Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

LITERATURE REVIEW : PROFIL KEPRIBADIAN BERDASARKAN PSIKOMETRI PADA GANGGUAN PENYALAHGUNAAN ZAT HARIANDJA, SAHAT HAMONANGAN; ARYANI, LUH NYOMAN ALIT; MAHARDIKA, I KOMANG ANA
KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Vol. 4 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/knowledge.v4i2.3266

Abstract

This study aims to determine the personality profile based on the results of psychometric tests as outcome predictor on substance abuse disorders. The method used is a systematic review conducted through a literature search on Google Scholar, Science Direct and Pubmed databases published in the last 5 years. Journal searches were carried out using the keywords “Personality Profile”, “Drug Addiction”, “Substance Use Disorder” and “Adolescents”. There are 6 search results articles that will be analyzed after using the manual screening article selection technique with reference to the inclusion and exclusion criteria. Searches obtained from Google Scoolar were 10 articles, Science Direct 18 and those obtained from the Pubmed database were 16 articles so that the results from the two databases were 44 articles. After screening, there were 26 articles that were not full text. Journals that did not meet the inclusion criteria were 12 articles, so that a complete article was obtained which was assessed for eligibility as many as 6 articles. Certain personality profiles are associated with dropout and relapse in substance use disorders. Almost all of the psychometric testing shown capability to differentiate substance abuse disorders with general population, with significant difference. Different types of psychometrics show that some personality traits have significant differences between groups with substance abuse versus the normal population, or differences between groups with opioids versus alcohol. Consistently from various psychometric tests conducted on diverse populations, it can be concluded that evaluation of personality traits should be the initial basic management for clients with substance use disorders and can be a predictor of dropout and relapse. ABSTRAKPenulisan ini bertujuan untuk mengetahui profil kepribadian berdasarkan hasil uji psikometri sebagai Prediktor Luaran Klinis pada Gangguan Penyalahgunaan Zat. Metode yang digunakan adalah tinjauan sistematis yang dilakukan melalui pencarian literatur pada database Google Scholar, Science Direct dan Pubmed yang diterbitkan 5 tahun terakhir. Pencarian jurnal dilakukan dengan menggunakan keyword “Personality Profile”, “Drug Addiction”, “Substance Use Disorder” dan “Adolescents”. Terdapat 8 artikel hasil pencarian yang akan di analisis dengan teknik penyeleksian artikel secara manual screening dengan mengacu pada kriteria inklusi dan ekslusi. Pencarian yang di dapatkan dari Google Scoolar sebanyak 10 artikel, Science Direct 18 dan yang didapatkan pada database Pubmed sebanyak 16 artikel sehingga hasil dari dua database yaitu sebanyak 44 artikel. Setelah diskirining didapatkan 26 artikel yang tidak full text. Jurnal yang tidak sesuai kriteria inklusi sebanyak 12 artikel, sehingga didapatkan artikel lengkap yang dinilai kelayakannya sebanyak 6 artikel. Profil Kepribadian tertentu berkaitan dengan kejadian dropout dan relapse pada gangguan penyalahgunaan zat. Hampir semua tes psikometri menunjukkan kemampuan untuk membedakan gangguan penyalahgunaan zat dan populasi umum dengan signifikan. Berbagai jenis psikometri menunjukkan beberapa ciri kepribadian memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan penyalahgunaan zat dibandingkan populasi normal, atau perbedaan antara kelompok dengan opioid dibandingkan alkohol. Secara konsisten dari berbagai tes psikometri yang dilakukan pada populasi yang beragam dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi ciri kepribadian harus menjadi tatalaksana dasar awal bagi klien dengan gangguan penyalahgunaan zat dan dapat menjadi prediktor terjadinya dropout dan relapse.
PERSPEKTIF BIOPSIKOSPIRITUAL PADA PASIEN PRURITUS SINE MATERIA SANTOSA, I KETUT ARYA; ARIANI, NI KETUT PUTRI; SETIONO, DENNIS PRISCILLA; TRISNOWATI, RINI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3433

