I Gede Arya Sugiartha, I Gede
Unknown Affiliation

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Hibriditas Musikal Pada Komposisi Ardawalika Karya Gustu Brahmanta Allan Dwi Amica, Kadek; Arya Sugiartha, I Gede; Ardini, Ni Wayan
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1103.437 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v3i2.233

Abstract

 “Hibriditas Musikal Pada Komposisi Ardawalika Karya Gustu Brahmanta”, adalah sebuah usaha penelitian yang dilakukan penulis untuk melihat dengan teliti dan komprehensif dari perspektif ilmu musik dan ilmu penunjang lainnya. fenomena penciptaan komposisi berbasis dua budaya musik yang telah dipaparkan, komposisi musik Ardawalika memenuhi kriteria sebagai musik hasil campuran dua budaya musik. Upaya yang dilakukan Gustu Brahmanta dalam proses penciptaan karya musik Ardawalika memerlukan proses ekperimen baik secara konsep maupun secara musikalitas. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi, yaitu 1) Bagaimana estetika hibriditas musikal pada komposisi ardawalika karya Gustu Brahmanta, 2) Bagaimana bentuk keseimbangan antara idiom musikal tradisi Bali dengan idiom musik jazz dalam hibriditas musikal pada komposisi ardawalika karya Gustu Brahmanta, dan 3) Makna apakah yang ada dalam hibriditas musikal pada komposisi ardawalika karya Gustu Brahmanta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Data diperoleh melalui observasi langsung, dokumentasi, dan wawancara. Selanjutnya dengan melakukan kajian yang mendalam penulis akhirnya menemukan kesimpulan bahwa hibriditas musikal pada komposisi ardawalika karya Gustu Brahmanta dibangun melalui beberapa unsur-unsur di dalamnya. Unsur-unsur musikal dalam komposisi Ardawalika, mengandung unsur estetika postmodern yaitu pastiche. Selain itu juga menerapkan prinsip bricolage dimana adanya sebuah pencampuran yang bisa terlihat dari pengelompokan dan penggunaan instrumen dengan modal tangga nada yang berbeda satu sama lain. keseimbangan yang terdapat dalam idiom musikal komposisi ardawalika, dapat dicapai melalui keseimbangan yang simetris dan tidak simetris atau asimmetric balance. Dalam hal permaknaan signifikasi ditemukan suatu permaknaan denotative dan konotatif pada skor komposisi musik Ardawalika karya Gustu Brahmanta.Musical Hybridity On The Composition Of Ardawalika in Gustu Brahmanta ‘swork”, is The research done by the author to look carefully and comprehensively from Perspective of music and other supporting knowledge. The phenomenon in the creation of a two-based composition music culture that has been presented, the composition of music Ardawalika meet the criteria as the combination of two musical cultures. The efforts of Gustu Brahmanta in the process The creation of musical work of Ardawalika requires experimental process both conceptually and In musicality.The problems of study that have discussed in this research are 1) how aesthetic hybridity musicals on the arcade composition of Gustu Brahmanta’s work, 2) How to balancing the form between the musical idiom of Balinese tradition with the idiom of jazz music in the musical hybridity Arctic composition of Gustu Brahmanta’s work, and 3) What the meanings that existin hybridity musical on the arcade composition of Gustu Brahmanta’s works. This research used the qualitative method where qualitative methods are the research methods used for researching on the condition of natural objects, wherere searchers are as a key instrument. Data Obtained through direct observation, documentation, andinterviews.The conclusion that the author get were the musical hybridity of Gustu Brahmanta’s archematic composition Built through some of the elements in it. The musical elements in the composition Ardawalika, contains a postmodern aesthetic element that is pastiche. It also applies the principle of bricolage where in combination can be seen from the grouping and the use of instruments with different capital scales from eachother. Balancing which is contained in the musical idiom of the arcadonic composition, can be achieved through equilibrium which is symmetrical and asymmetric or asymmetric balance. In terms of signification significance found a denotative and connotative meaning on the score of Ardawalika musical composition by Gustu Brahmanta.
Struktur Ritme Lagu Curik-Curik Aransemen Gustu Brahmanta Trio Sanjaya, Warman Adhi; Arya Sugiartha, I Gede; Astita, I Nyoman
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1416.252 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v3i2.239

