Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN MARGRIET MEGAWE ATAS PENETAPANNYA SEBAGAI TERSANGKA KASUS PEMBUNUHAN ENGELINE (Studi kasus Nomor 03/Pid.Prad/2015/PN.Dps.) Eko Soponyono, Sukinta, Mazidah Qayyimah*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.92 KB)

Abstract

Praperadilan menjadi topik yang sering dibicarakan akhir-akhir ini, baik sebagai hal yang diperdebatkan karena eksistensinya, maupun menjadi sorotan karena adanya putusan Hakim Sarpin. Praperadilan menjadi instansi penting di dalam memberikan rasa keadilan, sekaligus pula secara strategis dapat menempatkan para pencari keadilan pada posisi yang equality before the law (kesamaan kedudukan di depan hukum). Upaya Praperadilan merupakan bentuk pengawasan dan mekanisme yang diberatkan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Pada pertengahan tahun 2015 lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan penemuan mayat bocah 8 tahun di belakang rumahnya terkubur dengan tangan terikat di jalan Sedap Malam, Sanur Bali. Ibu angkatnya, Margriet Megawe ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan atas meninggalnya Engeline. Namun karena merasa tuduhan melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan anak mati atau Pembunuhan tersebut tidak sah maka pihak Margriet mengajukan permohonan Praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Atas permohonannya, hakim praperadilan menimbang bahwa atas permohonan praperadilannya, pihak margriet Megawe tidak mampu membuktikan seluruh dalil-dalil pokok permohonannya. Menurut Hakim, argumentasi pihak pemohon bahwa atas penetapannya sebagai tersangka tidak didasari pada adanya alat-alat bukti yang sah adalah argumentasi yang tidak beralasan dan harus di tolak.
Konsep dan Praktik Pelaksanaan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sukinta Sukinta
Administrative Law and Governance Journal Vol 4, No 1 (2021): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/alj.v4i1.89 - 98

Abstract

AbstractAmicus Curiae is a common practice in the Common Law legal system. Amicus Curiae or friends of court is a legal concept that supports third parties, namely those who feel an interest in a case, giving their legal opinion to the court. This study aims to determine how the concept and practice of amicus curiae in the Indonesian criminal justice system. This research is an empirical legal research that uses a case approach approach. The results showed that Amicus Curiae or court friend or court friend is a legal concept that supports third parties, namely those who feel interested in a case, giving their legal opinion to the court. The involvement of interested parties in a case is only limited to giving opinions, not fighting. Amicus Curiae is a practice that originates from the Roman legal tradition which later developed and was practiced in the common law legal system. The concept of Amicus Curiae used in the Indonesian legal system is based on the provisions of Article 5 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power which states that "Judges and Constitutional Justices are obliged to explore, follow, and understand legal values and a sense of justice that live in Public". Keywords: Amicus Curiae; Practice; Procedural Law; Criminal AbstrakAmicus Curiae merupakan praktik yang umum dalam sistem hukum Common Law. Amicus Curiae atau friends of court atau sahabat pengadilan merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep dan praktik pelaksanaan amicus curiae dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang menggunakan endekatan case approach. Hasil penelitian menunjukan bahwa  Amicus Curiae atau friends of court atau sahabat pengadilan merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan. Amicus Curiae merupakan praktik yang berasal dari tradisi hukum Romawi yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam sistem hukum Common law. Konsep Amicus Curiae digunakan dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kata Kunci: Amicus Curiae; Praktik; Hukum Acara; Pidana
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI ANAK TANPA SUMPAH DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERBUATAN CABUL Desiana Kusuma Hastin; Irma Cahyaningtyas; Sukinta Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (790.563 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap keterangan saksi anak tanpa sumpah dalam pemeriksaan perkara perbuatan cabul dan kekuatan alat bukti keterangan saksi anak tanpa sumpah dalam pemeriksaan perkara perbuatan cabul. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan normatife. Jenis pendekatan ini memfokuskan pada pendekatan kasus (case approach) yaitu dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai sebagai peraturan khusus untuk kasus anak (lex specialis) terhadap anak yang menjadi korban dan saksi dalam suatu tindak pidana dan alat bukti bukti keterangan saksi anak tanpa sumpah tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian dan bukan merupakan alat bukti yang sah. Keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai yang satu dengan yang lain bukan merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
PENERAPAN PROSES DIVERSI DI INDONESIA DALAM KAJIAN PERBANDINGAN Olvy Nurendra Ardhianto; Irma Cahyaningtyas; Sukinta Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (616.171 KB)