Abstract

Pruritus Sine Materia is generalized pruritus without primary skin lession. It’s also catagorized as functional itch disorder or psychogenic pruritus. It is important to know the biopsychosociospiritual perspective as a psychiatrist in order to provide holistic therapy. Female, 40 years old, married, Moslem, lives in a boarding house, was consulted by a dermatovenerologist with Pruritus Sine Materia, complaints of itching without primary lesions since 3 months of marriage. She felt itchy in the local body area that is in contact with husband and his stuff. Skin test results are normal, without allergies. When she got married, she was surprised knowing that the husband's dog slept in the boarding room and on the mattress several times. There was saliva and dog urine on things in the room. The patient reminded his husband several times that they were Moslem, she hoped her husband would be aware of his behavior that was not according to religion. The patient is diagnosed with other somatoform disorder. She was prescribed antidepressant and benzodiazepine as pharmacological approach and got education, support, also behaviour therapies for her psychological capability to control the itch-scratch process. According to Islamic law, dogs are classified as extreme najis (mughallazhah), when they are exposed to sweat, saliva, feces and urine. Najis means ritually unclean, contact with it puts a Moslem in a state of impurity or disgust. The patient is faced with feelings of guilt because she does not carry out Islamic law properly. This causes negative religious coping related to the occurrence of anxiety and depression, which is a risk factor for psychogenic pruritus, Pruritus Sine Materia. It is important to understand the biopsychosociospiritual perspective to be able to determine the appropriate and holistic pharmacological and non-pharmacological treatment. ABSTRAKPruritus Sine Materia adalah pruritus generalisata tanpa lesi kulit primer. Ini juga dikategorikan sebagai gangguan gatal fungsional atau pruritus psikogenik. Pentingnya mengetahui pandangan biopsikosociospiritual sebagai seorang psikiater agar dapat memberikan terapi holistik. Sebuah studi kasus pada pasien wanita, 40 tahun, menikah, beragama Islam, tinggal di kos, berkonsultasi ke dokter kulit dengan Pruritus Sine Materia, keluhan gatal-gatal tanpa lesi primer sejak 3 bulan menikah. Dia merasa gatal di area tubuh yang bersentuhan dengan suami dan barang-barangnya. Hasil tes kulit normal, tanpa alergi. Saat menikah, ia terkejut mengetahui anjing milik suaminya beberapa kali tidur di kamar kos dan di kasur. Ada air liur dan urin anjing pada benda-benda di dalam ruangan. Pasien beberapa kali mengingatkan suaminya bahwa dirinya beragama Islam, ia berharap suaminya sadar akan perilakunya yang tidak sesuai agama. Pasien didiagnosis dengan gangguan somatoform lainnya. Dia diberi resep antidepresan dan benzodiazepin sebagai pendekatan farmakologis dan mendapatkan pendidikan, dukungan, serta terapi perilaku atas kemampuan psikologisnya dalam mengendalikan proses gatal-garuk. Menurut hukum Islam, anjing tergolong najis ekstrem (mughallazhah), jika terkena keringat, air liur, feses, dan urine. Najis berarti najis secara ritual, kontak dengan najis membuat seorang Muslim berada dalam keadaan najis atau jijik. Pasien dihadapkan pada perasaan bersalah karena tidak menjalankan syariat Islam dengan baik. Hal ini menyebabkan koping keagamaan yang negatif berhubungan dengan terjadinya kecemasan dan depresi yang merupakan faktor risiko terjadinya pruritus psikogenik, Pruritus Sine Materia. Penting untuk memahami perspektif biopsikosociospiritual untuk dapat menentukan pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis yang tepat dan holistik.
PSIKIATRI SPIRITUAL DAN RELIGI DALAM KONTEKS BEBAINAN: STUDI KASUS DI BALI TENTANG KERASUKAN DAN PENYEMBUHAN LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; SANTOSA, I KETUT ARYA; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; TRISNOWATI, RINI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 3 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3436

