Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

Jejak Karawitan Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna Sudirga, Komang; Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 3 (2015): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (848.148 KB) | DOI: 10.31091/sw.v3i0.218

Abstract

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dari “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi dan Makna”. Karena penelitian pada tahun pertama ini menyangkut pada 22 Naskah dan sangat sulit untuk ditemukan naskah-naskahnya, maka dalam penulisan artikel ini hanya akan menampilkan jejak-jejak karawitan yang tersurat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha saja, sehingga bahasan artikel ini lebih fokus dan dapat dikembangkan menjadi bahasan untuk tulisan yang lain dengan mengambil bahasan pada karya kesusastraan lainnya. Dengan demikian diharapkan pembahasan bentuk, fungsi, dan makna istilah karawitan pada tahun 1028 -1035 di Jawa Timur penguraiannya dapat lebih jelas. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, yaitu melalui heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Khusus untuk artikel ini, pada tahap heuristik ditemukan dua buah Kekawin Arjuna Wiwaha yaitu koleksi Perpustakaan Nasional dan Koleksi Gedong Kertya. Kritik dilakukan secara internal melalui penerjemahan, yang dilanjutkan dengan interpretasi terhadap terjemahan dari dua naskah Kekawin Arjuna Wiwaha, dan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan mengenai jejak karawitan dalam kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, fungsi dan makna. Perubahan bentuk atau perwujudan dan juga penyebutan nama dari instrumen karawitan yang tersurat dalam kakawin Arjuna Wiwaha ada yang berubah dan ada pula yang tetap, seperti Mredangga yang sekarang dikenal dengan Istilah bedug. Perubahan nama juga terjadi dari berebet menjadi Cengceng. Hal ini bisa saja dikarenakan penyebutan nama instrumen didasarkan pada bunyi yang dihasilkannya seperti bedug karena bunyinya dug dug dug, dan cengceng karena karena ketika dibunyikan, bunyinya ceng ceng ceng. Ada istilah karawitan yang saat ini tidak ditemukan di belahan Nusantara seperti kata wina sejenis kecapi dan rawanahasta sejenis rebab. Wina kalau memang sejenis kecapi kemungkinan bentuknya lain dengan kecapi mungkin saja berkembang di belahan nusantara yang lain karena kecapi hanya berkembang di Sunda. Sama halnya dengan Rawanahasta yang diartikan sejenis rebab maka instrumen ini berkembang di belahan nusantara yang lain.This writing is a part of research entitled “Tracing Karawitan in Old Java Script: The Study of Form, Function and Meaning”. The first year research is that of 22 scripts and they are very difficult to find, hence in the writing of this article will merely put forward the traces of karawitan written in Kakawin Arjuna Wiwaha. Therefore, the discussion of this article is more focus and can be developed as a reference to another writing about different literature. Thereby, it hopes that the commentary about form, function and meaning of the term karawitan in 1028 -1035 in East Java can be clearer.This research uses historical method that is through heuristic, criticism, interpretation and historiography. Specifically for this article, in the stage of heuristic it was found two Kekawin Arjuna Wiwaha that are collection of National Library and Gedong Kertya. Criticism was done internally through translation then interpreting the translation of two Kekawin Arujna Wiwaha scripts. Finally, the historiography is writing about karawitan trace in kakawin Arjuna Wiwaha: Study about Form, Function and Meaning. Changes of form or materialization and mentioning the name of karawitan instrument written in kakawin Arjuna Wiwaha are present, but there is also the unchanged ones, such as Mredangga nowadays known as bedug. The changes of name also occur from berebet to cengceng. This can be happened because mentioning the instrument name is usually based on the sound produced such as bedug which sounds dug dug dug and cengceng produces the sounds ceng ceng ceng. There is karawitan term that can’t be found in Indonesian archipelago nowadays such as wina, a sort of kecapi, and rawanahasta, a sort of rebab. If Wina was a sort of kecapi, the form was probably different with kecapi. It was probably developing in another part of Indonesian archipelago because kecapi was only developing in Sunda. The same as Rawanahasta which is interpreted as a sort of rebab, therefore this instrument was developing in another part of Indonesian archipelago.
Jejak Karawitan dalam Kakawin Sumanasantaka Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah; Sudirga, I Komang
PANGGUNG Vol 28, No 1 (2018): Kontestasi Tradisi: Seni dalam Visualisasi Estetik, Naskah, dan Pertunjukan
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v28i1.272