Abstract

Pemahaman mengenai upaya perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum melalui proses diversi, yang bertujuan untuk melindungi anak dari dampak buruk akibat adanya suatu tindak pidana, dan upaya untuk mengembalikan kembali pada keadaan semula dengan konsep keadilan restoratif. Hal tersebut didasari oleh adanya hak-hak anak yang harus tetap dilindungi. Proses diversi dilakukan diluar persidangan, hal tersebut bertujuan untuk pencegahan penahanan pada anak. Diversi dilakukan dengan musyawarah yang berakhir pada hasil kesepakatan diversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses diversi yang terjadi saat ini di Indonesia terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Serta bertujuan untuk membandingkan proses diversi di Indonesia dengan Philipina, sebagai bentuk acuan untuk evaluasi diversi di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian terhadap data sekunder guna mengkaji dan menganalisis peraturan-peraturan serta literatur yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa proses diversi pada saat ini telah sesuai dengan aturan-aturan yang telah berlaku, namun dalam pelaksanaannya belum dapat dikatakan optimal karena masih ditemukannya aturan yang merujuk pada suatu bentuk diskriminasi.
TINJAUAN TENTANG PEMBUKTIAN UNSUR MEMPERKAYA DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Dwi Helmi Pradika; Sukinta Sukinta; Irma Cahyaningtyas
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1125.112 KB)

Abstract

Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terdapat beberapa unsur yang harus dibuktikan salah satunya  yaitu unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.  unsur ini dibuktikan berdasarkan aturan umum pada KUHAP dan berdasarkan aturan khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini menimbulkan adanya permasalahan diantaranya bagaimana pengaturan mengenai pembuktian unsur “memperkaya”, dan bagaimana praktik pelaksaan dari pembuktian unsur “memperkaya”. Metode pendekatanyang digunakan adalah normatif yuridis, bersifat deskriptif analitis berdasarkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan  tersier. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka. Untuk menarik kesimpulan menggunakan metode analisis kualitatif. Pengaturan pembuktian dari unsur “memperkaya” memiliki aturan khusus, diantaranya adalah mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan hakim dalam membentuk alat bukti petunjuk dan sistem pembebanan pembuktiannya. Dalam praktik pembuktian unsur “memperkaya” dilihat dari Putusan Nomor 13/Pid.Sus-TPK/2019/PN Smg. digunakannya “informasi dan dokumen” sebagai perluasan alat bukti petunjuk dapat mempermudah proses pembuktiannya. Namun tidak diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian menunjukan jika tidak semua peraturan mengenai pembuktian unsur “memperkaya” dapat diterapkan secara efektif. Selain itu tidak diaturnya maksud/kriteria “memperkaya” pada undang-undang tersebut dapat berdampak multitafsir dan dapat menimbulkan permasalahan baru.
KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN PENERAPAN ASAS OPORTUNITAS OLEH JAKSA AGUNG DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Ahmad Arif Hidayat*, Nyoman Serikat PJ, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 2 (2017): Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.685 KB)

Abstract

Salah satu lembaga negara yang berperan penting dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan. Salah satu wewenang Jaksa Agung dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Pasal 35 (c) yang berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pengertian kepentingan umum yang menjadi alasan penyampingan perkara oleh Jaksa Agung dan bagaimana penerapan penyampingan perkara oleh Jaksa Agung dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini merupakan peneltian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasilnya bahwa penyampingan perkara oleh Jaksa Agung terdapat dalam Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan memberikan batasan kepentingan dalam dua hal, pertama kepentingan bangsa dan negara, kedua terhadap kepentingan masyarakat luas. Jaksa Agung dalam menerapkan asas oportunitas tidak sendiri melainkan melalui mekanisme kerja dari bawah ke atas, kemudian dari atas ke bawah. Sedangkan dalam memutuskan apakah suatu perkara perlu dikesampingkan atau tidak, Jaksa Agung berkonsultasi dengan pejabat tinggi lainnya yang berwenang.
TINJAUAN TENTANG PEMBAHARUAN KUHAP SEBAGAI LANDASAN BEKERJANYA SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Umi Falasifah*, Bambang Dwi Baskoro, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (599.523 KB)