Abstract

Penelitian ini mengenai karya komposisi “Curik-Curik” yang diaransemen menggunakan pendekatan jazz hibrida bergenre swing. Komposisi curik –curik hasil aransemen Ida Bagus Gustu Brahmanta menggunakan 3 instrumen antara lain rindik, drumset & contra bass. Ketiga instrumen ini cara penggarapannya dilakukan menggunakan pendekatan cross culture atau lintas budaya dimana instrumen rindik yang berasal dari bali dicampurkan dengan instrumen contra bass dan drum yang berasal dari Barat. Hal ini cukup menarik karena proses hibridasi pada akhirnya mampu menyatukan dua budaya musik yang berbeda karena kemampuan para pemainnya yang memiliki pengalaman dan skill yang tinggi. “Curik-Curik” adalah lagu yang digunakan dalam permainan anak tradisional Bali.Secara kontekstual komposisi “Curik-Curik” adalah mempresentasikan revitalisasi budaya memalalui kerja kreatif seniman sehingga dengan diciptakannya karya ini maka lahirlah berbagai karya baru dan kekinian sesuai dengan nafas jaman. Melalui estetika struktur ritme setidaknya diketahui bahwa karya ini lebih menonjolkan permainan pola ritme sehingga semua instrumen difungsikan sebagai rhythm section. Akan tetapi pada sisi yang lain seluruh instrumen juga bisa difungsikan sebagai solois dimana setiap pemain contra bass menonjolkan ketrampilannya sendiri-sendiri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian diskriptif analitik.This study is about the work of “Curik-Curik” composition using the genre jazz hybrid approach. “Curik-Curik” composition of the arrangement of Ida Bagus Gustu Brahmanta arrangement uses 3 instruments such as rindik, drumset & contra bass. All three of these instrumentation methods are done using cross cultural approach where the rindik instruments originating from Bali are mixed with contra bass and drum instruments originating from the West. This is quite interesting because the hybridization process can finally unify two different cultural music because of the ability of its players to have high experience and skill. “Curik-Curik” is a song used in traditional Balinese children’s games. Curic-Curik contemporary composition is presenting a cultural revitalization through artist’s creative work so that by creating this work it is born of new and contemporary works that fit the new era of music. Through the aesthetic theory of rhythm structure at least it is known that this work more emphasizes the game of rhythm patterns so that all instruments are functioned as a rhythm section. However, on the other hand the whole instrument is also funcioned as a solois where each player contra bass highlights his own skills. This research uses analytic descriptive research method.
I Nyoman Cerita Inovation Figure in Balinese Dance Creation Agus Sujiro Putra, I Kadek; Arya Sugiartha, I Gede; Sariada, I Ketut
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.854 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v3i2.232

