Badrus Samsul Fata, Badrus Samsul
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Brother against Brother: Early Refutation of Wahhabism by the 18th-century Hanbali Scholars Fata, Badrus Samsul; Ismail, Idznursham
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 23 No. 1 (2022)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v23i1.3243

Abstract

Wahhabism has been a source of intergenerational controversies among sunnī madhabī scholars and even among respected Hanbali scholars themselves, initially from its rise in the 18th century until the date. Muḥammad b. ‘Abd al-Wahhāb’s fatwas have drawn sharp critiques and refutations by Hanbali scholars, particularly those regarding tawḥīd ulūhiyyat, which justifies declaring others as infidel-apostates (kāfir murtadd). Other contested fatwas include those on Muslim practices of seeking blessings (tabarruk), seeking intermediaries (tawassul), visiting graves (ziyārat), and seeking help (istighāthah). Muḥammad b. ‘Abd al-Wahhāb and his followers have theologically deemed these practices of major idolatry (as-shirk al-akbar) and have erred and biased in proclaiming his Wahhabism as the true successor to Ibnu Taymiyya, Ibn Qayyim al-Jawziyya and even manhaj of Ahmad b. Hanbal. In this regard, this article portrays the refutations and rebuttals by Hanbali scholars of Muḥammad b. ‘Abd al-Wahhāb and his early Wahhabism based on primary sources. The discussion describes theological examinations and counter-narrative campaigns against Wahhabism initiated by the 18th-century Hanbali scholars. The findings show that the majority of Hanbali scholars at the time refuse the teachings of Wahhabism and argue that the fatwas of Wahhabi scholars on the notion of ulūhiyyat, tabarruk, tawassul, ziyārat, and istigāthah are irrelevant and disconnected from the intellectualism of Hanbali scholars.
Digital Literacy Skills in the Study of Tafsir Al-Mishbah by M. Quraish Shihab Arifin, Mohamad Zaenal; Ma'rufatun, Ma'rufatun; Hikam, Ahmad Bahrul; Fata, Badrus Samsul
AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan Hadis Vol. 8 No. 2 (2024)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29240/alquds.v8i2.10754

Abstract

This study discusses the scope of digital literacy studied based on Tafsir al-Mishbah. The goal is to find the verses that indirectly explain digital literacy. That way, it will produce a theory on using digital media from an Islamic point of view. So that the Muslim generation, in particular, can keep pace with technological developments and digital literacy capabilities. This research method uses qualitative research with a library research approach. The primary reference is based on Tafsir al-Mishbah, equipped with books and accredited journals. Through this method, it can be found how to explain the verses of the Qur'an about the concept of digital literacy. The study found that terms related to digital literacy can be expressed through the terms iqra', kitabah, and qalam. Furthermore, the principles of digital literacy in Tafsir al-Mishbah are also found, including the use of digital media (QS. al-Qalam: 1, QS.  al-Alaq: 1); the use of digital media (QS. al-Baqarah: 263, QS. al-Isra: 28, QS.  an-Nisâ: 9 and 63); information selection (QS. al-Hujurât: 6, QS. an-Nūr: 11); content dissemination (QS.  al-Hujurât: 12, QS. an-Nūr: 15); maintaining privacy (QS. an-Nūr: 27-28); and creativity in creating content (QS. Hūd: 37). It can be concluded that the concept of digital literacy according to the Qur'an is a means of goodness, a means of communicating by meeting the requirements of Islamic principles, a means of researching and selectively receiving information, a means of spreading hoax news, advice on maintaining personal data, and as a means of developing creativity in content. These Islamic principles can improve a person's digital literacy competence to keep up with the increasingly rapid development of technology.
MAQASHID AL-QURAN DAN MAQASHID SYARIAH SEBAGAI BASIS PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Hardianto, Ari; Fata, Badrus Samsul
Tarbawi: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam Vol 8 No 1 (2025): Tarbawi
Publisher : STAI BINAMADANI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/tarbawi.v8i1.722

Abstract

Penelitian ini mengeksplorasi konsep maqashid Al-Qur'an dan maqashid syariah sebagai pendekatan filosofis dan operasional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Maqashid Al-Qur'an mengacu pada tujuan utama wahyu Al-Qur'an dalam membimbing manusia menuju kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat, sedangkan maqashid syariah menekankan perlindungan lima aspek utama kehidupan: agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-'aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis data dari berbagai sumber primer, seperti ayat-ayat Al-Qur'an yang relevan, serta sumber sekunder berupa jurnal, buku, dan dokumen pendidikan di Indonesia. Hasil dari penelitian ini mengkaji relevansi kedua konsep tersebut dalam konteks pendidikan modern di Indonesia, dengan menyoroti bagaimana mereka dapat memengaruhi kurikulum, metodologi pengajaran, dan tujuan pendidikan nasional. Hasilnya adalah penerapan maqashid Al-Qur'an dan maqashid syariah sebagai basis paradigma pendidikan di Indonesia menawarkan solusi untuk menciptakan sistem pendidikan yang holistik dan relevan.
KESEJAHTERAAN EMOSIONAL SANTRI PENGHAFAL AL-QUR’AN DI PESANTREN AN-NUQTHAH, TANGERANG Fata, Badrus Samsul; Rosyadi, Imron
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 4 No 2 (2024): alfikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v4i2.675

