologi hepar pada tikus Wistar jantan. Metode: Penelitian menggunakan desain Post Test Only Control Group dengan sampel 24 tikus Wistar yang dibagi dalam 4 kelompok yaitu K diberi inhalasi aquades, kelompok perlakuan diberi inhalasi pupuk nanosilika dengan dosis P1 7 ml/L, P2 35 ml/L, dan P3 175 ml/L. Semua kelompok diberi inhalasi 2 kali sehari selama 14 hari. Preparat organ hepar diamati dibawah mikroskop cahaya, jumlah hepatosit degenerasi/nekrosis (sel/LP) dan derajat infiltrasi sel inflamasi porta dinyatakan dengan modified Knodell score.1 Data dianalisis dengan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney. Hasil: Jumlah hepatosit degenerasi/nekrosis memiliki perbedaan bermakna (p=0,017) antara K [0,00(0,00-0,00)] dengan P1 [3,90(0,00-20,20)] dan P2 [1,70(0,80-8,20)], namun tidak bermakna pada P3 [1,30(0,00-5,60)] dan antar kelompok lainnya. Derajat infiltrasi sel inflamasi memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Derajat inflamasi terberat terdapat pada kelompok P2 (23.3% berat) dan teringan pada kelompok kontrol (100% ringan). Kesimpulan: Paparan inhalasi pupuk nanosilika pada tikus Wistar jantan dapat menyebabkan degenerasi/nekrosis pada hepatosit dan infiltrasi sel inflamasi periporta yang signifikan secara statistik.Kata kunci: Nanosilika, Inhalasi, Hepar, Tikus Wistar, Histopatologi, Dosis, Konsentrasi
PENGARUH EKSTRAK DAUN KERSEN (Muntingia calabura) TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS GINJAL TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI ETANOL DAN SOFT DRINK Devi Ninditya K.; Ika Pawitra Miranti; Noor Wijayahadi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (542.796 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.14262

Abstract

Latar Belakang : Etanol dan soft drink telah dikonsumsi secara luas di dunia. Etanol dapat mengubah struktur dan fungsi ginjal dengan perubahan struktur glomerulus, pembesaran ginjal dan meningkatnya jumlah sel-sel lemak, protein dan air. Begitu juga dengan soft drink yang dapat mengakibatkan perdarahan intertubuler dan kongesti glomeruler. Daun kersen memiliki potensi dalam menangkal radikal bebas sebagai antioksidan eksogen. Daun kersen diharapkan memiliki efek protektif pada ginjal.Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak daun kersen (Muntingia calabura) terhadap gambaran mikroskopis ginjal tikus Wistar jantan yang diinduksi etanol dan soft drink.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 30 tikus Wistar jantan yang terbagi menjadi 5 kelompok. Kelompok K diberi pakan standar. Kelompok P1 diberi etanol 40% sebesar 1,8 ml/200g/hari. Kelompok P2 diberi soft drink 50 ml/tikus/hari. Kelompok P3 diberi ekstrak daun kersen 500 mg/kgBB 60 menit sebelum pemberian etanol. Kelompok P4 diberi ekstrak daun kersen 500 mg/kgBB 60 menit sebelum pemberian soft drink. Setelah intervensi selama 30 hari, dilakukan pembuatan preparat ginjal dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Uji analisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney.Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna pada seluruh kelompok dengan nilai p=0,002. Hasil uji Mann-Whitney memberikan perbedaan yang bermakna pada K-P1 (p=0,006), K-P2 (p=0,032), P1-P3 (p=0,006), P2-P4 (p=0,019), P1-P4 (p=0,004) tetapi perbedaan tidak bermakna pada K-P3 (p=0,229), K-P4 (p=1,000), P1-P2 (p=0,312), P2-P3(p=0,075), P3-P4 (p=0,171).Kesimpulan : Pemberian ekstrak daun kersen (Muntingia calabura) 500 mg/kgBB menurunkan jumlah kerusakan tubulus tikus Wistar jantan yang diinduksi etanol dan soft drink.
PERBANDINGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI KULIT LEHER TIKUS WISTAR YANG DIGANTUNG DENGAN PEMBEDAAN PERIODE POSTMORTEM Muhammad Sulthon Al Haris; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 1 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.455 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i1.23346

