Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Jurnal Anestesiologi Indonesia

Korelasi Kadar Prokalsitonin dan Jumlah Eosinofil pada Pasien Sepsis di Ruang Intensive Care Unit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Ruddi Hartono; Karmini Yupono; Yana Agung Satriasa; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.067 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.25713

Abstract

Latar Belakang: Sepsis merupakan suatu kondisi di mana terjadi ketidak seimbangan sistem pertahanan tubuh ketika terjadi infeksi. Prokalsitonin merupakan parameter baru yang  berperan penting dalam diagnosis klinis sepsis dan merupakan parameter yang paling akurat. Eosinopenia diketahui sebagai respons inflamasi tipe akut sehingga dapat digunakan sebagai salah satu penanda diagnosis sepsis.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional analitik untuk mengkaji hubungan antara prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian ini menggunakan data rekam medis 74 pasien sepsis yang diperiksa kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi Spearman (p<0.05) menggunakan software SPSS 16.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan jika ada korelasi yang kuat antara kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil (p= 0.000) dengan koefisien korelasi -0.610. Penderita sepsis memiliki kadar prokalsitonin yang berbanding terbalik dengan jumlah eosinofil.Kesimpulan: Eosinofil dibuktikan memiliki korelasi yang kuat dengan prokalsitonin. Eosinofil berpotensi menjadi alternatif biomarker diagnosis sepsis pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan kadar prokalsitonin.
Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Arie Zainul Fatoni; Isngadi Isngadi; Wiwi Jaya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v6i2.7718

Abstract

Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis 5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil.Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum.Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun yang menjalani operasi 1 – 3 jam dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05.Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%) mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Early Percutaneous Dilatational Tracheostomy pada Pasien COVID-19 dengan Gagal Napas: Laporan Kasus Ahmad Feza Fadhlurrahman; Rudy Vitraludyono; Taufiq Agus Siswagama; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.37286

Abstract

Latar belakang: Pasien kritis dengan infeksi coronavirus disease 2019 (COVID-19) memiliki kecenderungan untuk perawatan ventilasi mekanik dalam waktu yang lama. Perawatan dengan translaryngeal intubasi dalam waktu lama beserta penggunaan sedasi dan tindakan lainnya di intensive care unit (ICU) dapat memunculkan beberapa komplikasi lebih lanjut.Kasus: Pasien perempuan pascaoperasi sectio caesaria dengan gagal napas akibat infeksi COVID-19.  Pasien mendapat support high flow nasal canule (HFNC) di awal perawatan di ICU. 4 hari perawatan, kondisi distress napas pasien memberat dan dilakukan intubasi translaryngeal. Dari evaluasi kondisi pasien selama 4 hari perawatan dengan ventilasi mekanik, tim ICU memutuskan melakukan tracheostomy melalui pendekatan dilatasi perkutan. Prosedur dilakukan di ruang bertekanan negatif dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) level 3. Kondisi pasien berangsur mengalami perbaikan selama 7 hari perawatan dengan tracheostomy. Support ventilasi yang minimal, kebutuhan fraksi oksigen yg menurun dan perbaikan kondisi umum menjadi pertimbangan dilakukan dekanulasi. 3 hari pasca dekanulasi pasien dipindah rawat ke ruangan dengan kondisi stabil.Selama perawatan di ICU, pasien mendapat standar terapi berupa antiviral, antibiotik, antikoagulan, analgesik, steroid, dan obat penunjang lainnya.Pembahasan: Tindakan tracheostomy berhubungan dengan insiden pneumonia yang lebih rendah, penurunan penggunaan obat sedasi dan percepatan masa lepas rawat dari ventilasi mekanik. Early tracheostomy dilakukan sebelum hari ke-10 intubasi. Teknik dilatasi perkutan memiliki kelebihan atas efektifitas dan efisiensi biaya dan alat pendukung. Tindakan percutaneous dilatational tracheostomy (PDT) pada pasien COVID-19 harus dilakukan dengan proteksi tenaga medis yang optimal.Kesimpulan: Early tracheostomy dapat dipertimbangkan dalam tatalaksana pasien kritis COVID-19. Penilaian kondisi klinis pasien dan proteksi tenaga medis merupakan faktor utama menentukan tindakan early tracheostomy pada pasien COVID-19.
Diameter dan Indeks Inferior Vena Cava (IVC) Berkorelasi dengan Central Venous Pressure (CVP) pada Pasien Kritis yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit (ICU) Buyung Hartiyo Laksono; Arie Zainul Fatoni; Vilda Prasastri Yuwono; Aswoco Andyk Asmoro
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.33829

Abstract

Latar belakang: Pengukuran central venous pressure (CVP) merupakan salah satu metode guiding deresusitasi pada pasien dengan kasus tertentu. Kenaikan nilai CVP 1 mmHg dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian acute kidney injury (AKI). Namun sebagai sebuah metode yang invasif, pemasangan CVP memiliki risiko yang perlu diperhatikan. Di sisilain, pengukuran diameter dan indeks IVC yang bermuara di atrium kanan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) non-invasif dinilai mampu untuk memprediksi nilai CVP pada pasien. Namun beberapa penelitian hubungan antara CVP dengan diameter dan indeks IVC memberikan hasil yang kontroversial.Tujuan: Penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai CVP dengan diameter dan indeks IVC.Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional pada 30 pasien yang dilakukan ventilasi mekanik dan pemasangan CVC di unit perawatan intensif. Parameter CVP, diameter minimum dan maksimum inferior vein cava (IVC mak, IVC min), distensibillity index (DI-index), dan aortacaval index (Cava/Ao index) diukur. Data dianalisis menggunakan uji korelasi pada SPPS 18.0 (p<0.05).Hasil: Didapatkan korelasi signifikan antara CVP dan semua variabel yang diuji (IVC mak, IVC min, DI-index, dan Cava/Ao index) (p<0.05), dengan korelasi terkuat antara CVP dan IVC min (R= 0,908). Korelasi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.Kesimpulan: Parameter IVC min, IVC mak, Cava/Ao- index, dan DI-index signifikan berkorelasi kuat dengan CVP. Korelasi terjadi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.