Abstract

Artikel ini mengkaji kesejahteraan emosional santri penghafal al-Qur'an di Pesantren An-Nuqthah Tangerang dan dampaknya dalam proses menghafal al-Qur'an. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, riset ini melibatkan wawancara mendalam dan observasi terhadap tujuh santri berusia 12-15 tahun. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur, observasi partisipan, dan analisis dokumen. Data dianalisis menggunakan teknik analisis tematik dengan proses pengkoden dan kategorisasi untuk mengidentifikasi pola-pola utama. Hasil riset menunjukkan bahwa kesejahteraan emosional santri tercermin dalam kemampuan mereka mengenali dan mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan menjalin hubungan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan emosional meliputi keseimbangan afek positif dan negatif, strategi koping, dan dukungan sosial. Kesejahteraan emosional yang baik berdampak positif pada efektivitas menghafal al-Qur'an, meningkatkan konsentrasi, ketahanan terhadap stres, dan kualitas hafalan. Riset ini menyimpulkan, kesejahteraan emosional menjadi fondasi kuat bagi santri dalam menghadapi tantangan proses menghafal al-Qur'an, mempengaruhi cara mereka belajar, dan merespons permasalahan yang muncul.
REVITALISASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA Rosyadi, Imron; Fata, Badrus Samsul
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 5 No 2 (2025): alfikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v5i2.816

Abstract

Penelitian ini mengkaji secara kritis problematika pembelajaran bahasa Arab dalam pendidikan Islam di Indonesia dan menawarkan strategi revitalisasi yang transformatif. Meskipun bahasa Arab memiliki posisi teologis sebagai bahasa wahyu, implementasi pembelajarannya di madrasah masih menghadapi tantangan dalam hal penguasaan fungsional siswa. Studi ini mengidentifikasi empat isu utama: kesenjangan imersi antara pesantren dan madrasah, fosilisasi kesalahan linguistik, siklus demotivasi struktural, serta ketidaksesuaian kurikulum dan evaluasi. Untuk mengatasinya, direkomendasikan pergeseran paradigma menuju pendekatan komunikatif yang bermakna, integrasi teknologi sebagai lingkungan imersif virtual, dan penerapan model Content and Language Integrated Learning (CLIL). Strategi ini didukung oleh pendekatan triangulasi sinergis antara kebijakan pusat, inovasi kelembagaan, dan kolaborasi lintas jaringan. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Arab berpotensi menjadi sarana pembangunan intelektual sekaligus instrumen diplomasi budaya dan ekonomi syariah Indonesia secara global. Kata Kunci: Bahasa Arab, Pendekatan Komunikatif, CLIL.
REGULASI DIRI SANTRI PENGHAFAL AL-QUR’AN DI PESANTREN AN-NUQTHAH, TANGERANG Fata, Badrus Samsul; Rosyadi, Imron; Istianah, Istianah
Tarbawi: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam Vol 7 No 1 (2024): Tarbawi
Publisher : STAI BINAMADANI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/tarbawi.v7i1.630

Abstract

Penelitian ini bertujuan menjelaskan dinamika regulasi diri yang dimiliki santri penghafal al-Qur'an di Pesantren An-Nuqthah, Tangerang. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan model studi kasus yang dilaksanakan di Pondok Pesantren An-Nuqthah, Tangerang. Adapun yang menjadi sumber primer penelitian ini adalah informan sebanyak tujuh orang santri penghafal al-Qur'an di Pesantren An-Nuqthah, Tangerang, serta melibatkan para asatidz, orang tua dan santri secara umum di pesantren tersebut. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Regulasi diri dalam hafalan al-Qur'an dilakukan dengan strategi perencanaan yang strategis. Motivasi menjadi bagian kunci keberhasilan dalam menghafal. Aspek moral dan etika serta kemampuan menyeleksi dan memanfaatkan lingkungan menjadi krusial dalam proses regulasi diri santri penghafal al-Qur'an di Pesantren An-Nuqthah, Tangerang. 2) Faktor-faktor regulasi diri yang diaplikasikan oleh para santri An-Nuqthah sangat memengaruhi kesejahteraan emosional mereka. Aspek perilaku yang meliputi pengamatan diri (self-observation) berimplikasi terhadap aspek moral, etika, dan penilaian sosial, serta proses penilaian terhadap kemampuan bersosialisasi. Di sisi lain, lingkungan juga memainkan peran penting dengan dukungan yang diberikan oleh orang terdekat santri dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa regulasi diri dan kesejahteraan emosional santri penghafal al-Qur'an menjadi krusial dalam proses menghafal al-Qur’an. Sehingga perolehan hafalannya menjadi tercapai secara kualitas, walaupun belum didapatkan maksimal secara kuantitas.
MAZHAB SINONIMITAS (AL-TARÂDUF) DALAM ‘ULUMUL QUR’AN Fata, Badrus Samsul; Noorhayati, S Mahmudah
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 2 No 1 (2022): Afikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v2i1.356

