Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Gamelan Gambang Kwanji Sempidi Kajian Sejarah, Musikalitas dan Fungsi Mariyana, I Nyoman; Arya Sugiartha, I Gede; Yudarta, I Gede
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 5 No 2 (2019): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1338.211 KB)

Abstract

Gamelan Gambang adalah salah satu gamelan Bali yang tergolong langka. Gamelan Gambang Kwanji Sempidi merupakan salah satu jenis gamelan klasik di Kabupaten Badung yang memakai laras pelog tujuh nada dengan instrumentasi dan musikalitas yang khas serta fungsi yang menarik. Gamelan Gambang ini berbeda dengan Gambang-Gambang lainnya yang ada di Badung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, musikalitas, dan fungsi gamelan Gambang Kwanji Sempidi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mempergunakan jenis metode penelitian deskriptif kualitatif dan pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara, discografi, dokumentasi. Teori yang digunakan adalah teori difusi, etnomusikologi, kognitif, dan teori relegi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diketahui bahwa Gamelan Gambang termuat dalam berbagai karya sastra, dimulai sejak abad IX-XIV dengan diketemukannya relief Gambang pada Candi Penataran, relief Candi Borobudur abad IX (tahun 824 masehi), zaman kerajaan Bali Kuno (Abad XIV-XIX), Raja Gelgel (abad XIV-XIX) dan cerita raja-raja yang memerintah di Bali seperti Dalem Waturenggong (1460-1550 M). Gamelan Gambang yang ada di Desa Adat Kwanji, merupakan warisan leluhur yang keberadaannya diakui dan diayomi oleh Desa Adat Kwanji dengan nama sekaa Gambang “”Candra Metu”. Gambang Kwanji Sempidi adalah Gambang Kuno, warisan leluhur yang diterima oleh keturunan Kak Sri (1880), diwarisi kepada keturunannya, kerabatnya, hingga masyarakat yang menekuninya. Musikalitas gamelan Gambang Kwanji Sempidi dilihat dari instrumentasi yang terdiri dari dua tungguh instrumen gangsa Gambang dan empat tungguh instrumen Gambang. Tujuh nada pokok dalam Gambang terdiri nada adalah o I O A e u a (dong Ding Dong Dang deng dung dang). Dalam instrumen Gambang terdapat dua instrumen Gambang yang memiliki susunan nada yang sama yakni Gambang pengenter dan pemetit. Jarak nada tiap instrumennya diatur dengan mempertimbangkan aspek harmoni Kord, Kwint, dan Oktaf nada. Pola ritme sangat jelas terdengar dan terlihat pada teknik pukulan nyading dari pola ritme 2/4 menuju ke pola ritme ¾. Instrumen penyelat mempunyai tugas sebagai pengatur dinamika lagu yang dimainkan. Istilah modulasi disebut dengan istilah sengkeran, yang ada pada gending Labdha dan Manukaba. Teknik yang dijumpai pada Gambang Kwanji Sempidi seperti kekenyongan, tutul/ nultul, nyelangkit, dan nyelag. Gending-gending Gambang yang dimainkan pada saat ngaben memberikan pengaruh psikologis. Fungsi Gambang pada upacara ngaben di Desa Kwanji Sempidi adalah sebagai kesenian wali. Guna menjaga eksistensinya, gamelan Gambang Kwanji kerap kali digunakan sebagai musik prosesi pada upacara ngaben khususnya saat memandikan jenazah. Gamelan Gambang ditabuh sebagai pengantar roh orang yang meninggal menuju sunia loka.
Rekontruksi Gending Lelambatan Klasik Gilak Embat dan Tabuh Pisan pada Sekaa Gong Desa Kwanji Sempidi Mariyana, I Nyoman; Putra, I Made Dwi Andika; Bawa, Putu Tiodore Adi
Abdi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 3 No 2 (2024): Abdi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/awjpm.v3i2.4349

