Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Problematika Pencatatan Perkawinan Di Indonesia : Telaah Perbandingan Pencatatan Perkawinan di beberapa Negara Asia Tenggara Muhammad Yusman; Soffyan Angga Fahlani
Banua Law Review Vol. 4 No. 2 (2022): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i2.45

Abstract

Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan norma baru di tengah kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan hukum perkawinan. UU Perkawinan memuat ijtihad yang asing bagi masyarakat islam yakni berkenaan dengan pencatatan perkawinan sebagai suatu keharusan, disamping sahnya perkawinan ditentukan menurut rukun dan syarat yang ditetapkan dalam agama islam. Meskipun itu bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pihak yang melangsungkan perkawinan maupun anak keturunannya. Adanya “dualime” norma tersebut menyebabkan pemaknaan yang berbeda dalam masyarakat. Ada yang menganggap cukup memenuhi ketetapan agama saja untuk sahnya suatu perkawinan dan adapula menambahkan pencatatan sebagai bagian dalam menentukan sahnya perkawinan. Sebagai suatu bahan kajian dalam melihat problematika pencatatan perkawinan perlu memperbandingkan norma hukum pencatatan perkawinan di belahan negara Asia Tenggara. Metode yang digunakan adalah Penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perkawinan, bahan sekunder (library research) adalah buku-buku dan jurnal hukum perkawinan, Sedangkan tipe penelitian dalam penelitian ini adalah Penelitian Doktrinal (doctrinal research) dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandingan hukum. Dalam penelitian ini diperoleh hasil yaitu : Di Indonesia pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan dan akan diakui kebsahannya secara formal ketika perkawinan dicatatkan, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan secara terperinci diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Namun realitas di masyakarat, masih banyak yang tidak melakukan pendaftaran dan pencatatan perkawinan dengan berbagai macam persoalan diantaranya karena alasan teologis yang menganggap pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat atau rukun perkawinan dalam agama islam ataupun syarat menurut hukum adat, atau karena perkawinan yang kedua kalinya atau lebih, dan adapula karena menganggap urusan pendaftaran yang memakan waktu dan biaya. Berbeda dengan di Negara Malaysia dan Brunei Darussalam, pendaftaran dan pencatatan perkawinan secara tegas dinyatakan sebagai kewajiban administratif warga negaranya, sehingga ketika warga negara tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi yang cukup berat berupa denda dan sanksi pidana kurungan
Perdagangan Valuta Asing Forex (Foreign Exchange) Ditinjau dalam Perspektif Filosofis, Yuridis ,Sosiologis dan Syariah Muhammad Yusman
Banua Law Review Vol. 5 No. 1 (2023): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v5i1.58