Abstract

ABSTRACTKakawin Sumanasantaka (Death Because Sumanasa Flowers) is one source of the search trail musical term of from about 22 manuscript Old Javanese literature.This article is part of the research entitled "Traces Track Karawitan in Ancient Java Script: Assessment Form, function and meaning". This discussion is intended to clarify the form and function of musical instruments during the period in East Java around the 10th century.This study uses historical method which, through the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. At this stage of heuristics used kakawin Sumanasantaka is the work of Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter.,year 2014 also found written entitledKakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa, Karya Mpu Monaguna., Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Criticism is done internally through direct translation as the facts speak and the last is the stage of historiography. Form and function in kakawin Sumanasantaka musical instruments, can not be separated from the function of musical instruments in the future, namely as a means Javanese ceremonies and as accompanist secular activities.Keywords: form, function, karawitan, kakawin, Sumanasantaka ABSTRAKKakawin Sumanasantaka (Mati Karena Bunga Sumanasa) merupakan salah satu sumber penelusuran jejak istilah karawitan dari sekitar 22 Naskah kesusastraan berbahasa Jawa Kuno awal.Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi, dan Makna”. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperjelas bentuk dan fungsi instrumen musik pada masa periode Jawa Timur sekitar abad ke-10.Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik ditemukan sebuah kakawin Sumanasantaka yaitu karya Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter. Tahun 2014, ditemukan juga tulisan berjudul Kakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa, Karya Mpu Monaguna., Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kritik dilakukan secara internal melalui terjemahan secara langsung sebagai fakta yang berbicara dan yang terakhir adalah tahap historiografi. Bentuk dan fungsi Instrumen karawitan dalam kakawin Sumanasantaka, tidak terlepas dari fungsi instrumen musik pada masa Jawa Kuna yaitu sebagai sarana upacara dan sebagai pengiring kegiatan sekuler.Kata kunci: bentuk, fungsi, karawitan, kakawin, Sumanasantaka
Calungpangkung: Musik Dari Dan Untuk Alam Muliyadi, I Wayan; Sudirga, I Komang; Suteja, I Kt.
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (146.871 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.560

Abstract

Karya musik Calung Pangkung merupakan karya musik yang memanfaatkan alam khususnya pangkung sebagai sumber penciptaan karya. Pertunjukan dilakukan secara berpindah-pindah mulai dari bagian atas pangkung sampai pada bagian bawah. Hasil penciptaan karya Calung Pangkung merupakan karya seni musik lingkungan yang terlahir dari ekplorasi fenomena yang terjadi pada alam, khususnya pangkung. Pembentukan karya ini pencipta menggunakan pendekatan kontemporer dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar areal pangkung sebagai instrumen atau media ungkap dalam karya. Karya musik Calung Pangkung secara struktur dibagi menjadi empat bagian, yaitu bakti raga, mabraya, adharma, dan santhi swara. Bagian bakti raga menggambarkan bakti manusia terhadap alam, bagian mabraya merupakan wujud dari keharmonisan alam dan manusia, bagian adharma menggambarkan keserakahan manusia terhadap alam, serta bagian santhi swara sebagai wujud suara perdamaian yang hening dan tenang. Karya musik Calung Pangkung secara langsung dipentaskan di areal pangkung Gua Peteng Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.Calung Pangkung’s musical work is a musical work that utilizes nature, especially the lap as a work. Performances are carried out in a move starting from the top of the pangkung to the bottom. The result of the work of Calung Pangkung is a musical work of art that was born from the exploration of phenomena that occur in nature, especially the lap. The supervisor of this work uses a contemporary approach using objects that are around the lap area as instruments or express media in the work. Calung Pangkung’s musical works generally become four parts, namely bakti raga, mabraya, adharma, and santhi swara. The bakti raga part of human devotion to nature, part of the mabraya is a manifestation of the harmony of nature and people, the part of natural adharma of human greed towards nature, and the part of santhi swara as a peaceful and calm form of peace. Calung Pangkung’s musical work was directly staged in the pangkung Gua Peteng area of Darmasaba Village, Abiansemal District, Badung Regency. 
Gamelan Kakelentingan Di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti Tabanan: Kontinuitas Dan Perkembangannya Sari Wiguna, Kadek Agung; Arya Sugiartha, I Gede; Sudirga, I Komang
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.822 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.561