Abstract

Di Desa Kwanji Sempidi, terdapat salah satu Gong Kebyar yang konon adalah Gong Kebyar pertama yang ada di Kelurahan Sempidi. Sekaa Gong Desa Kwanji, memiliki beberapa jenis tabuh lelambatan klasik yang menjadi ciri khas dari Gong Desa Kwanji seperti : Gilak Embat, Tabuh Pisan Kwanji, Tabuh Telu (Tabuh Telu Dang, Tabuh Telu Dung, Bebonangan) Tabuh Pat (Gagak, Semarandana, Lodra, Subandar, Saga Manis), Tabuh Lima, Tabuh Nem (Galang Kangin, Tangis), Tabuh Kutus, (Lasem Kwanji, Pelayon). Tabuh-tabuh lelambatan tersebut sangat menarik dan mempunyai perbedaan dari jenis-jenis atau gaya penyajian gending lelambatan klasik pagongan pada umumnya. Akibat usia pemain yang semakin menua bahkan beberapa pemain (penglingsir) yang meninggal, ada beberapa jenis gending asli Gong Kwanji yang perlu “diselamatkan” dengan merekontruksinya kembali bersama regenerasi pemainnya yakni gending Gilak Embat dan Tabuh Pisan. Melalui metode wawancara dan demontrasi gending-gending ini dapat direkontruksi kembali dan dimainkan oleh generasi penerusnya dengan tetap mempertahankan gaya permainan dan pola-pola pukulan kekendangan, yang menjadi ciri khas dari Gong Kwanji. Proses rekontruksi ini melibatkan penglingsir Gong Kwanji dan Bendasa Adat Kwanji sebagai pengayom Gong Desa Kwanji.
PEMBINAAN GENDING BOPONG GENDER WAYANG GAYA KAYUMAS DENPASAR PADA SANGGAR TABUH KEMBANG WARU DI KOTA DENPASAR Hartini, Ni Putu; Mariyana, I Nyoman; Mawan, I Gede
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 3 (2023): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan sebagai usaha penyelamatan aset warisan tak benda yaitu gending Bopong Gaya Kayumas Denpasar. Gending bopong merupakan salah satu dari gending petangkilan dalam adegan pertunjukan wayang kulit Bali. Belakangan ini terjadi fenomena Gending Bopong sudah jarang disajikan lagi karena gending ini memiliki struktur yang panjang sehingga kesulitan untuk dapat menguasai gending ini. Hal tersebut menyebabkan gending ini dikhawatirkan mengalami kepunahan sehingga diperlukan pembinaan mengenai penguasaan teknik keahlian menabuh dan penguasaan materi gending Bopong secara praktis. Metode yang digunakan melalui beberapa tahapan yaitu Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini melalui beberapa tahapan yaitu (1) Sosialisasi; (2) Tahap Pelaksanaan; (3) Fase Stabilisasi; (4) Tahap Evaluasi; dan (5) Penyajian hasil pembinaan.Hasil dari kegiatan pengabdian ini peserta pelatihan di Sanggar Tabuh Kembang Waru mampu memperkaya pengetahuan dan keterampilan menabuh Gender Wayang serta menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan dalam menjaga sekaligus mengembangkan warisan seni tradisi.
“GANGGARAM” PERTUNJUKAN CAK AIR Mariyana, I Nyoman; Putra, I Made Dwi Andika; Santika, Sang Nyoman Gede Adhi
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 3 (2023): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan kesenian kecak dari awal terciptanya hingga kini terus melaju dengan pesat. Telah banyak tumbuh sekaa-sekaa kecak di daerah baik dalam bentuk kecak tradisi maupun kecak yang sudah dikembangkan dari segi pertunjukannya. Sebagai pewarisan tradisi, kesenian kecak kerap kali kita jumpai pada pertunjukan wisata yang disajikan di hadapan wisatawan. Pada umumnya konsep penyajiannya masih menggunakan pola-pola tradisional, baik kostum, tema, maupun garap musikalnya. Saat ini penyajian kesenian kecak lebih sering kita jumpai mempergunakan api sebagai pendukung garapan yang sering dikenal dengan sebutan kecak api. Diperlukan gubahan baru dalam penciptaannya. Kecak air, sebuah tawaran baru dalam penyajian kecak yang diciptakan sebagai penunjang komoditi pariwisata. Pertunjukan cak ini menggunakan air sebagai media pendukung garapan dengan judul “GanggaRam”. GanggaRam diambil dari kata Gangga sebagai simbol pemujaan Dewi Gangga, dan kata Ram dalam bahasa Sansekerta berarti yang menyenangkan. “GanggaRam” adalah pertunjukan kecak sebagai simbol pemujaan kepada Dewi Gangga yang memberikan sumber kehidupan dan kebahagian kepada manusia. Penciptaan karya “GanggaRam” ini menggunakan metode penciptaan dari Alma M. Hawkins melalui 3 tahapan, yaitu Exploration (eksplorasi), Improvisation (improvisasi), dan Forming (pembentukan). Tercipta sebuah karya gubahan baru dari penyajian cak air yang mampu bersaing dalam industi pariwisata sebagai produk unggulan wisata air terjun. Pesan yang ingin disampaikan dari karya ini adalah manusia harus mampu menjaga alam dan memanfaatkan air dengan baik untuk kelangsungan semua mahluk hidup di bumi.
Rekontruksi Gending Lelambatan Klasik Gilak Embat dan Tabuh Pisan pada Sekaa Gong Desa Kwanji Sempidi Mariyana, I Nyoman; Putra, I Made Dwi Andika; Bawa, Putu Tiodore Adi
Abdi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol 3 No 2 (2024): Abdi Widya: Jurnal Pengabdian Masyarakat
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/awjpm.v3i2.4349