Abstract

Tulisan ini mencoba mengupas dari multi perspektif yakni tidak hanya melihat suatu fenomena sosial berkenaan dengan perdagangan valuta asing forex (foreign exchange) dari sisi hukum secara legalisitik formal saja, namun mencoba membutiri bagian-bagiannya dalam perspektif filososofis dan sosiologis bahkan dengan pandangan syariah. Penelitian ini dilakukan dengan metode hukum normatif atau studi kepustakaan dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Analisis terhadap bahan hukum dan isu menggunakan analisis deskriptif dan analisis wacana. Adapun dari hasil penelitian diketahui bahwa : Perkembangan sosial dan ekonomi yang begitu cepat menjadi tantangan bagi hukum dalam mengikuti langkah dan perubahannya. Sebagaimana terjadi dalam forex trading, uang dulu dikenal sebagai alat pembayaran justeru dalam perkembangan sosio-ekonomi uang menjadi suatu komoditas. Secara fungsi memang menjadi rancu ketika uang sebagai alat tukar menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan. Secara filosofis dan sosiologis maka diketahui sekarang ini uang bukan hanya menjadi ukuran tingkatan atau derajat seseorang dalam masyarakat tetapi uang juga menjadi sumber pendulang keuntungan yang diperoleh melalui margin dari nilai jual beli uang, namun disadari kegiatan forex trading merupakan bisnis yang beresiko tinggi. Dalam perspektif yuridis maka ketentuan yang ada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagai perubahan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1997 dan seperangkat peraturan yang ditetapkan BAPPEBTI dan Kemendag belum cukup mengakomodir kepentingan dan perlindungan pihak terkait khususnya berkenaan dengan hak dan kewajiban pialang dan nasabah serta berkenaan dengan penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan yang relatif lama. Sehingga ketentuan tersebut perlu ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Pergeseran orientasi perilaku sosial yang kapitalistik, materialistik dan individualitik menentukan lajunya perubahan perilaku yang harus dikendalikan agar sesuai dengan nilai pancasila dan UUD 1945, sehingga diperlukan regulasi hukum positif memadai dan penyesuaian dengan tuntunan syariah agar bagi masyarakat muslim hak-hak beragama mereka juga terpenuhi yang itu menjadi pedoman dalam menuntun dan melindungi kepentingan manusia dengan tujuan kebahagiaan dan kebermaknaan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
JUSTICE AND LEGAL SETTING ASIDE OF MARITAL PROPERTY: FULFILLMENT OF SUBSTANTIVE JUSTICE IN THE SETTLEMENT OF MARITAL PROPERTY DISPUTES THROUGH A PEACE AGREEMENT (AS-SULHU) Yusman, Muhammad; Al Amruzi, M. Fahmi; Wahidah, Wahidah
Proceeding International Seminar of Islamic Studies INSIS 6 (February 2024)
Publisher : Proceeding International Seminar of Islamic Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This paper discusses efforts to fulfill substantive justice by setting aside the applicable marital property law. The focus of the research lies on the practice of resolving disputes over the division of marital property by related parties (spouses or ex-spouses, and judges) who set aside the applicable marital property law through a peace agreement (As-Sulhu). This research has important significance because it raises issues that are quite sensitive in society, especially couples or ex-husbands and wives who experience disputes related to marital property. Optimizing dispute resolution through As-Sulhu is a step by judges in realizing substantive justice when deciding marital property disputes. The socio-legal legal research method is applied by deeply analyzing legal materials and explaining the legal context. Empirical data needed for a holistic picture is obtained through observation, interviews, and other methods according to research needs. Qualitative analysis with theoretical and juridical interpretation techniques was used. The results showed that the applicable regulations related to the division of marital property have not met the criteria of substantive justice. Therefore, the practice involves related parties (spouses or ex-spouses and judges) resolving marital property disputes by overriding existing legal provisions, seeking alternatives through As-Sulhu, and strengthening them with court decisions.
The Implementation of BAHUMA is Being Done for Micro and Small Businesses of Individual Limited Liability Companies in Banjarmasin City Syahrida, Syahrida; Yusman, Muhammad
International Journal of Southeast Asian Studies (IJSAS) Vol. 3 No. 1 (2023)
Publisher : Asean Study Center Lambung Mangkurat University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Banjarmasin is a city of a thousand rivers, the potential of Micro and Small Enterprises (MSEs) in a wetland environment, in its readiness to face the challenges of world free trade, adjusting to new regulations, namely the Job Creation Law (UUCK). to get solutions in terms of ease of obtaining capital to improve the economy by utilizing natural resources, creating jobs with a creative economy that can improve the welfare of the community. This research describes and analyzes from a juridical perspective the policy of the Banjarmasin City Government in empowering MSEs related to the implementation of Individual Limited Liability Companies based on UUCK. The results of the research showed that: The policy of the Banjarmasin City Government in empowering the economy for individual PT micro businesses is in the form of providing People's Business Credit (KUR) through the BAHUMA (Bausaha Tanpa Bunga/ Business Without Interest) program based only on the Cooperation Agreement with PT Bank Kalsel Banjarmasin City Branch on Strengthening Micro Business Capital through the BAHUMA (Bausaha Tanpa Bunga/Business Without Interest) program. The business capital facilitation policy is a policy aimed at MSEs in general and not only at MSEs in the form of Limited Liability Companies (PT). There is no Banjarmasin City Government policy in the form of regional regulations or mayoral regulations that provide ease of financing for Individual PT MSEs in Banjarmasin City.