Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

RANCANGAN UNDANG‐UNDANG KESETARAAN DAN  KEADILAN GENDER (RUU KKG) DALAM TINJAUAN MAQASHID ASY‐SYARI’AH Amilia, Fatma
Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam Vol. 11 No. 2 (2012)
Publisher : Sunan Kalijaga State Islamic University & The Asia Foundation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/musawa.2012.112.213-228

Abstract

Maqashid Asy-Syari’ah is an extraordinary method to view and develop Islamic ideas and spirit in many circumstances. It is often used as an analytical knife to solve problems and the application of Islamic law. This Article will attempt to read and analyze the Draft Law on Gender Equality through this method. The existence of this yet unsanctioned law has raised controversy. But such controversies should instead be used as materials to revise and perfect the draft law instead of a reason to reject it outright. The result of the analysis of the draft law shows that it generally contains the values of Islamic law. However, it is undeniable that there are several mistakes and errors which must be discussed to be perfected. The decision  whether to issue the law should depend on a costbenefit analysis.
The Gendered Politics of Maslahah: Patriarchal Tendencies in the Legal and Judicial Justification of Polygamy Amilia, Fatma; Tobroni, Faiq; Burhanuddin, Hamam; Salwa, Hana Zaida
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 58 No 2 (2024)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v58i2.1519

Abstract

Polygamy is a controversial issue. Its existence is justified on the grounds of welfare (maslahah). However, the concept of maslahah is often interpreted in a biased manner that favors men. This article poses two questions. Firstly, why does the interpretation of public welfare that disadvantages women occur in polygamy law? Second, what are the ideal conditions for polygamy based on the interpretation of public welfare in the Qur’an? The research employs qualitative methods, a critical discourse analysis approach, and theories of patriarchy and power relations. Data collection includes a literature review of scientific articles, books, and legal documents related to polygamy in Indonesia. The findings reveal that patriarchal discourse on polygamy has shaped the meaning of maslahah. The spirit of maslahah is overshadowed by patriarchal power relations. State power, culture, and discourse have shaped these relations. State legal products in the form of regulations and judicial decisions demonstrate that the state acts as an agent of patriarchy, legalizing the concept of maslahah to benefit men. Culture further reinforces the discourse of maslahah that harms women. This article proposes a reinterpretation of the concept of maslahah as a consideration for polygamy, in line with the objectives of the Qur'an. The consideration of public welfare must shift from individual and biological interests to social ones. The conditions for polygamy must change, not based on the wife's infertility or physical disabilities. Instead, they should be based on the woman to be married, with the condition that she must be a widow with children as paternal orphans. Poligami merupakan isu yang kontroversial. Keberadaannya mendapat legitimasi dengan alasan kemaslahatan. Namun, konsep kemaslahatan sering mendapat tafsir bias yang menguntungkan laki-laki. Artikel ini mengajukan dua pertanyaan. Pertama, mengapa pemaknaan kemaslahatan yang merugikan perempuan terjadi dalam hukum poligami? Kedua, bagaimana syarat poligami yang ideal berdasarkan pemaknaan kemaslahatan dalam Al-Qur’an? Penelitian menggunakan metode kualitatif, pendekatan analisis wacana kritis, dan teori patriarki serta relasi kuasa. Pengumpulan data berasal dari literatur review seperti artikel ilmiah, buku, dan dokumen hukum yang berkaitan dengan poligami. Hasilnya  menemukan bahwa diskursus yang bias patriarki pada poligami telah membentuk makna kemaslahatan. Spirit kemaslahatan berada di bawah bayang relasi kuasa patriarki. Kekuasaan negara, budaya dan wacana telah membentuk relasi tersebut. Produk hukum negara dalam bentuk regulasi maupun judikasi memperlihatkan negara menjadi agen patriarki yang melegalkan konsep kemaslahatan untuk menguntungkan laki-laki. Budaya turut memperkuat wacana kemaslahatan yang merugikan perempuan. Artikel ini mengusulkan pemaknaan ulang atas konsep kemaslahatan sebagai pertimbangan poligami, yang sesuai dengan tujuan Al-Quran. Pertimbangan kemaslahatan harus berubah dari kepentingan individual dan biologis menjadi sosial. Syarat poligami harus berubah, bukan berada pada kondisi istri yang tidak subur atau cacat fisik. Tetapi pada perempuan yang akan dinikahi, dengan syarat harus janda yang mempunyai anak yatim.
Pergeseran Nilai dan Peran Lembaga Keagamaan dalam Penanggulangan KDRT [Studi Lembaga Keagamaan di Kota Yogyakarta] Amilia, Fatma; Mansur, Mansur; Saifuddin, Saifuddin
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 50 No 1 (2016)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v50i1.163

Abstract

Religious  institutions  looked  having  an  important  role  in responding a violence, especially for women at domestic violence. It is because  our  understanding  that  any  religion  has  never  agreed  and received any kind of violence. However, time has changed, campaign and gender  mainstreaming  has  been  actively  issued  by  the  government  and non  government  organizations.  Therefore,  the  interpretation  of  the devine  text  by  the  religious  leaders  has  also  shifted.  This  article elaborates  the  role  and  paradigm  shift  in  the  religious  institutions  in anticipating and rehabiliting domestic violence in Yogyakarta.
Respons Minoritas Non-Muslim terhadap Pemberlakukan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Bahiej, Ahmad; Munajat, Makhrus; Amilia, Fatma
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51 No 1 (2017)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v51i1.323

Abstract

Secara yuridis, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat merupakan qanun yang merevisi qanun-qanun tentang hukum pidana yang dikeluarkan sebelumnya. Qanun ini mulai berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, yaitu berlaku sejak 22 Oktober 2015. Secara materiel, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat mengatur tentang tindak pidana khamar (minuman keras), zina, qadzaf (menuduh zina), maisir (perjudian), khalwat (mesum), ikhtilath (percumbuan), pelecehan seksual, pemerkosaan, liwath (homoseks), dan musahaqah (lesbian). Secara yuridiksi personal, Qanun Hukum Jinayat berlaku bagi orang Islam dan orang non-Islam yang melakukan jarimah bersama-sama dengan orang Islam (penyertaan), memilih untuk menundukkan diri secara sukarela pada Qanun Hukum Jinayat, atau melakukan perbuatan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP tetapi diatur dalam Qanun Hukum Jinayat. Respons umat non-Islam terhadap pemberlakuan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat masih beragam. Beberapa menganggap tidak bermasalah dan menerima kehadirannya karena qanun mengajarkan kebaikan yang diajarkan di semua agama. Bahkan beberapa warga non-muslim memilih untuk menundukkan diri secara sukarela dengan alasan praktis dan cepat selesai dalam pelaksanaan hukumannya. Di pihak lain, beberapa tokoh umat non-muslim di Aceh menyatakan bahwa qanun seharusnya diberlakukan hanya bagi umat Islam. Namun demikian, karena pemberlakuan ini berdasarkan amanat Undang-undang, maka syarat penundukan diri secara sukarela tetap diserahkan kepada pribadi-pribadi umatnya. Proses legislasi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat melibatkan beberapa tokoh umat non-Islam. Pelibatan ini dimulai saat penyusunan sampai sosialisasinya. Walaupun pelibatan ini masih kurang maksimal karena beberapa alasan, proses sosialisasi pemberlakuan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat menjadi titik penting sehingga yuridiksi formil,materiel, dan personal qanun ini dapat dipahami dan dimengerti semua pihak di Aceh.