Abstract

Di Desa Kwanji Sempidi, terdapat salah satu Gong Kebyar yang konon adalah Gong Kebyar pertama yang ada di Kelurahan Sempidi. Sekaa Gong Desa Kwanji, memiliki beberapa jenis tabuh lelambatan klasik yang menjadi ciri khas dari Gong Desa Kwanji seperti : Gilak Embat, Tabuh Pisan Kwanji, Tabuh Telu (Tabuh Telu Dang, Tabuh Telu Dung, Bebonangan) Tabuh Pat (Gagak, Semarandana, Lodra, Subandar, Saga Manis), Tabuh Lima, Tabuh Nem (Galang Kangin, Tangis), Tabuh Kutus, (Lasem Kwanji, Pelayon). Tabuh-tabuh lelambatan tersebut sangat menarik dan mempunyai perbedaan dari jenis-jenis atau gaya penyajian gending lelambatan klasik pagongan pada umumnya. Akibat usia pemain yang semakin menua bahkan beberapa pemain (penglingsir) yang meninggal, ada beberapa jenis gending asli Gong Kwanji yang perlu “diselamatkan” dengan merekontruksinya kembali bersama regenerasi pemainnya yakni gending Gilak Embat dan Tabuh Pisan. Melalui metode wawancara dan demontrasi gending-gending ini dapat direkontruksi kembali dan dimainkan oleh generasi penerusnya dengan tetap mempertahankan gaya permainan dan pola-pola pukulan kekendangan, yang menjadi ciri khas dari Gong Kwanji. Proses rekontruksi ini melibatkan penglingsir Gong Kwanji dan Bendasa Adat Kwanji sebagai pengayom Gong Desa Kwanji.
The Concept of Harmony and Modulation in Kwanji Sempidi's Gambang Mariyana, I Nyoman
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 6 No. 1 (2023)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lekesan.v6i1.2433

Abstract

Gamelan Gambang is a Balinese musical ensemble that has a unique and distinctive characteristic of its musicality. Gamelan Gambang belongs to gamelan saih pitu (seven notes), where in one octave the tone consists of seven principal notes. Each of the instruments in the Gambang Kwanji Sempidi gamelan has a different concept of tone harmonization and tone modulation. The method used in this study uses a type of qualitative descriptive research method through data collection using observation, interview, discography, and documentation methods. While measuring the frequency of the tone using the Curltone application tool. Through this method, in the Gambang Kwanji Sempidi gamelan, harmony appears in the arrangement of the Gambang tones on each Gambang instrument. Harmony is related to the interval or pitch distance. The pitch distance between dAng (A) and dang (a) is called ngembat or octave, the distance between dAng (A) and dEng (e) is called ngepat or ngempyung (kwint), while the distance between dAng (A) and dOng (o) tones called nelu or quart. If they are hit together in one tone simultaneously, four forms of tone harmonization patterns occur (nelu, ngepat, and ngembat). The harmony playing pattern on the xylophone is supported by the gambang beater (panggul) which has been set in such a way. The xylophone panggul has a different distance between the right and left pairs of mallets. The left pair spans four notes, while the right pair spans five notes. The Gambang Kwanji modulation system, namely the transition from one basic tone to another, is called Sengkeran. In the game, there is a change of one note in the order of the notes used. This sengkeran is found in the Gambang Labdha and Manukaba songs.
Suling Saih Roras : A Development of Balinese Flute Instrumentation| Suling Saih Roras : Sebuah Pengembangan Dari Instrumentasi Suling Bali Saputra, Werdi; Mariyana, I Nyoman
GHURNITA: Jurnal Seni Karawitan Vol 4 No 2 (2024): Juni
Publisher : Pusat Penerbitan LPPMPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jurnalsenikarawitan.v4i2.3312

Abstract

Suling Saih Roras is an experimental music work that uses Suling Saih Roras instrument as the reveal media. A wind instrument that inspires this musical work in Bali is the flute. Based on that, the composer observed the tones generated by the six holes could be developed, resulting in an initiative to establish the tones in the flute. Creating that meant in this working process is, the composer developed a flute that previously had six holes developed become 11 holes so can show the tones that previously unexplored in 6 holes flute. The stages included in this theory are Purpose, Talent, Creativity, Local Culture, Working Concept, Praying, Work Implementation, Work Tryout, and Establishing Concept and Form. The structure of this musical work is divided into four parts: the first part introduces the tones area on Suling Saih Roras. The composer introduced the tones contained in Suling Saih Roras Instrument. In the second part, highlight each instrument. Start with the most prominent flute, big, medium, and small flute. This aimed to highlight the sound characteristics of each side of the flute. The third part of this work is their harmony and modulation processing. The fourth part integrates the points contained in the three previous sections. In this section, the composer also explores the timbre of Suling Saih Roras Instrument.