Abstract

I Nyoman Cerita adalah seniman sekaligus akademisi seni pertunjukan khususnya seni tari di Bali yang berasal dari Banjar Sengguan, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali. Beliau telah mampu membangun sebuah upaya pengembangan kesenian khususnya tari di Bali. Berbagai karya-karya yang hingga kini telah memberikan catatan penting terhadap perkembangan seni tari, I Nyoman Cerita mampu menciptakan karya tari dengan cara Nyeraki. Istilah Nyeraki yaitu serba ada atau serba bisa. Kemampuan nyeraki yang dimaksud disini adalah kemampuan Nyoman Cerita yang dapat menyelesaikan segalanya dengan kemampuan yang serba bisa. Nyoman Cerita mampu menciptakan tabuh (musik iringan tari), mampu menciptakan gerak tari, serta mampu menciptakan konsep kostum. Kemampuan nyeraki sangat jarang dimiliki oleh seniman tari pada umumnya Tujuan dari penelitian ini menghasilkan sebuah karya tulis tentang tokoh I Nyoman Cerita seniman tari asal Gianyar, menghasilkan karya tulis yang mampu digunakan sebagai informasi tentang tokoh inovatif dalam mencipta tari Bali, ada tiga pokok permasalahan yang akan dikaji yaitu bagaimanakah latar belakang kehidupan I Nyoman Cerita, bagaimanakah proses kreatif I Nyoman cerita sebagai tokoh inovatif dalam mencipta Tari Bali, bagaimanakah kontribusi karya I Nyoman Cerita dalam perkembangan seni tari di Bali? teori yang digunakan untuk membedah ketiga latar blakang tersebut yaitu: teori biografi, teori motivasi,teori Estetika. Inovatif karya I Nyoman Cerita yaitu beliau mampu memunculkan ide-ide baru seperti pengolahan properti tari yang dapat digunakan dalam berbagai fungsi. Sebagai contohnya adalah properti pajeng dapat di fungsikan sebagai tombak, roda kereta, dan simbol awan, sedangkan properti kipas dapat digunakan sebagai gada dan kereta kencana kontribusi karya-karya Tari Bali beliu menjadi bahan ajar di sanggar dan sebagai sajian seni pertunjukan pariwisata. I Nyoman Cerita is an artist as well as a performing arts academic especially dance art in Bali from Banjar Sengguan, Singapadu Village, Sukawati District, Gianyar Bali Regency. He has been able to build an art development effort, especially dance in Bali. Various works which up to now have provided important notes on the development of dance, I Nyoman Cerita able to create works of dance by Nyeraki way. Nyeraki term is versatile or versatile. The ability of nyreaki is meant here is the ability Nyoman Stories that can solve everything with a versatile ability. Nyoman Story is able to create a tabuh (music dance accompaniment), able to create a dance movement, and able to create the concept of costume. The ability of nyeraki very rarely owned by dance artists in general The purpose of this research produced a paper about the character I Nyoman Story of Gianyar dance artists, produce a paper that can be used as information about innovative figures in creating Balinese dance, there are three subjects that will be studied is how the background of life I Nyoman Cerita, How is the creative process I Nyoman Cerita as an innovative figure in creating Balinese Dance, how the contribution of I Nyoman Cerita’s work in the development of dance art in Bali? the theory used to dissect the three backgrounds are: biography theory, motivation theory, theory of aesthetics. The innovation of I Nyoman Cerita’s work is that he is able to create new ideas such as processing dance properties that can be used in various functions. For example, a pajeng property can be used as a spear, train wheel, and cloud symbol, while a fan property can be used as a club and a train.
Expansion Of Value And Form Dol Musicality As Ritual Tabot In Bengkulu Parmadie, Bambang; Arya Sugiartha, I Gede
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol 1 No 1 (2018): April
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (525.874 KB) | DOI: 10.31091/lekesan.v1i1.301

Abstract

The expansion of value and form musicality in Tabot ritual music includes ideology, musicality and new sociocultural phenomena in the performing arts extend to all elements of Bengkulu society in general. The sacred music referred to in the Tabot rituals of Bengkulu is Dol music. The transformations in forms of Dol music and musicality are: sacred musicality becomes secular or profane. The physical form, function, and aesthetic of Dol music in Tabot rituals have an ever-increasing creativity in their development, musical progress and sociocultural-supporter progress. The commodification of Dol music transforms the artistic identity associated with new music from Bengkulu. The development of musicality moves freely, making changes in sacred ideology. This analysis reveals problems using social practice theory, hegemonic theory, and popular culture theory, applied eclectically by using a qualitative method. Data is collected Through observation, interview, and document study. The findings of this research are that there are forms of exploration and exploitation of Dol music from sacred to secular or profane and vice versa in the context of the commodification of physical musicality, function, and aesthetics in the ideological identity of the supporting community and the musical space dimension. The secular or profane Dol music permeates and indoctrinates the sacred Dol musical ideology as the musical ceremony of Tabot ritual. The counter-assumption about a sacred art form that will experience a shift into secular or profane is not entirely true for Dol music in Bengkulu.
Pergulatan Ideologi dalam Penciptaan Musik Kontemporer Bali Arya Sugiartha, I Gede
PANGGUNG Vol 25, No 2 (2015): Pendidikan, Metode, dan Aplikasi Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v25i2.3

