Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia yang Berkunjung di RS Jiwa Muhammad Astro Perdana; Yolly Dahlia; Musyarrafah Musyarrafah; Dany Karmila; I Ketut Arya Santosa
Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Vol 12 No 3 (2022): Jurnal Ilmiah Permas: jurnal Ilmiah STIKES Kendal: Supp Juli 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.897 KB)

Abstract

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang masih menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Data Riskesdas 2018 bahwa terdapat 7 juta penduduk indonesia terkena Skizofrenia, dan NTB berada diposisi ketiga dengan kasus skizofrenia terbanyak setelah Bali, dan DIY. Peningkatan kasus Skizofrenia terjadi karena adanya kendala dalam upaya pengobatan, salah satunya yaitu adanya stigma buruk dalam keluarga. Adanya stigma buruk tersebut yang menuntut untuk peningkatan kualitas hidup dari pasien Skizofrenia. Kualitas hidup pasien Skizofrenia erat kaitannya dengan disabilitas yang dialaminya berupa perubahan kognitif dan persepsi dalam menjalani kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Dukungan Keluarga terhadap Kualitas Hidup pasien Skizofrenia yang berkunjung di RSJ Mutiara Sukma NTB. Penelitian ini dilakukan di RSJ Mutiara Sukma, NTB menggunakan desain analitik observasional, dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini menilai dukungan keluarga dan kualitas hidup pasien Skizofrenia dengan lembar kuesioner yang sudah di uji validasi dan realibitas sebelumnya. Sampel penelitian ini berjumlah 74 responden. Analisis data menggunakan SPSS Versi 23. Hasil dari penelitian ini didominasi oleh dukungan keluarga baik dan kualitas hidup pasien Skizofrenia yang baik (61,7%). Hasil analisis menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara Dukungan Keluarga terhadap Kualitas hidup Pasien Skizofrenia yang berkunjung di RSJ Mutiara Sukma NTB (P-value = 0,024, r = 0,231). Terdapat hubungan antara Dukungan Keluarga terhadap Kualitas Hidup pasien Skizofrenia yang berkunjung di RSJ Mutiara Sukma, NTB.
PERSPEKTIF BIOPSIKOSPIRITUAL PADA PASIEN PRURITUS SINE MATERIA SANTOSA, I KETUT ARYA; ARIANI, NI KETUT PUTRI; SETIONO, DENNIS PRISCILLA; TRISNOWATI, RINI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3433

Abstract

Pruritus Sine Materia is generalized pruritus without primary skin lession. It’s also catagorized as functional itch disorder or psychogenic pruritus. It is important to know the biopsychosociospiritual perspective as a psychiatrist in order to provide holistic therapy. Female, 40 years old, married, Moslem, lives in a boarding house, was consulted by a dermatovenerologist with Pruritus Sine Materia, complaints of itching without primary lesions since 3 months of marriage. She felt itchy in the local body area that is in contact with husband and his stuff. Skin test results are normal, without allergies. When she got married, she was surprised knowing that the husband's dog slept in the boarding room and on the mattress several times. There was saliva and dog urine on things in the room. The patient reminded his husband several times that they were Moslem, she hoped her husband would be aware of his behavior that was not according to religion. The patient is diagnosed with other somatoform disorder. She was prescribed antidepressant and benzodiazepine as pharmacological approach and got education, support, also behaviour therapies for her psychological capability to control the itch-scratch process. According to Islamic law, dogs are classified as extreme najis (mughallazhah), when they are exposed to sweat, saliva, feces and urine. Najis means ritually unclean, contact with it puts a Moslem in a state of impurity or disgust. The patient is faced with feelings of guilt because she does not carry out Islamic law properly. This causes negative religious coping related to the occurrence of anxiety and depression, which is a risk factor for psychogenic pruritus, Pruritus Sine Materia. It is important to understand the biopsychosociospiritual perspective to be able to determine the appropriate and holistic pharmacological and non-pharmacological treatment. ABSTRAKPruritus Sine Materia adalah pruritus generalisata tanpa lesi kulit primer. Ini juga dikategorikan sebagai gangguan gatal fungsional atau pruritus psikogenik. Pentingnya mengetahui pandangan biopsikosociospiritual sebagai seorang psikiater agar dapat memberikan terapi holistik. Sebuah studi kasus pada pasien wanita, 40 tahun, menikah, beragama Islam, tinggal di kos, berkonsultasi ke dokter kulit dengan Pruritus Sine Materia, keluhan gatal-gatal tanpa lesi primer sejak 3 bulan menikah. Dia merasa gatal di area tubuh yang bersentuhan dengan suami dan barang-barangnya. Hasil tes kulit normal, tanpa alergi. Saat menikah, ia terkejut mengetahui anjing milik suaminya beberapa kali tidur di kamar kos dan di kasur. Ada air liur dan urin anjing pada benda-benda di dalam ruangan. Pasien beberapa kali mengingatkan suaminya bahwa dirinya beragama Islam, ia berharap suaminya sadar akan perilakunya yang tidak sesuai agama. Pasien didiagnosis dengan gangguan somatoform lainnya. Dia diberi resep antidepresan dan benzodiazepin sebagai pendekatan farmakologis dan mendapatkan pendidikan, dukungan, serta terapi perilaku atas kemampuan psikologisnya dalam mengendalikan proses gatal-garuk. Menurut hukum Islam, anjing tergolong najis ekstrem (mughallazhah), jika terkena keringat, air liur, feses, dan urine. Najis berarti najis secara ritual, kontak dengan najis membuat seorang Muslim berada dalam keadaan najis atau jijik. Pasien dihadapkan pada perasaan bersalah karena tidak menjalankan syariat Islam dengan baik. Hal ini menyebabkan koping keagamaan yang negatif berhubungan dengan terjadinya kecemasan dan depresi yang merupakan faktor risiko terjadinya pruritus psikogenik, Pruritus Sine Materia. Penting untuk memahami perspektif biopsikosociospiritual untuk dapat menentukan pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis yang tepat dan holistik.
PSIKIATRI SPIRITUAL DAN RELIGI DALAM KONTEKS BEBAINAN: STUDI KASUS DI BALI TENTANG KERASUKAN DAN PENYEMBUHAN LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; SANTOSA, I KETUT ARYA; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; TRISNOWATI, RINI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 3 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3436