Abstract

Bebainan, a spiritual phenomenon unique to Bali, reflects the deep interconnection between mental health, religious beliefs, and supernatural perceptions in Balinese culture. Considered a form of spirit possession, bebainan is attributed to a bebai, a malevolent spirit invoked to harm an individual. This condition, marked by physical discomfort, altered consciousness, and uncharacteristic behaviors, is understood not as a medical disorder but as a spiritual affliction requiring intervention by traditional healers, or balian. This review explores bebainan within the context of spiritual and religious psychiatry, examining its symptoms, interpretation, and treatment through ritualistic healing methods. By comparing traditional Balinese approaches to Western psychiatric interpretations—where bebainan shares similarities with dissociative and possession-form disorders—this article underscores the importance of culturally sensitive psychiatric care. It argues that psychiatric frameworks should respect and incorporate religious practices, particularly for conditions perceived as spiritually influenced. Through analyzing case studies and healer perspectives, this review highlights bebainan as both a spiritual and mental health condition, suggesting that integrating psychiatric and spiritual care may offer more effective support for individuals with culture-bound syndromes. Such an approach encourages collaboration between mental health professionals and spiritual practitioners, offering a holistic model of care that honors cultural and spiritual beliefs while providing appropriate psychiatric support. This integration supports a more inclusive view of mental health that accommodates diverse belief systems, ultimately contributing to more empathetic and effective care. ABSTRAKBebainan, sebuah fenomena spiritual unik di Bali, mencerminkan keterkaitan yang mendalam antara kesehatan mental, keyakinan agama, dan persepsi supernatural dalam budaya Bali. Dianggap sebagai bentuk kerasukan roh, bebainan dikaitkan dengan bebai, roh jahat yang digunakan untuk menyakiti seseorang. Kondisi ini, yang ditandai dengan ketidaknyamanan fisik, perubahan kesadaran, dan perilaku yang tidak seperti biasanya, dipahami bukan sebagai kelainan medis tetapi sebagai penderitaan spiritual yang memerlukan intervensi oleh tabib tradisional, atau balian. Ulasan ini mengeksplorasi bebainan dalam konteks psikiatri spiritual dan religius, mengkaji gejala, interpretasi, dan pengobatannya melalui metode penyembuhan ritual. Dengan membandingkan pendekatan tradisional Bali dengan penafsiran psikiatrik Barat—di mana bebainan memiliki kesamaan dengan gangguan disosiatif dan kerasukan—artikel ini menggarisbawahi pentingnya perawatan psikiatri yang sensitif secara budaya. Argumennya adalah bahwa kerangka kerja psikiatris harus menghormati dan menggabungkan praktik keagamaan, khususnya untuk kondisi yang dianggap dipengaruhi secara spiritual. Melalui analisis studi kasus dan perspektif penyembuh, tinjauan ini menyoroti bebainan sebagai kondisi kesehatan spiritual dan mental, menunjukkan bahwa mengintegrasikan perawatan psikiatris dan spiritual dapat memberikan dukungan yang lebih efektif bagi individu dengan sindrom terikat budaya. Pendekatan seperti ini mendorong kolaborasi antara profesional kesehatan mental dan praktisi spiritual, menawarkan model perawatan holistik yang menghormati keyakinan budaya dan spiritual sekaligus memberikan dukungan psikiatris yang sesuai. Integrasi ini mendukung pandangan yang lebih inklusif mengenai kesehatan mental yang mengakomodasi beragam sistem kepercayaan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perawatan yang lebih berempati dan efektif.
PENILAIAN PSIKOMETRI TERHADAP PROFIL KEPRIBADIAN DAN KEPARAHAN KETERGANTUNGAN PADA KLIEN REHABILITASI NAPZA KURNIAWAN, I GDE YUDHI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; ARYANI, LUH NYOMAN ALIT; WIJAYA, IDA BAGUS JENDRA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3439