Abstract

Tulisan ini menelaah dinamika estetik munculnya musik-musik Bali garapan baru dengan konsep-konsep musikal yang berbeda selama kurun waktu tiga dekade terakhir ini. Kreativitas dengan pendekatan dekonstruksi ini mendapat respon yang beragam dari masyarakat setempat. Metode kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis sebagai landasan berpikir dan postmodernisme sebagai teori kunci dalam paradigma kajian ini. Bentuk kajian dilakukan dengan mengembangkan penafsiran makna melalui pendekatanteori estetika (ideologi, etnomusikologi, dan semiotika) dan dekonstruksi Jacques Derrida. Temuan hasil penelitian ini yakni bahwa kreativitas musik Bali garapan baru didorong oleh faktor internal yang meliputi ideologi seniman dan semangat baru dalam memaknai konsep-konsep pelestarian musik tradisi; dan faktor eksternal, yaitu musik Bali dalam konstelasi global. Wujud kreativitas musik ini dapat diklasifikasikan menjadi kreativitas musik kreasi baru dan kreativitas musik eksperimental. Kreativitas musik Bali garapan baru berdampak terhadap seniman pencipta, eksistensi musik Bali, dan sikap masyarakat; serta mengandung makna perubahan budaya, kekayaan estetik, dan terbangunnya kesadaran baru.Kata kunci: Pergulatan ideologi, penciptaan musik, dan kontemporer
Bentuk dan Konsep Estetik Musik Tradisional Bali Arya Sugiartha, I Gede
PANGGUNG Vol 25, No 1 (2015): Kontribusi Seni Bagi Masyarakat
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v25i1.14

Abstract

Penelitian ini mengkaji dua elemen penting dalam musik tradisional Bali, yaitu bentuk dan konsep-konsep estetiknya. Bentuk dan konsep estetik akan memberikan identitas sebuah aktu- alitas musik sehingga dapat dibedakan dari yang lainnya. Selain itu melalui bentuk dan kon- sep-konsep estetik musik tertentu, kita dapat mengenal atau membaca unsur-unsur penting dari kebudayaan masyarakat pemiliknya. Musik tradisional Bali memiliki dua bentuk, yaitu ar- sitektonik yang sifatnya intelektualistik atau absolut dan simbolik yang sifatnya instingtif atau relatif. Kedua bentuk ini dapat dicermati dari lima hal, yaitu sumber bunyi (instrumentasi), musikalitas, ekspresi musikal, dan tata penyajiannya. Konsep keindahan musik tradisional Bali dapat diamati secara ilmiawi (science) yaitu menilai keindahan dengan perhitungan logis me- lalui standar-standar estetik yang telah ada dan melalui unsur filsafat tentang keindahan me- nyangkut berbagai wawasan keindahan yang dipersepsi oleh manusia. Memahami bentuk dan konsep-konsep estetik adalah awal yang sangat baik dan akan menuntun seseorang yang ingin belajar tentang musik tradisional Bali.Untuk mengkaji bentuk dan konsep-konsep tersebut menggunakan teori bentuk estetis dengan metode kualitatif yang dibantu oleh data kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan bah- wa konsep estetik musik tradisional Bali dapat diamati yaitu adanya dua kekuatan oposisi yang mesti dipadukan untuk memenuhi unsur keindahan, seperti misalnya konsep lanang-wadon, polos-sangsih, pengumbang-pengisep, pesu-mulih, dan mebasang-metundun (asimetric balance) yaitu keseimbangan yang tidak simetris, namun hasil perpaduan keduanya adalah sebuah keindah- an. Begitu juga ada tiga unsur utama yang menentukan mutu karya seni, yaitu keutuhan, keru- mitan, dan kekuatan. Kata kunci: Musik tradisional Bali, bentuk dan konsep estetik
Gamelan Kakelentingan Di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti Tabanan: Kontinuitas Dan Perkembangannya Sari Wiguna, Kadek Agung; Arya Sugiartha, I Gede; Sudirga, I Komang
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.822 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.561