Abstract

Bebainan, a spiritual phenomenon unique to Bali, reflects the deep interconnection between mental health, religious beliefs, and supernatural perceptions in Balinese culture. Considered a form of spirit possession, bebainan is attributed to a bebai, a malevolent spirit invoked to harm an individual. This condition, marked by physical discomfort, altered consciousness, and uncharacteristic behaviors, is understood not as a medical disorder but as a spiritual affliction requiring intervention by traditional healers, or balian. This review explores bebainan within the context of spiritual and religious psychiatry, examining its symptoms, interpretation, and treatment through ritualistic healing methods. By comparing traditional Balinese approaches to Western psychiatric interpretations—where bebainan shares similarities with dissociative and possession-form disorders—this article underscores the importance of culturally sensitive psychiatric care. It argues that psychiatric frameworks should respect and incorporate religious practices, particularly for conditions perceived as spiritually influenced. Through analyzing case studies and healer perspectives, this review highlights bebainan as both a spiritual and mental health condition, suggesting that integrating psychiatric and spiritual care may offer more effective support for individuals with culture-bound syndromes. Such an approach encourages collaboration between mental health professionals and spiritual practitioners, offering a holistic model of care that honors cultural and spiritual beliefs while providing appropriate psychiatric support. This integration supports a more inclusive view of mental health that accommodates diverse belief systems, ultimately contributing to more empathetic and effective care. ABSTRAKBebainan, sebuah fenomena spiritual unik di Bali, mencerminkan keterkaitan yang mendalam antara kesehatan mental, keyakinan agama, dan persepsi supernatural dalam budaya Bali. Dianggap sebagai bentuk kerasukan roh, bebainan dikaitkan dengan bebai, roh jahat yang digunakan untuk menyakiti seseorang. Kondisi ini, yang ditandai dengan ketidaknyamanan fisik, perubahan kesadaran, dan perilaku yang tidak seperti biasanya, dipahami bukan sebagai kelainan medis tetapi sebagai penderitaan spiritual yang memerlukan intervensi oleh tabib tradisional, atau balian. Ulasan ini mengeksplorasi bebainan dalam konteks psikiatri spiritual dan religius, mengkaji gejala, interpretasi, dan pengobatannya melalui metode penyembuhan ritual. Dengan membandingkan pendekatan tradisional Bali dengan penafsiran psikiatrik Barat—di mana bebainan memiliki kesamaan dengan gangguan disosiatif dan kerasukan—artikel ini menggarisbawahi pentingnya perawatan psikiatri yang sensitif secara budaya. Argumennya adalah bahwa kerangka kerja psikiatris harus menghormati dan menggabungkan praktik keagamaan, khususnya untuk kondisi yang dianggap dipengaruhi secara spiritual. Melalui analisis studi kasus dan perspektif penyembuh, tinjauan ini menyoroti bebainan sebagai kondisi kesehatan spiritual dan mental, menunjukkan bahwa mengintegrasikan perawatan psikiatris dan spiritual dapat memberikan dukungan yang lebih efektif bagi individu dengan sindrom terikat budaya. Pendekatan seperti ini mendorong kolaborasi antara profesional kesehatan mental dan praktisi spiritual, menawarkan model perawatan holistik yang menghormati keyakinan budaya dan spiritual sekaligus memberikan dukungan psikiatris yang sesuai. Integrasi ini mendukung pandangan yang lebih inklusif mengenai kesehatan mental yang mengakomodasi beragam sistem kepercayaan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perawatan yang lebih berempati dan efektif.
PERAN NUNAS BAOS DALAM PROSES BERDUKA UMAT HINDU BALI: STUDI KASUS TERAPI RELIGIUS DAN SPIRITUAL ARIANI, NI KETUT PUTRI; SANTOSA, I KETUT ARYA; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; TRISNOWATI, RINI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3442