Abstract

Tulisan ini mengupas polemik tentang mazhab sinonimitas bahasa (al-tarâduf fîal-lughah) di kalangan sarjana Muslim dalam berbagai bidang keilmuan,khususnya bidang ‘Ulumul Qur'an. Sinonimitas sendiri merupakan fenomenakebahasaan penting, sebab variasi kesamaan dan perbedaan “kata” berdampakbesar pada perubahan dan kesamaan “makna”. Penelitian ini merupakanpenelitian kepustakaan. Sumber data didapat dari penelusuran literaturkepustakaan, yang kemudian dideskripsikan dan dianalisis sedemikian rupasehingga menghasilkan pembahasan yang sistematis. Hasil pembahasanmenunjukkan bahwa para sarjana muslim terbagi menjadi dua mazhab utama,yaitu mereka yang menerima sinonimitas (mutsabbitu al-tarâduf) termasuktermasuk al-Farahidhi (w. 173H), Sibawaih (w. 180H), al-Ashmu‘i (w. 216H), alRummani (w. 384H), Hamzah al-Ashfihani (w. 360H), Ibnu Khalawaih (w. 370H),dan lainnya. Barisan sarjana yang menolak sinonimitas (munkiru al-tarâduf)misalnya Abu al-‘Abbas Tsa‘lab (w. 291 H), Abu ‘Ali al-Farisi (w. 377 H), Ibnu Faris(w. 395 H), Abu al-Hilal al-‘Askari (w. 395 H), dan lainya. Artikel ini menemukanbahwa mayoritas ulama dan sarjana ‘Ulumul Qur’an yang berposisi mendukungmazhab sinonimitas (mutsabbitu al-tarâduf) mengajukan (4) empat basisargument; 1) Sinonimitas (al-tarâduf) kata adalah sebuah keniscayaan sebab alQur’an diturunkan dalam format al-ahruf al-sab‘ah; 2) Sinonimitas (al-tarâduf)kata memiliki justifikasi fungsional penting sebagai “penguat” makna (li tawkîdal-ma‘nâ); 3) Sinonimitas (al-tarâduf) kata juga berfungsi sebagai penciri ayatayat mutasyâbihât; 4) Mayoritas ulama tafsir dalam berbagai karyanyamenggunakan sinonimitas (al-tarâduf) kata untuk memudahkan penafsiran danmendekatkan makna al-Qur’an kepada para pembacanya.
CONTEMPORARY CRITIQUES ON SYAḤRÛR’S METHODOLOGY TO QUR’ANIC STUDIES Fata, Badrus Samsul; Mun'im, A Rafik Zainul
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 2 No 2 (2022): Alfikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v2i2.393

Abstract

Abstract Melalui al-Kitâb wa al-Qur’ân Qira’âh Mu’âṣirah, Syaḥrûr mengajukan kerangka metodologi studi al-Qur’an yang mengundang banyak kontroversial, sebab menggabungkan pendekatan linguistik klasik non-mainstream dengan pendekatan linguistik Barat modern. Artikel ini mengulik pendekatan historis-ilmiah (al-manhaj al-târîkhi al-’ilmî), tokoh linguistik modern yang mempengaruhinya, sekaligus kritik akademis dari para sarjana al-Qur’an kontemporer atasnya. Melalui pendekatan historis ilmiah dengan basis teori anti sinonimitas (lâ tarâdufa fî al-kalimah), Syaḥrûr mengklaim mampu menawarkan kebaruan dalam reinterpretasi al-Qur’an. Akan tetapi, para kritikus justru menilai kerangka metodologi Syaḥrûr telah menyalahi konsensus dan bahkan secara keliru memahami teori-teori linguistik, khususnya teori anti-sinonimitas (lâ tarâdufa fî al-kalimah), yang dianggit para linguistik Arab klasik semisal Ibnu al-A‘rabî (w. 231H), Abû al-‘Abbâs Ṣa’lab (w. 291 H), Abu Bakar al-Anbârî (w. 328H), Ibnu Fâris (395H), Abû Hilâl al-‘Askarî (w. 395H), Abû ‘Alî al-Fârisî (w. 377H), dan Ibnu Jinnî (w. 392H). Para kritikus menegaskan, penisbatan teori anti-sinonimitas Syaḥrûr kepada tokoh-tokoh linguistik Arab klasik di atas terbukti bersifat bias dan prematur, sehingga justru mereduksi dan mengaburkan makna al-Qur’an itu sendiri.
THE FUTURE CHALLENGES OF MODERATE PESANTREN IN INDONESIA: Fata, Badrus Samsul
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 3 No 1 (2023): Alfikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v3i1.452

