Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : LEX PRIVATUM

PRAKTIK KONVENSI KETATANEGARAAN TERHADAP MASA JABATAN JAKSA AGUNG DI INDONESIA Rivana Tesalonika Taroreh; Donald A. Rumokoy; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimana eksistensi konvensi ketatanegaraan di Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana pengaturan masa jabatan Jaksa Agung di Indonesia dalam perspektif Konvensi Ketatanegaraan. Perlu dipahami bahwa praktik-praktik dalam bernegara terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, hadirnya suatu konstitusi adalah sebagai pemenuhan kebutuhan dari masyarakat. Konstitusi menggambarkan karakteristik dari setiap negara juga berfungsi untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi terbagi dua pemahaman yaitu antara konstitusi secara sempit (mencakup konstitusi tertulis saja) dan secara luas (mencakup konstitusi tertulis dan tidak tertulis). Perkembangan ilmu hukum tata negara yang menempatkan pandangan terkait hukum konstitusi cenderung lebih memberikan perhatian khusus kepada konstitusi tertulis yang dianggap sebagai sesuatu yang lebih di atas tingkatannya dibandingkan konstitusi tidak tertulis, padahal kedua hal tersebut merupakan bagian yang penting dalam konstitusi. Hadirnya konvensi ketatanegaraan sebagaimana fungsinya sebagai pelengkap aturan tertulis, seperti ketika konvensi ketatanegaraan hadir untuk memenuhi kebutuhan dari masa jabatan Jaksa Agung. Maka konvensi ketatanegaraan merupakan bagian yang penting dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Kemudian pada tahun 2010, permasalahannya yaitu diajukan suatu pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 22 ayat (1) huruf (d) “berakhirnya masa jabatan” bahwa pasal tersebut menimbulkan multitafsir. Maka di uji pada Mahkamah Konstitusi terkait masa jabatan Jaksa Agung, setelah melewati proses pengujian maka berada pada akhir dari kesimpulan pemikiran hakim yang dituangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut didasarkan pada konvensi ketatanegaraan artinya konvensi ketatanegaraan dijadikan sebagai sarana penafsiran. Hal ini menunjukkan bahwa konvensi ketatanegaraan mempunyai eksistensi yang kokoh dalam penyelenggaraan negara sebagaimana fungsi dari konvensi ketatanegaraan. Kata kunci : Konvensi Ketatanegaraan, Masa Jabatan Jaksa Agung, Putusan MK RI Nomor 49/PUU-VIII/2010
Penerapan Praktik Inkonstitusional Bersyarat Di Mahkamah Konstitusi Efer Musa Tamungku; Donald A. Rumokoy; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan praktik inkonstitusional bersyarat di Mahkamah Konstitusi serta implikasi hukumnya. Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri pada Tahun 2003 di Republik Indonesia seringkali Mahkamah Konstitusi menujukan progresnya melalui pembaharuan hukum yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pegadilan norma “¢ourt of law” juga sebagai penjaga konstitusi sejati “the true guardian of constitution. Salah satu bentuk hasil dari tabrakan terhadap hukum positif yakni dengan dikeluarkannya jenis amar putusan konstitusional bersyarat “conditionally constitutional” dan inkonstitusional bersyarat “conditionally unconstitutional” yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya diatur tiga jenis amar putusan yakni putusan dikabulkan, ditolak, dan tidak dapat diterima. Salah satu amar putusan inkonstitusional bersyarat yang menimbulkan perdebatan dikalangan para sarjana hukum maupun masyarakat luas pada saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yang harus diperbaiki oleh pembentuk undang-undang selama dua tahun, apabila tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu tersebut maka undang-undang a qou harus dinyatakan inkonstitusional secara parmanen dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara normatif undang-undang a qou cacat formil dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, seharusnya apabila suatu norma yang dinyatakan cacat prosedural harus dimaknai cacat keseluruhan dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kemanfaatan hukum, yakni undang-undang a qou menyederhanakan beberapa undang-undang melalui metode omnibus law dan beberapa muatan materiil yang dianggap penting sehingga apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan inkostitusional berdasarkan hukum positif maka akan terjadi suatu kegaduhan besar di Republik Indonesia. Kata kunci: Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Putusan Inkonstitusional Bersyarat.
