Ananda Prima Yurista, Ananda Prima
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

MENILIK REZIM PENGELOLAAN TAMBANG FREEPORT DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT: PERPANJANGAN KONTRAK KARYA ATAU PERALIHAN KE REZIM PERIZINAN? Yurista, Ananda Prima; Widyaningtyas, Rizky Septiana; Hasani, Alda Awwalil
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The management of mineral and coal mining by Freeport has been carried out since 1967 based on a work agreement/contract of work, which is regulated in Law No. 11 of 1967 concerning Basic Mining Provisions. Since the enactment of Law no. 4 of 2009 concerning Coal Minerals under the authority in the management of minerals and coal changed from a work agreement/contract of work to a mining business permit. This article will try to respond to opportunities for contract extension or termination of work contacts and see which regimes will provide greater opportunities for the benefit of the state (in the sense of greater chance of realizing people's welfare). The provisional hypothesis of this article is that the licensing regime is more appropriate to be the basis for implementing the management of mineral and coal mining.
Implementasi Pengaturan Penataan Ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota secara Berjenjang dan Komprehensif Yurista, Ananda Prima
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 19, No 1 (2022): Jurnal Legislasi Indonesia - Maret 2022
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v19i1.800

Abstract

Penataan ruang di Indonesia yang diatur dalam UU Penataan Ruang, mengacu pada konsep penataan ruang yang berjenjang dan komprehensif, serta asas keterpaduan. Dalam implementasinya, penataan ruang yang berjenjang dan komprehensif, serta asas keterpaduan, ini tidak mudah untuk diterapkan bahkan menimbulkan dilemma. Pada konteks penyusunan RTRW Kabupaten Sleman misalnya timbul pertanyaan bagaimana konsep berjenjang dapat dilaksanakan apabila Perda RTRW DIY sebagai acuan penyusunan RTRW Kabupaten Sleman disusun dengan tidak patuh pada pedoman dalam Permen ATR No. 1 Tahun 2018? Kemudian, bagaimana dengan penentuan kawasan pertambangan yang telah ditetapkan oleh Pempus/Pemprov apakah harus tetap diakomodasi dalam RTRW Kabupaten Sleman apabila hal itu berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan? Penulisan artikel ini menggunakan metode yuridis normative dan yuridis empiris. Hasil temuan dalam penulisan menghasilkan kesimpulan bahwa, Perda RTRW DIY tetap harus diacu dalam RTRW Kabupaten Sleman, dengan tetap berpegang pada pedoman yang diatur dalam Lampiran II Permen ATR No. 1 Tahun 2018. Kemudian, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atas dilemma penentuan kawasan pertambangan yakni melalui mekanisme koordinasi antara Pemkab dan Pemprov dengan mengacu pada Pasal 9 ayat (2) UU No, 3 Tahun 2020. Selain itu, yakni melalui upaya pengendalian yang dapat dilakukan oleh Pemkab dengan peluang keberhasilan yang terbatas.
PENGEJAWANTAHAN HAK TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGATURAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Yurista, Ananda Prima
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 13, No 2 (2016): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2016
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v13i2.152

Abstract

Hak tradisional masyarakat hukum adat termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dalam pengaturan UU Nomor 27 Tahun 2007 terdapat beberapa Pasal yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diantaranya Pasal 16 ayat (1), (2), dan Pasal 23 ayat (4), (5), (6) UU Nomor 27 Tahun 2007 yang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasca diputusnya uji materiil atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tersebut berlakulah UU Nomor 1 Tahun 2014, yang ternyata masih mengandung beberapa pasal yang berpotensi mereduksi hak tradisional masyarakat hukum adat sehingga dalam penulisan ini diperoleh kesimpulan bahwa hak tradisional dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 belum terejawantahkan dengan baik dalam UU Nomor 1 Tahun 2014.
HAK PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA ALAM DALAM KONSEPSI DAN PENJABARANNYA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Yurista, Ananda Prima; Simarmata, Rikardo; Widowati, Dyah Ayu; Bosko, Rafael Edy
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16, No 2 (2019): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2019
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v16i2.454

Abstract

Artikel berikut merupakan bentuk penelaahan kritis atas penjabaran hak penguasaan atas sumber daya alam dalam peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam diantaranya UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Perikanan, UU Mineral dan Batubara, UU Energi, dan UU Panas Bumi. Penulis menelusuri konsep hak penguasaan atas sumber daya alam kemudian di sisi lain penulis juga menelusuri jenis hak penguasaan apa saja kah yang terdapat dalam masing-masing UU tersebut. Penulusuran dilakukan dengan mengandalkan data sekunder. Hasil dari penelaahan tersebut, bahwa terdapat 4 (empat) jenis hak penguasaan yang termaktub dalam UU di bidang sumber daya alam yakni hak bangsa, hak menguasai negara, hak perseorangan, dan hak ulayat. Dari beberapa undang-undang tersebut terdapat ketiadaan pengaturan perihal hak bangsa dan hak ulayat. Ketiadaan pengaturan perihal hak bangsa berdampak pada ketiadaan jaminan kepastian atas hak menguasai negara, hak ulayat, dan hak perseorangan. Di sisi lain ketiadaan pengaturan hak ulayat berdampak pada timbulnya ketidakberaturan pada masyarakat hukum adat dan ketiadaan opsi jaminan kepastian hak yang lain apabila jaminan kepastian hak secara formal oleh negara tidak berjalan efektif.
QUO VADIS PENGATURAN PENATAAN RUANG HASIL REKLAMASI Yurista, Ananda Prima; Wicaksono, Dian Agung
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 15, No 2 (2018): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2018
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v15i2.182

Abstract

Reklamasi hampir selalu menjadi polemik di Indonesia karena diduga berdampak buruk pada lingkungan. Namun, reklamasi juga sebagai opsi untuk meningkatkan fungsi ruang. Terlepas dari masalah ini, penelitian ini mencoba untuk melihat dari perspektif lain, yaitu dari aspek hukum perencanaan tata ruang. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa “ruang” tidak hanya tentang ruang darat, tetapi juga ruang laut. Namun, dalam UU tersebut, penataan ruang laut tidak diatur. UU menegaskan bahwa tata ruang laut diatur dengan UU tersendiri. Kemudian, dasar penataan ruang laut diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini menunjukkan adanya dualisme pengaturan antara perencanaan tata ruang darat dan laut dalam UU yang berbeda. Ini menimbulkan pertanyaan yang menarik ketika dikaitkan dengan reklamasi, yaitu terkait dengan status ruang sebagai hasil dari reklamasi, apakah itu menjadi bagian dari tata ruang darat atau laut? Peneliti bermaksud untuk menjawab pertanyaan berikut: (a) bagaimana pengaturan tata ruang sebelum dan sesudah reklamasi? (b) bagaimana status hukum ruang yang dihasilkan dari reklamasi? Apakah tunduk pada peraturan tata ruang darat atau laut? Ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan tinjauan pustaka untuk membedah data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dualisme mengenai peraturan tata ruang daratan dan laut membuat perencanaan tata ruang non-integratif, yang hampir selalu menyebabkan polemik reklamasi di Indonesia.