Abstract

Grieving the death of a loved one is a universal experience influenced by cultural and spiritual factors. In Balinese Hindu culture, death is perceived as a temporary separation of the soul from the physical body, which shapes the grieving process. A notable ritual practiced among Balinese Hindus is nunas baos, a ceremony that enables family members to communicate with the deceased through a spiritual intermediary. This case study focuses on a 35-year-old Balinese woman navigating her grief after her father’s death and explores the impact of nunas baos on her emotional healing. The ritual involves specific prayers, offerings, and the presence of a medium, facilitating a connection between the living and the deceased. Observations revealed that nunas baos significantly aided the woman in processing her emotions, fostering a sense of comfort and resolution. By allowing her to express feelings of loss and receive messages purportedly from her father, the ceremony provided a framework for understanding her grief and moving toward acceptance. This study highlights the role of nunas baos within the broader context of spiritual therapy, emphasizing its potential benefits for mental health practices that incorporate cultural and religious values. As such, nunas baos not only serves as a coping mechanism for bereavement but also underscores the importance of integrating spiritual rituals into therapeutic approaches to enhance emotional well-being in culturally diverse contexts. ABSTRAKBerduka atas kematian orang yang dicintai merupakan pengalaman universal yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan spiritual. Dalam budaya Hindu Bali, kematian dianggap sebagai pemisahan sementara jiwa dari tubuh fisik, yang membentuk proses berduka. Ritual penting yang dipraktikkan di kalangan umat Hindu Bali adalah nunas baos, sebuah upacara yang memungkinkan anggota keluarga berkomunikasi dengan almarhum melalui perantara spiritual. Studi kasus ini berfokus pada seorang wanita Bali berusia 35 tahun yang menjalani kesedihannya setelah kematian ayahnya dan mengeksplorasi dampak nunas baos terhadap penyembuhan emosionalnya. Ritual ini melibatkan doa khusus, persembahan, dan kehadiran medium, yang memfasilitasi hubungan antara yang hidup dan yang meninggal. Pengamatan mengungkapkan bahwa nunas baos secara signifikan membantu wanita dalam memproses emosinya, menumbuhkan rasa nyaman dan resolusi. Dengan mengizinkannya mengungkapkan perasaan kehilangan dan menerima pesan yang konon berasal dari ayahnya, upacara tersebut memberikan kerangka untuk memahami kesedihannya dan bergerak menuju penerimaan. Studi ini menyoroti peran nunas baos dalam konteks terapi spiritual yang lebih luas, menekankan potensi manfaatnya bagi praktik kesehatan mental yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan agama. Dengan demikian, nunas baos tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme mengatasi duka tetapi juga menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan ritual spiritual ke dalam pendekatan terapeutik untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dalam konteks budaya yang beragam.
The Relationship Between Academic Stress, Irritating Food and Beverage Consumption and Dietary Regularity to Incidence of Functional Dyspepsia Putra, Andry Cahaya; Utama, Lalu Buly Fatrahady; Azmi, Fahriana; Santosa, I Ketut Arya
Jurnal Biologi Tropis Vol. 25 No. 1 (2025): Januari - Maret
Publisher : Biology Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, University of Mataram, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jbt.v25i1.8425

Abstract

Anyone can have dyspepsia, a complaint that is frequently seen in clinical practice. Organic and functional dyspepsia are the two categories of dyspepsia cases. Functional dyspepsia accounts for the majority of dyspepsia cases. This study was conducted to determine the relationship between academic Stress, consumption of irritating food and beverages, and regularity of eating patterns on the occurrence of functional dyspepsia in first-year students of the Faculty of Teacher Education at Muhammadiyah University of Mataram. The research used an observational analytical quantitative method using a cross-sectional research design. Data collection was accomplished using simple random sampling using a questionnaire. 72 samples in total, based on inclusion and exclusion criteria, were used in this investigation. The data was gathered on September 2024. The chi-square test was used to examine data statistics. The findings demonstrated a substantial correlation (p-value = 0.001) between the incidence of functional dyspepsia and academic stress. A substantial correlation (p-value = 0.001) was found between the incidence of functional dyspepsia and the consumption of irritating foods and beverages. With a p-value of 0.001, there was a significant correlation between the frequency of functional dyspepsia and the regularity of eating behaviors. Conclusion: In first-year students at Muhammadiyah University of Mataram's Primary School Teacher Education Faculty, functional dyspepsia is associated with academic stress, the consumption of irritant foods and drinks, and regular eating habits.