TINJAUAN YURIDIS RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 Glendi G. Tambajong; Donald A. Rumokoy; Steven obaja Voges
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 4 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan ratifikasi perjanjian Internasional berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 dan untuk mengetahui pelaksanaan ratifikasi perjanjian Internasional berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Ada dua kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. Kewajiban pertama adalah memastikan keselarasan perjanjian internasional dengan Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945). Kewajiban kedua adalah mentransformasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Kewajiban transformasi ini, terutama pada perjanjian internasional yang memiliki substansi “law making treaties”, dilakukan untuk mengubah ketentuan yang berlaku dalam suatu negara, dalam hal ini berarti perlu penerjemahan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan suatu negara. 2. Proses pengesahan perjanjian internasional dilihat dari dua perspektif, yakni eksternal dan internal. Pembagian wewenang lembaga negara (treaty making power) dalam prosedur pengesahan perjanjian internasional merupakan bagian dari perspektif internal, setiap negara memiliki tugas dan wewenang lembaga yang berbeda sehingga konsep treaty making power dalam prosedur pengesahan perjanjian internasional juga berbeda-beda. Pengesahan Perjanjian Internasional kedalam hukum nasional merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 baik berbentuk Undang-Undang ataupun Peraturan Presiden. Kata Kunci : ratifikasi perjanjian Internasional
INJAUAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 114/PUU-XX/2022 TENTANG SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM Theresya Evelin Hady; Donald A. Rumokoy; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 4 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dalil-dalil para pemohon mengajukan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. Metode penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif dengan tipe deskriptif. Para pemohon ingin agar sistem proporsional terbuka diubah menjadi tertutup dengan beberapa dalil. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya telah membantah dengan enam poin bantahan juga telah menitipkan pesan bagi partai politik dan pembentuk undang-undang demi menjamin kader yang akan terpilih ialah yang berkualitas.Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Proporsional Terbuka, Pemilihan Umum.
TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 TENTANG PERUBAHAN BATAS USIA CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN Yensi Matdha Datu Lullung; Donald A. Rumokoy; Josepus J. Pinori
LEX PRIVATUM Vol. 14 No. 2 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami prosedur pemeriksaan perkara di Mahkamah Konstitusi dan untuk mengetahui dan memahami implikasi yuridis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Prosedur pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, PMK Nomor 02/PMK/2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga atas Undan-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi perlu memperhatikan beberapa hal seperti kewenangan Mahkamah Konstitusi, legal standing pemohon, materi muatan permohonan, dan tahapan jalanya persidangan. Selama proses pemeriksaan perkara, hakim konstitusi haruslah tetap memperhatikan 7 (tujuh) asas dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi demi terciptnya keadilan bagi para pihak. 2. Impilikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah terjadinya perluasan makna pada syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang terdapat pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan ini juga berimplikasi pada prinsip open legal policy dalam pengujian batas usia dan bentuk putusan yang bersisfat self exsecuting dan non-self exsecuting yang tidak bersifat mutlak di Mahkamah Konstitusi karena dapat dikesampingkan dalam keadaan tertentu. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
KAJIAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 90/PUUXXI/2023 DALAM PENGUJIAN UNDANG – UNDANG NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM Jufri Takatelide; Donald A. Rumokoy; Donna Okthalia Setiabudhi
LEX PRIVATUM Vol. 15 No. 1 (2025): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yudikatif yang secara konstitusional memiliki legelly binding dalam melakukan penafsiran konstitusional terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi akan secara Mutantis Mutandis akan memberikan dasar konstitusional khususnya terkait dengan kewenangan pengujian UndangUndang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstutusi dalam melakukan penambahan norma baru pada pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 serta Implikasi putusan pada pengujian Undang – Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Kewenangan, Pengujian undang-undang