Abstract

The Minnesota Multiphasic Personality Inventory-180 (MMPI-180) test is used to get a picture of the personality of a drug addiction client. The severity of the client's addiction is evaluated through the Addiction Severity Index (ASI). This study aims to see the relationship between the client's personality and the problem domain in ASI to the severity of client addiction. The research design is cross-sectional research with a retrospective approach. The research sample was all clients who underwent Inpatient Drug Medical Rehabilitation from January 2021 to December 2021 by the inclusion and exclusion criteria and then analyzed statistically univariate and correlatable bivariate. The research sample was 37 male clients with an average hospitalization day of 84 days. All clients underwent an assessment with an ASI form for 6 domains. The average level of problems in the medical domain was 1.75, the occupational domain was 3.18, the drug addiction domain was 4.08, the legal aspect domain was 1.32, the family domain was 2.27, and the clinical psychiatry domain was 2.54. The client's personality profile obtained an average score of 52 overall positive intelligence quotient, and there was an overview of higher order, restructured clinical, potential psychological function, and psychopathology. A significant moderate relationship was found between the family problem domain and drug addiction severity with r: 0.429 (p: 0.008). There is a significant moderate relationship between the domain of family problems and the severity of drug addiction of clients undergoing drug medical rehabilitation at the Bali Provincial Mental Hospital. ABSTRAKTes Minnesota Multiphasic Personality Inventory-180 (MMPI-180) digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang kepribadian klien kecanduan narkoba. Tingkat keparahan kecanduan klien dievaluasi melalui Addiction Severity Index (ASI). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepribadian klien dan domain masalah dalam ASI terhadap keparahan kecanduan klien. Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan pendekatan retrospektif. Sampel penelitian adalah semua klien yang menjalani Rehabilitasi Medis Narkoba Rawat Inap dari Januari 2021 hingga Desember 2021 berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dianalisis secara statistik univariat dan bivariat yang dapat dikorelasikan. Sampel penelitian terdiri dari 37 klien laki-laki dengan rata-rata hari dirawat inap sebanyak 84 hari. Semua klien menjalani penilaian dengan formulir ASI untuk 6 domain. Rata-rata tingkat masalah pada domain medis adalah 1,75, domain pekerjaan adalah 3,18, domain kecanduan narkoba adalah 4,08, domain aspek hukum adalah 1,32, domain keluarga adalah 2,27, dan domain psikiatri klinis adalah 2,54. Profil kepribadian klien memperoleh rata-rata skor 52 pada indeks kecerdasan positif secara keseluruhan, dengan gambaran tentang fungsi psikologis yang terstruktur ulang, potensi, dan psikopatologi. Ditemukan hubungan moderat yang signifikan antara domain masalah keluarga dan keparahan kecanduan narkoba dengan r: 0,429 (p: 0,008). Terdapat hubungan moderat yang signifikan antara domain masalah keluarga dan keparahan kecanduan narkoba klien yang menjalani rehabilitasi medis narkoba di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
PERAN NUNAS BAOS DALAM PROSES BERDUKA UMAT HINDU BALI: STUDI KASUS TERAPI RELIGIUS DAN SPIRITUAL ARIANI, NI KETUT PUTRI; SANTOSA, I KETUT ARYA; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; TRISNOWATI, RINI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3442