Abstract

Kakelentingan berasal dari akar kata kelen atau badjra kecil, jika dibunyikan menghasilkan suara ting menjadi kelenting dan mendapat awalan ka- dan akhiran -an menjadi kakelentingan. Kakelentingan adalah sebuah barungan gamelan baik menyangkut fisik, musikalitas, maupun fungsi. Gamelan Kakelentingandiperkirakansudah ada di atas abad ke XVIII Masehi, berawal dari dua buah instrumen dan berkembang menjadi sembilan instrumen. Gending tradisi yang pada awalnya hanya ada satu, kini sudah bertambah sembilan gending. Hal yang membuat peneliti tertarik meneliti gamelan Kakelentingan dikarenakan, gamelan ini bersifat sakral dan harus ada di setiap prosesi upacara (medal, melancaran, dan nyineb). Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. Tujuannya untuk mengetahui wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan. Manfaatnya untuk menambah wawasan, sebagai bahan apresiasi bagi peneliti dan masyarakat luas, serta pihak pemerintah setempat. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori religi, dan teori estetika. Berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa gamelan Kakelentingan berbentuk barungan kelompok kecil, mempunyai musikalitas, struktur komposisi gending, tata penyajian, dan hiasan. Gamelan Kakelentingan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi religi (pawintenan), fungsi sosial (ngayah), dan fungsi budaya (ngiring). Secara kontinuitas, gamelan Kakelentingan yang berawal dari dua buah instrumen dengan menghasilkan motif pukulan (batel) yang khas dalam fungsinya mengiringi Ida Sesuunan Dewata Nawa Sanga melancaran dan perkembangan gamelan Kakelentingan terlihat dari adanya penambahan jumlah instrumen, perkembangan pola garapan, dan perkembangan reportoar di dalamnya. Kakelentingan derives fromthe root words of kelen or badjra, if sounded will produce ting to become kelenting and get a prefix ka- and suffix -anbecome kakelentingan. Kakelentingan is a a group of gamelan which is related to physicality, musicality and function. Gamelan Kakelentingan is about existed over XVIII century AD, starting from two instruments and developing into nine instruments. Gending tradition, which at first only had one, now has nine gending. This makes researcher interested in researching the Gamelan Kakelentinganbecause, this gamelan is sacred and must be in every ceremony procession (medal, melancaran, and nyineb). The formulation is how the form, function, continuity and development of the gamelan. At the Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. The aim is to find out the form, function, continuity and development of the Gamelan Kakelentingan. The benefits are to add perception, as material for researcher and the wider community, as well as the local government. The method used is a qualitative method, namely the theory used namely structural theory, religious theory, and aesthetic theory. The results of this study indicate that the Gamelan Kakelentingan forms a small group, has musicality,composition structure of gending, presentation system, and decoration. Gamelan Kakelentinganhas three functions, namely religious function (pawintenan), social function (ngayah), and cultural function (ngiring). Continuously, the Gamelan Kakelentingan originates from two instruments by producing a characteristic beat(batel) in its function to accompany Ida Sesuunan Dewata Nawa Sangamelancaran and developing the Gamelan Kakelentinganseen from the number of instruments, the development of patterns of cultivation, and the development of reports in it. 
Innovations of Governance in Balinese Joged Bumbung Dance in the era of globalization Arya Sugiartha, I Gede
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol 1 No 2 (2018): October
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.942 KB) | DOI: 10.31091/lekesan.v1i2.567