Abstract

Latar Belakang : Penggantungan adalah jenis penjeratan di mana tekanan pada leher disebabkan oleh berat badan korban sendiri. Tidak semua kasus penggantungan disebabkan melalui praktik bunuh diri. Kasus penggantungan juga dapat terjadi akibat kecelakaan ataupun pembunuhan, dan dapat pula ditemui kasus penggantungan postmortem yaitu bila korban digantung dalam keadaan sudah meninggal setelah sebelumnya dibunuh. Untuk membedakan kasus-kasus tersebut diperlukan investigasi yang menyeluruh serta kecermatan dalam proses autopsi yang bertujuan untuk mencari dan mengidentifikasi adanya luka atau jejas sehingga dapat ditentukan intravitalitas dan umur luka atau jejas tersebut, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Salah satu metode pemeriksaan mikroskopik adalah melalui analisis proses inflamasi yang menggunakan beberapa parameter seperti infiltrasi leukosit. Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas tentang perbandingan intravitalitas berdasarkan gambaran histopatologi organ. Tujuan : Mengetahui perbandingan gambaran histopatologi kulit leher tikus Wistar yang digantung dengan perbedaan periode postmortem. Metode : Penelitian eksperimental dengan post test-only control group design ini menggunakan 4 kelompok yang masing-masing terdiri atas 7 ekor tikus Wistar. Kelompok K (kontrol) yaitu tikus yang digantung antemortem setelah mendapat anestesi. Kelompok P1 (perlakuan 1) yaitu tikus yang digantung saat postmortem 1 jam setelah diterminasi menggunakan anestesi dosis letal dengan durasi penggantungan selama 1 jam. Kelompok P2 (perlakuan 2) dan P3 (perlakuan 3) digantung 2 jam dan 3 jam saat postmortem dengan cara yang sama seperti kelompok P1. Selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histopatologi kulit leher dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok K dengan P1 (p < 0,001), K dengan P2 (p < 0,001), dan K dengan P3 (p < 0,001), serta diperoleh perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok P1 dengan P2 (p = 1), P1 dengan P3 (p = 0,576), dan P2 dengan P3 (p = 1). Simpulan : Terdapat penurunan jumlah leukosit pada tikus Wistar yang mulai digantung 1 jam , 2 jam, dan 3 jam postmortem dengan kontrol, serta terdapat jumlah leukosit yang hampir sama pada tikus Wistar yang mulai digantung antara 1 jam, 2 jam, dengan 3 jam postmortem.Kata Kunci : penggantungan, postmortem, infiltrasi leukosit
GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA SALURAN NAPAS BAWAH INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERI PAPARAN API Qhastalani Aurima F. Sugianto; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.173 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15779

Abstract

Latar Belakang : Luka bakar merupakan salah satu cedera yang paling luas yang berkembang di dunia dan merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kejadian luka bakar yang semakin luas menimbulkan tantangan bagi investigator, ahli forensik dan penegak hukum untuk membedakan apakah luka bakar terjadi saat korban masih hidup, sesaat setelah korban meninggal atau saat korban sudah meninggal.Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi saluran napas bawah intravital, perimortem, dan postmortem mencit Balb/c yang diberi paparan api.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 49 mencit Balb/c jantan yang terbagi menjadi 7 kelompok. Kelompok K tidak diberi perlakuan. Kelompok P1 diberi paparan api intravital selama 10 detik. Kelompok P2 diberi paparan api intravital selama 20 detik. Kelompok P3 diberi paparan api perimortem selama 10 detik. Kelompok P4 diberi paparan api perimortem selama 20 detik. Kelompok P5 diberi paparan api postmortem 10 detik. Kelompok P6 diberi paparan api postmortem 20 detik. Setelah intervensi, dilakukan pembuatan preparat paru dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Uji analisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney.Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna pada seluruh kelompok dilatasi vaskuler dengan nilai p bronkus = 0,022; nilai p bronkiolus = 0,010; dan nilai p alveolus = 0,000. Pada kelompok sel radang menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; nilai p bronkiolus = 0,024; dan nilai p alveolus = 0,002. Pada kelompok jelaga menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; dan nilai p alveolus = 0,002, dan tidak bermakna pada bronkiolus yaitu dengan nilai p = 0,709.Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada bronkus, bronkiolus dan alveolus untuk parameter dilatasi vaskuler dan sel radang, sedangkan untuk parameter jelaga didapatkan perbedaan bermakna pada bronkus dan alveolus, namun tidak bermakna pada bronkiolus.