Abstract

Grieving the death of a loved one is a universal experience influenced by cultural and spiritual factors. In Balinese Hindu culture, death is perceived as a temporary separation of the soul from the physical body, which shapes the grieving process. A notable ritual practiced among Balinese Hindus is nunas baos, a ceremony that enables family members to communicate with the deceased through a spiritual intermediary. This case study focuses on a 35-year-old Balinese woman navigating her grief after her father’s death and explores the impact of nunas baos on her emotional healing. The ritual involves specific prayers, offerings, and the presence of a medium, facilitating a connection between the living and the deceased. Observations revealed that nunas baos significantly aided the woman in processing her emotions, fostering a sense of comfort and resolution. By allowing her to express feelings of loss and receive messages purportedly from her father, the ceremony provided a framework for understanding her grief and moving toward acceptance. This study highlights the role of nunas baos within the broader context of spiritual therapy, emphasizing its potential benefits for mental health practices that incorporate cultural and religious values. As such, nunas baos not only serves as a coping mechanism for bereavement but also underscores the importance of integrating spiritual rituals into therapeutic approaches to enhance emotional well-being in culturally diverse contexts. ABSTRAKBerduka atas kematian orang yang dicintai merupakan pengalaman universal yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan spiritual. Dalam budaya Hindu Bali, kematian dianggap sebagai pemisahan sementara jiwa dari tubuh fisik, yang membentuk proses berduka. Ritual penting yang dipraktikkan di kalangan umat Hindu Bali adalah nunas baos, sebuah upacara yang memungkinkan anggota keluarga berkomunikasi dengan almarhum melalui perantara spiritual. Studi kasus ini berfokus pada seorang wanita Bali berusia 35 tahun yang menjalani kesedihannya setelah kematian ayahnya dan mengeksplorasi dampak nunas baos terhadap penyembuhan emosionalnya. Ritual ini melibatkan doa khusus, persembahan, dan kehadiran medium, yang memfasilitasi hubungan antara yang hidup dan yang meninggal. Pengamatan mengungkapkan bahwa nunas baos secara signifikan membantu wanita dalam memproses emosinya, menumbuhkan rasa nyaman dan resolusi. Dengan mengizinkannya mengungkapkan perasaan kehilangan dan menerima pesan yang konon berasal dari ayahnya, upacara tersebut memberikan kerangka untuk memahami kesedihannya dan bergerak menuju penerimaan. Studi ini menyoroti peran nunas baos dalam konteks terapi spiritual yang lebih luas, menekankan potensi manfaatnya bagi praktik kesehatan mental yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan agama. Dengan demikian, nunas baos tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme mengatasi duka tetapi juga menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan ritual spiritual ke dalam pendekatan terapeutik untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dalam konteks budaya yang beragam.
ASPEK PSIKIATRI TRADISI OMED OMEDAN DI BANJAR KAJA, KELURAHAN SESETAN, KOTA DENPASAR KUSUMADEWA, BAGUS SURYA; KURNIAWAN, I GDE YUDHI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3443

Abstract

The Omed-Omedan tradition is a unique cultural practice originating from Banjar Kaja, Denpasar, Bali. Held annually the day after Nyepi, this tradition involves young men and women in a ritual of mutual pulling, believed to strengthen communal bonds and foster community mental resilience. This study aims to explore the psychiatric aspects of the Omed-Omedan tradition, highlighting the social, emotional, and spiritual impacts of participation in this activity. Beyond fostering closeness among residents, the tradition serves as a means for individuals to develop self-control, identity, and maturity. A holistic cultural psychiatry approach is applied to understand the tradition's influence on participants' mental health. ABSTRAKTradisi Omed-Omedan merupakan salah satu tradisi unik yang berasal dari Banjar Kaja, Denpasar, Bali. Dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi, tradisi ini melibatkan pemuda-pemudi dalam ritual tarik-menarik yang diyakini dapat mempererat kebersamaan dan menguatkan mentalitas komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi aspek psikiatri yang terdapat dalam tradisi Omed-Omedan, serta menyoroti dampak sosial, emosional, dan spiritual dari partisipasi dalam kegiatan ini. Tradisi ini tidak hanya menciptakan kedekatan antarwarga tetapi juga melatih pengendalian diri serta menumbuhkan identitas dan kedewasaan pada pesertanya. Pendekatan psikiatri budaya yang holistik diterapkan untuk memahami pengaruh tradisi ini terhadap kesehatan mental peserta.
PENILAIAN SKOR PANSS DAN WHOQOL-BREF PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN REGIMEN PENGOBATAN ANTIPSIKOTIK YANG BERBEDA: STUDI DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI ARYDA, LUH NYOMAN TRIWIDAYANI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; KUSUMADEWA, BAGUS SURYA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3846