Abstract

This paper aims to analyze the develpmental dynamics concerning the governance of Balinese Joged Bumbung performances in the era of globalization. Developments being analyzed involve innovations in governance of performance standards. The methodologies utilized in conducting this research include observations, interviews, and literature studies. Post-modern aesthetic theory is utilized for analysis of phenomena such as, receptivity aesthetics and aesthetics in relation to social facts and arts of the community (Mukarovsky, 1970). Organizational innovation is a manifestation of changes in aesthetic functions by the role of supporting art, Bali’s Joged Bumbung which exists as social dance. In recent developments many manifestations of this art form have been ridiculed as joged ngebor  (meaning “drill” with pornographic connotations), also is much appreciated as innovative joged (joged care jani) due to a change in governance of performance standards. This happens because of the interplay of extraneous factors (people’s taste and the influence of television entertainment arts), as well as intrinsic forces (creative power and pragmatic attitudes of performers). The taste of the people who want dancers to move in this ngebor manner  is understood to be pragmatic by the performers whose affirmation of these movement modalities only for the sake of monetary interest (economic goals). Even though there are also Joged Bumbung Bali innovations; which are creative in organizing performances without being eroded to appear as pornographic and are still in demand by the community. The offer of a model of grooming performance, which prioritizes creativity in the development of accompaniment music and dance movements, has been an innovative Bali’s Joged Bumbung as an offer to fight the tendancy to be erotic.
Gamelan Gambang Kwanji Sempidi Kajian Sejarah, Musikalitas dan Fungsi Mariyana, I Nyoman; Arya Sugiartha, I Gede; Yudarta, I Gede
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 5 No 2 (2019): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1338.211 KB)

Abstract

Gamelan Gambang adalah salah satu gamelan Bali yang tergolong langka. Gamelan Gambang Kwanji Sempidi merupakan salah satu jenis gamelan klasik di Kabupaten Badung yang memakai laras pelog tujuh nada dengan instrumentasi dan musikalitas yang khas serta fungsi yang menarik. Gamelan Gambang ini berbeda dengan Gambang-Gambang lainnya yang ada di Badung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, musikalitas, dan fungsi gamelan Gambang Kwanji Sempidi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mempergunakan jenis metode penelitian deskriptif kualitatif dan pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara, discografi, dokumentasi. Teori yang digunakan adalah teori difusi, etnomusikologi, kognitif, dan teori relegi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diketahui bahwa Gamelan Gambang termuat dalam berbagai karya sastra, dimulai sejak abad IX-XIV dengan diketemukannya relief Gambang pada Candi Penataran, relief Candi Borobudur abad IX (tahun 824 masehi), zaman kerajaan Bali Kuno (Abad XIV-XIX), Raja Gelgel (abad XIV-XIX) dan cerita raja-raja yang memerintah di Bali seperti Dalem Waturenggong (1460-1550 M). Gamelan Gambang yang ada di Desa Adat Kwanji, merupakan warisan leluhur yang keberadaannya diakui dan diayomi oleh Desa Adat Kwanji dengan nama sekaa Gambang “”Candra Metu”. Gambang Kwanji Sempidi adalah Gambang Kuno, warisan leluhur yang diterima oleh keturunan Kak Sri (1880), diwarisi kepada keturunannya, kerabatnya, hingga masyarakat yang menekuninya. Musikalitas gamelan Gambang Kwanji Sempidi dilihat dari instrumentasi yang terdiri dari dua tungguh instrumen gangsa Gambang dan empat tungguh instrumen Gambang. Tujuh nada pokok dalam Gambang terdiri nada adalah o I O A e u a (dong Ding Dong Dang deng dung dang). Dalam instrumen Gambang terdapat dua instrumen Gambang yang memiliki susunan nada yang sama yakni Gambang pengenter dan pemetit. Jarak nada tiap instrumennya diatur dengan mempertimbangkan aspek harmoni Kord, Kwint, dan Oktaf nada. Pola ritme sangat jelas terdengar dan terlihat pada teknik pukulan nyading dari pola ritme 2/4 menuju ke pola ritme ¾. Instrumen penyelat mempunyai tugas sebagai pengatur dinamika lagu yang dimainkan. Istilah modulasi disebut dengan istilah sengkeran, yang ada pada gending Labdha dan Manukaba. Teknik yang dijumpai pada Gambang Kwanji Sempidi seperti kekenyongan, tutul/ nultul, nyelangkit, dan nyelag. Gending-gending Gambang yang dimainkan pada saat ngaben memberikan pengaruh psikologis. Fungsi Gambang pada upacara ngaben di Desa Kwanji Sempidi adalah sebagai kesenian wali. Guna menjaga eksistensinya, gamelan Gambang Kwanji kerap kali digunakan sebagai musik prosesi pada upacara ngaben khususnya saat memandikan jenazah. Gamelan Gambang ditabuh sebagai pengantar roh orang yang meninggal menuju sunia loka.