Abstract

Abstract Moderate Indonesia's Islamic boarding schools (pesantren) and madrasahs are firmly linked with mass organizations like Nahdlatul Ulama (N.U.), Nahdhatul Wathan (N.W.), Perti, Jam'iyyah al-Khairat, Mathla'ul Anwar (M.A.), and others. Moderate pesantrens have developed teaching methods and an educational system that are open, moderate, pluralistic, and even resistant to radical ideology, violent extremism, and terrorism throughout the centuries. Western sociological-anthropological investigations by Bruinessen, Fealy, Barton, Steenbrink, Horikoshi, Ziemek, and Indonesian scholars such as Dhofier, Wahid, Rahardjo, and Mansur Noor supported this, with certain limitations. Dhofier asserted that the Islamic boarding schools and madrasas were unique until the 1970s as alternative educational institutions. They built a community that valued kyai, santri, langgar, pondok, and kitab kuning. However, violent extremism and terrorist acts in Indonesia over more than a decade implicated alumnae of different radical pesantren; four were affiliated with Jamaah Islamiyyah (Al-Islam Lamongan, al-Mukmin Ngruki, Al-Muttaqien Jepara, and Darusy Syahadah Klaten), and the two others (al-Manar and Al-Hikmah) affiliated with Jamaah Ansharus Tauhid (JAT), and Jamaah Ansharus Syariah (JAS). This paper examines and measures moderate pesantren's future challenges, particularly how global Islamic political movements have fueled religious radicalism and fundamentalism in contemporary Indonesia.
KRITIK DAN PENOLAKAN ULAMA HANBALI ATAS PEMIKIRAN TEOLOGI IBNU TAIMIYYAH Fata, Badrus Samsul
AL Fikrah: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol 3 No 2 (2023): alfikrah
Publisher : STAI Binamadani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51476/alfikrah.v3i2.514

Abstract

Ibnu Taimiyyah (d. 728 H) has been the source of tension between his supporters and opponents for centuries. These supporters believed that Ibn Taimiyyah was ma'shum, more superior to Imam Ahmad bin Hanbal, and they even believed he was the ultimate mujtahid (khatim al-mujtahidin). However, such claims ignore the sharp rejection of Sunnis schools and generations (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah) and even the internal assessments of the Hanbali scholars such as Imam Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795H), Imam Ibnu al-Mardawi al-Hanbali (w. 885H), Imam Ibnu Najjar al-Hanbali (w. 972H), Imam al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051H), dan Imam al-Safarayni al-Hanbali (w. 1188H). This paper uses an interdisciplinary approach to analyze primary sources to demonstrate the referential hierarchy as the internal consensus of the Hanbali school (ijma' fi al-madhabihi), as the dispute over the results of tarjih formulation in ushul and furu' comes up. The first rank is the founding father of Hanbali school, Imam Ahmad bin Hanbal himself. The second place is Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, the writer of Kitab al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal and Kitab al-Mughni. The third contributor is Imam Majduddin Abu al-Barakah al-Taimy, the writer of Kitab al-Muharrar fi al-Fiqh. The fourth rank belongs to Imam Ibn Muflih al-Hanbali, Kitab al-Furu's writer. The fifth place is Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, the writer of Kitab al-Qawa'id al-Fiqhiyah. The sixth rank is Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali, the writer of Kitab al-Ri'ayah al-Kubra. The seventh contributor is Imam Taqiyyuddin Ibn Taimiyyah, who wrote Kitab Majmu' al-Fatawa. The eighth rank is Imam Ibn 'Abdus al-Hanbali, the writer of Kitab al-Tadhkirah fi al-Fiqh. Furthermore, this article also proves that Ibn Taymiyyah is not the only scholar of the Hanbali school to hold the title of Syaikhul Islam among Hanbali scholars; there are still many others. Instead, Syaikhul Imam Abdul Qadir al-Jilani al-Hanbali received a more prestigious title as the Sultan-al-Masyayikh among the leading scholars of the Hanbali school.