Abstract

Schizophrenia is a complex mental disorder that affects thoughts, perceptions, emotions, and behaviors, having a significant impact on individuals, families, and health systems. This study aims to evaluate the relationship between demographic characteristics, schizophrenia subtypes, comorbidities, and antipsychotic treatment regimens with the severity of schizophrenia symptoms using the PANSS scale and the quality of life of patients using WHOQOL-BREF. The study was conducted descriptively analytically with a cross-sectional approach on 88 schizophrenia patients at the Bali Mental Hospital. The results showed that the majority of patients were in the normal PANSS category (55.7%) and had quality of life at the intermediate functioning level (58%). Gender factors and comorbidities had a significant relationship with PANSS scores, while schizophrenia subtype factors and treatment regimen did not show a significant effect. Patients without comorbidities and using a combination of more than two antipsychotics tend to have a better quality of life. These findings emphasize the importance of a multidisciplinary approach, including comorbidity management, to improve clinical outcomes and quality of life of schizophrenia patients. ABSTRAKSkizofrenia merupakan gangguan mental kompleks yang memengaruhi pikiran, persepsi, emosi, dan perilaku, memberikan dampak signifikan pada individu, keluarga, dan sistem kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara karakteristik demografi, subtipe skizofrenia, penyakit penyerta, dan regimen pengobatan antipsikotik dengan keparahan gejala skizofrenia menggunakan skala PANSS serta kualitas hidup pasien menggunakan WHOQOL-BREF. Studi dilakukan secara deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional terhadap 88 pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bali. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas pasien berada dalam kategori PANSS normal (55,7%) dan memiliki kualitas hidup pada tingkat intermediate functioning (58%). Faktor jenis kelamin dan penyakit penyerta memiliki hubungan signifikan terhadap skor PANSS, sedangkan faktor subtipe skizofrenia dan regimen pengobatan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Pasien tanpa penyakit penyerta dan menggunakan kombinasi lebih dari dua antipsikotik cenderung memiliki kualitas hidup lebih baik. Temuan ini menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin, termasuk pengelolaan komorbiditas, untuk meningkatkan hasil klinis dan kualitas hidup pasien skizofrenia.
GANGGUAN CAMPURAN CEMAS DAN DEPRESI PADA PASIEN PEMFIGUS FOLIACEUS: LAPORAN KASUS DENGAN PENDEKATAN PSIKIATRI LIAISON Kosim, Hartono; Wardani, Ida Aju Kusuma; Ariani, Ni Ketut Putri; Mahardika, I Komang Ana
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i1.5120

Abstract

Pemphigus foliaceus is a chronic autoimmune disease that attacks the superficial layers of the epidermis, causing painful and aesthetically disturbing skin lesions. In addition to physical impacts, this disease can also trigger psychological disorders such as mixed anxiety and depressive disorders, which are often unrecognized by medical personnel. This report discusses the case of a 45-year-old female patient with active pemphigus foliaceus, who presented with complaints of excessive anxiety, depressed mood, insomnia, and decreased social function. The diagnosis was made as mixed anxiety and depressive disorder (F41.2, PPDGJ III). The Consultation-Liaison Psychiatry (CLP) approach was applied, including pharmacological interventions in the form of selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) and benzodiazepines, as well as non-pharmacological interventions such as supportive psychotherapy, relaxation techniques, and psychoeducation. The CLP approach emphasizes collaboration between dermatologists and psychiatrists for comprehensive treatment. This multidisciplinary management has been proven effective in improving the clinical prognosis and quality of life of patients with dermatological and psychiatric comorbidities. Early detection and integration of mental health services are essential for optimal therapy outcomes. ABSTRAKPemfigus foliaceus merupakan penyakit autoimun kronis yang menyerang lapisan superfisial epidermis, menyebabkan lesi kulit yang nyeri dan mengganggu penampilan. Selain dampak fisik, penyakit ini juga dapat memicu gangguan psikologis seperti gangguan campuran cemas dan depresi, yang sering tidak dikenali oleh tenaga medis. Laporan ini membahas kasus seorang pasien perempuan berusia 45 tahun dengan pemfigus foliaceus aktif, yang datang dengan keluhan cemas berlebihan, suasana hati depresif, insomnia, serta penurunan fungsi sosial. Diagnosis ditegakkan sebagai gangguan campuran cemas dan depresi (F41.2, PPDGJ III). Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry (CLP) diterapkan, mencakup intervensi farmakologis berupa selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan benzodiazepin, serta intervensi nonfarmakologis seperti psikoterapi suportif, teknik relaksasi, dan psikoedukasi. Pendekatan CLP menekankan kolaborasi antara spesialis dermatologi dan psikiatri untuk penanganan komprehensif. Penatalaksanaan multidisipliner ini terbukti efektif dalam meningkatkan prognosis klinis dan kualitas hidup pasien dengan komorbiditas dermatologis dan psikiatris. Deteksi dini dan integrasi layanan kesehatan jiwa sangat penting untuk hasil terapi yang optimal.
FEAR OF BREATHING, FEAR OF DEPENDENCE: LAPORAN KASUS GANGGUAN ANXIETAS ORGANIK PADA PASIEN MYASTHENIA GRAVIS PASCATIMEKTOMI DENGAN KETERGANTUNGAN VENTILATOR Karouw, Grace Venny Febe; Kurniawan, Lely Setyawati; Aryani, Luh Nyoman Alit; Mahardika, I Komang Ana
CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/cendekia.v5i3.6613