Abstract

Tiga puluh lima tahun berlakunya KUHAP merupakan waktu yang cukup panjang untuk melihat, memahami, mendalami kelemahan dan kelebihan atas implementasi KUHAP. KUHAP, permasalahan hukum pidana yang harus ditangani serta banyaknya instrument internasional yang menginspirasi dalam penegakan hukum pidana. KUHAP dalam beberapa kasus mulai dirasakan tidak sesuai lagi dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat, maka perlu adanya tinjauan terhadap pembaharuan terhadap KUHAP. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengajukan tiga pokok masalah, yaitu, urgensi pemabaharuan KUHAP, substansi-substansi apa yang diperbaharui dalam RUU KUHAP, dan yang terakhir implikasi yuridis dari pembaharuan KUHAP. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa KUHAP yang sekarang digunakan sudah tidak sesuai lagi dan perlu adanya pembaharuan, pengaturan substansi yang baru dalam RUU KUHAP dari asas legalitas hingga permohonan kasasi, pro dan kontra RUU  KUHAP dalam implementasi yuridis pada ketentuan diluar KUHAP. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu diadakan urgensi pembaharuan KUHAP karena sudah tidak sinkronisasi, diantaranya substansi yang diubah dimulai dari asas legalitas, pengahapusan penyelidikan sampai permohonan kasasi. Pembaharuan KUHAP menimbulkan implikasi yuridis terhadap ketentuan diluar KUHAP pada Sistem Peradilan Pidana Anak dengan mendukung penyelesaian perkara anak diluar jalur peradilan, dan pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi membawa dampak kelemahan kewenangan instansi-instansi seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
KEWENANGAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERASAL DARI TINDAK PIDANA KORUPSI Regina Ayu Larasati*, R.B. Sularto, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 1 (2017): Volume 6 Nomor 1, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (680.467 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi atas tindak pidana pencucian uang dan kedudukan kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi atas tindak pidana pencucian uang di masa yang akan datang.Menggunakan Metode studi Pustakayaitu menelaah beberapa Peraturan Perundang-undangan, buku kepustakaan,dan karya ilmiah yang ada hubunganya dengan objek penelitian. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas dan selanjutnya disajikan secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya aturan yang menjelaskan secara valid dasar kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang baik dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ataupun dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur kewenangan penuntutan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang dalam melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang.
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES WONOGIRI) Ika Wiwin Wijayanti*, Sukinta, Bambang Dwi Baskoro
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 2 (2017): Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.069 KB)

Abstract

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Didalam sistem peradilan pidana anak, anak yang berkonflik dengan hukum terutama dalam proses penyidikan berhak mendapat perlindungan hukum terhadap hak-haknya.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian hukum ini adalah 1. bagaimana proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan 2. apa upaya yang dilakukan penyidik untuk mengatasi faktor penghambat dalam praktik pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma hukum yang ada dalam masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan studi kepustakaan dan wawancara terhadap Kanit Penyidik Anak di Polres Wonogiri.Hasil penelitian yang diperoleh ialah 1. tindakan yang dilakukan oleh penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian perkara, pemeriksan tersangka dan interogasi, membuat berita acara pemeriksaan, penyitaan barang bukti, dan pelimpahan perkara. 2. upaya yang dilakukan penyidik ialah digencarkannya masalah perlindungan anak, melakukan pelatihan teknis, menyediakan ruang khusus untuk anak, bekerja sama dengan pihak lain, melakukan pengarahan mengenai prosedur proses penyidikan, dan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat.Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa 1. a. tindakan yang dilakukan oleh penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian perkara, pemeriksan tersangka dan interogasi, membuat berita acara pemeriksaan, penyitaan barang bukti, dan pelimpahan perkara. b. pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak belum sesuai dengan Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. penyidik melakukan berbagai upaya untuk mengatasi faktor penghambat dalam praktik pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
TINJAUAN YURIDIS ATAS OPERASI TANGKAP TANGAN YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN RELEVANSINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI TERSANGKA Aldian Pudjianto; Sukinta Sukinta; Irma Cahyaningtyas
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (778.776 KB)

Abstract

Operasi Tangkap Tangan KPK yang didahului dengan tindakan penyadapan, sangat efektif mengangani kasus korupsi yang sulit dibuktikan. Sisi lain, belum adanya perangkat hukum yang jelas mengatur mekanisme pelaksanaan penyadapan, menimbulkan polemik para ahli hukum dan dibenturkannya Operasi Tangkap Tangan dengan Perlindungan hak asasi terhadap tersangka. Guna mengkaji permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode yuridis normatif dan spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang bersumber dari pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Pada hakekatnya, Operasi Tangkap Tangan sebagai pelaksanaan upaya paksa didahului dengan penyadapan adalah syah dan telah didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang bertujuan untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya guna mendapat alat bukti guna meyakinkan hakim tentang adanya peristiwa tindak pidana.  Benturan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa kadang terjadi dalam pelaksanaan lapangan, tapi bukan merupakan kesewenangan lebih banyak disebabkan kesalahan prosedur pelaksanaan yang perlu dibuatkan  aturan pelaksana yang jelas sebagai payung hukumnya.