Abstract

Patients with Myasthenia Gravis (MG) undergoing thymectomy are at risk of developing postoperative respiratory complications requiring mechanical ventilation. This dependence may lead to severe paradoxical anxiety, characterized by both fear of breathing (anxiety about ventilator removal) and fear of dependence (fear of lifelong reliance on mechanical support). This narrative review analyzed recent literature from the past decade, focusing on neuropsychiatric perspectives of ventilator dependence in MG patients. Fear of breathing involves hyperactivation of brain structures such as the amygdala and insular cortex, resulting in anticipatory dyspnea. Fear of dependence stems from existential anxiety linked to loss of autonomy and identity, mediated by dysregulation in the ventromedial prefrontal cortex and default mode network. These fears contribute to a maladaptive cycle involving learned helplessness and avoidance behavior. Early psychiatric evaluation, cognitive behavioral therapy (CBT), and low-dose SSRI pharmacotherapy have shown promising outcomes. Multidisciplinary collaboration is essential to optimize psychophysical recovery and reduce ICU length of stay. Paradoxical respiratory anxiety in MG patients presents a significant barrier to ventilator weaning and recovery. Integrated psychiatric interventions are crucial to address both physiological and psychological needs, ensuring holistic care in critical settings. ABSTRAKPasien dengan Myasthenia Gravis (MG) yang menjalani tindakan timektomi sering menghadapi komplikasi pernapasan yang memerlukan dukungan ventilator. Ketergantungan ini dapat memunculkan kecemasan berat yang paradoksal, yakni rasa takut saat ventilator dilepas (fear of breathing) dan kecemasan terhadap ketergantungan jangka panjang pada alat bantu napas (fear of dependence). Studi tinjauan pustaka menggunakan literatur dari jurnal internasional yang terbit dalam 10 tahun terakhir, dengan fokus pada aspek neuropsikiatri pasien MG dengan ventilator dependence. Fear of breathing melibatkan disregulasi sistem saraf pusat (amigdala, insula, prefrontal cortex) yang memperkuat anticipatory dyspnea. Sementara itu, fear of dependence muncul dari ketakutan eksistensial akan kehilangan otonomi dan harga diri. Kedua bentuk kecemasan ini memperburuk prognosis melalui siklus learned helplessness dan anxiety-avoidance. Pendekatan psikiatri berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT), farmakoterapi selektif, dan keterlibatan tim multidisiplin telah terbukti mempercepat pemulihan. Kecemasan respiratorik paradoksal merupakan tantangan penting dalam perawatan pasien MG. Intervensi psikiatri terintegrasi diperlukan untuk mendukung keberhasilan weaning dan menjaga kesehatan mental pasien.
HUBUNGAN KUALITAS HIDUP DAN TINGKAT KEBAHAGIAAN PADA KLIEN TERAPI RUMATAN METADON DI POLIKLINIK ADIKSI RS NGOERAH Ayustama, Fariza; Lesmana, Cokorda Bagus Jaya; Aryani, Luh Nyoman Alit; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Mahardika, I Komang Ana
CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/cendekia.v5i3.6615

Abstract

Methadone Maintenance Therapy (MMT) has been proven effective in reducing the risk of opioid relapse. However, psychosocial aspects such as happiness and quality of life are still rarely addressed as indicators of therapeutic success. To assess the relationship between quality of life (WHOQOL-BREF) and happiness level (Oxford Happiness Questionnaire/OHQ) among MMT clients in Bali Province. This study employed an analytical observational design with a cross-sectional approach. A total of 36 respondents from four MMT institutions in Bali were selected purposively. Pearson correlation, chi-square, and multiple linear regression analyses were conducted. The mean total quality of life score (WHOQOL-BREF) was 118.53 ± 12.77, and the mean happiness score (OHQ) was 101.17 ± 15.67. Significant correlations were found between the psychological domain and happiness (r = 0.521; p = 0.001), the environmental domain (r = 0.415; p = 0.012), and the social domain (r = 0.336; p = 0.045). The physical domain was not significantly associated (r = 0.239; p = 0.161). In the multivariate analysis, significant predictors of happiness were marital status (B = -4.589; p = 0.004), duration of methadone use (B = 1.791; p = 0.007), and the psychological domain (B = 0.490; p = 0.022). The model's R² was 0.635, indicating a strong predictive contribution of these variables. There is a significant relationship between quality-of-life scores in the psychological, environmental and social domains with happiness scores. The control variables in the marital status and length of methadone use were significantly related to happiness scores in the multivariate model. The PTRM program needs to integrate supportive psychological, social and environmental approaches as part of holistic recovery. ABSTRAKProgram Terapi Rumatan Metadon (PTRM) terbukti efektif dalam menurunkan risiko kekambuhan opioid. Namun, indikator keberhasilan terapi belum banyak menyoroti aspek psikososial seperti kebahagiaan dan kualitas hidup. Menilai hubungan antara kualitas hidup (WHOQOL-BREF) dan tingkat kebahagiaan (Oxford Happiness Questionnaire/OHQ) pada klien PTRM di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sebanyak 36 responden dari empat institusi PTRM di Bali dipilih secara purposif. Analisis korelasi Pearson, chi-square, dan regresi linear multivariat digunakan. Skor rata-rata kualitas hidup (WHOQOL-BREF total) adalah 118,53 ± 12,77, sedangkan skor kebahagiaan (OHQ) adalah 101,17 ± 15,67. Terdapat korelasi signifikan antara domain psikologis dengan kebahagiaan (r = 0,521; p = 0,001), domain lingkungan (r = 0,415; p = 0,012), dan domain sosial (r = 0,336; p = 0,045). Domain fisik tidak menunjukkan hubungan bermakna (r = 0,239; p = 0,161). Dalam analisis multivariat, variabel yang berhubungan signifikan terhadap kebahagiaan adalah status perkawinan (B = -4,589; p = 0,004), lama penggunaan metadon (B = 1,791; p = 0,007), dan domain psikologis (B = 0,490; p = 0,022). R² model sebesar 0,635 menunjukkan kontribusi variabel-variabel prediktor terhadap kebahagiaan cukup kuat. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor kualitas hidup pada domain psikologis, lingkungan dan sosial dengan skor kebahagiaan. Variabel kendali berupa perkawinan dan lama penggunaan metadon berhubungan signifikan terhadap skor kebahagiaan dalam model multivariat. Program PTRM perlu mengintegrasikan pendekatan psikologis, sosial dan lingkungan yang mendukung sebagai bagian dari pemulihan holistik.