Abstract

Kakelentingan berasal dari akar kata kelen atau badjra kecil, jika dibunyikan menghasilkan suara ting menjadi kelenting dan mendapat awalan ka- dan akhiran -an menjadi kakelentingan. Kakelentingan adalah sebuah barungan gamelan baik menyangkut fisik, musikalitas, maupun fungsi. Gamelan Kakelentingandiperkirakansudah ada di atas abad ke XVIII Masehi, berawal dari dua buah instrumen dan berkembang menjadi sembilan instrumen. Gending tradisi yang pada awalnya hanya ada satu, kini sudah bertambah sembilan gending. Hal yang membuat peneliti tertarik meneliti gamelan Kakelentingan dikarenakan, gamelan ini bersifat sakral dan harus ada di setiap prosesi upacara (medal, melancaran, dan nyineb). Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. Tujuannya untuk mengetahui wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan. Manfaatnya untuk menambah wawasan, sebagai bahan apresiasi bagi peneliti dan masyarakat luas, serta pihak pemerintah setempat. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori religi, dan teori estetika. Berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa gamelan Kakelentingan berbentuk barungan kelompok kecil, mempunyai musikalitas, struktur komposisi gending, tata penyajian, dan hiasan. Gamelan Kakelentingan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi religi (pawintenan), fungsi sosial (ngayah), dan fungsi budaya (ngiring). Secara kontinuitas, gamelan Kakelentingan yang berawal dari dua buah instrumen dengan menghasilkan motif pukulan (batel) yang khas dalam fungsinya mengiringi Ida Sesuunan Dewata Nawa Sanga melancaran dan perkembangan gamelan Kakelentingan terlihat dari adanya penambahan jumlah instrumen, perkembangan pola garapan, dan perkembangan reportoar di dalamnya. Kakelentingan derives fromthe root words of kelen or badjra, if sounded will produce ting to become kelenting and get a prefix ka- and suffix -anbecome kakelentingan. Kakelentingan is a a group of gamelan which is related to physicality, musicality and function. Gamelan Kakelentingan is about existed over XVIII century AD, starting from two instruments and developing into nine instruments. Gending tradition, which at first only had one, now has nine gending. This makes researcher interested in researching the Gamelan Kakelentinganbecause, this gamelan is sacred and must be in every ceremony procession (medal, melancaran, and nyineb). The formulation is how the form, function, continuity and development of the gamelan. At the Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. The aim is to find out the form, function, continuity and development of the Gamelan Kakelentingan. The benefits are to add perception, as material for researcher and the wider community, as well as the local government. The method used is a qualitative method, namely the theory used namely structural theory, religious theory, and aesthetic theory. The results of this study indicate that the Gamelan Kakelentingan forms a small group, has musicality,composition structure of gending, presentation system, and decoration. Gamelan Kakelentinganhas three functions, namely religious function (pawintenan), social function (ngayah), and cultural function (ngiring). Continuously, the Gamelan Kakelentingan originates from two instruments by producing a characteristic beat(batel) in its function to accompany Ida Sesuunan Dewata Nawa Sangamelancaran and developing the Gamelan Kakelentinganseen from the number of instruments, the development of patterns of cultivation, and the development of reports in it. 
Cak Ganjur: Sebuah Komposisi Musik Vokal Gabungan Cak Dan Balaganjur Antara, I Made Bayu; Sudirga, I Komang; Santosa, Hendra
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.059 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.495

Abstract

Cak Ganjur adalah sebuah judul komposisi musik vokal  yang menggabungkan musik Cak dan Balaganjur. Dalam proses penciptaannya, dilatarbelakangi oleh ketertarikan untuk mengangkat sebuah peristiwa pada ketertarikan pada keunikan yang dimiliki oleh gamelan Balaganjur, dan bagaimana menuangkannya dalam bentuk vokal, gerakan, dan tepukan tangan tanpa menggunakan alat, untuk menimbulkan nuansa baru yang mirip dengan pertunjukan kecak. Tujuan penciptaan komposisi Cak Ganjur adalah untuk mengeksplorasi lebih dalam pengalaman empiris dengan menggabungkan vokal Kecak dengan gamelan Balaganjur. Komposisi Cak Ganjur disusun melalui tiga tahapan penciptaan yaitu tahap penjajagan, dimulai dengan menjajagi berbagai literatur yang berkaitan dengan Kecak dan Balaganjur, dan melakukan pemilihan, analisis, dan pengolahan dari rekaman audio maupun audio visual sangat penting untuk dilakukan demi mencari inspirasi yang akan dikutip kembali dengan warna dan pengolahan secara baru. Penggarapan tidak mengabaikan hasil karya seniman yang sudah ada dan menarik kemungkinan dari segi motif dan pola garap musikal yang sudah ada sebelumnya, baik yang berkaitan dengan bentuk maupun suasana yang diinginkan. Kemudian tahap percobaan yang dimulai dengan cara menuangkan inspirasi gending yang akan digunakan dalam garapan ini secara bertahap dengan cara menuliskannya melalui notasi. Selanjutnya adalah tahap pembentukan yaitu merangkai dan menghubungkan motif-motif untuk selanjutnya dibentuk menjadi suatu keutuhan komposisi.Cak Ganjur is a title of vocal music composition that combines Cak and Balaganjur music. In the process of its creation, it was motivated by an interest to elevate an event to an interest in the uniqueness of Balaganjur gamelan, and how to pour it in vocals, movements, and applause without using tools, to create new nuances similar to kecak performances. The purpose of Cak Ganjur’s composition creation is to explore more deeply the empirical experience by combining Kecak vocals with the Balaganjur gamelan. The composition of Cak Ganjur is composed through three stages of creation, namely the assessment stage, beginning with exploring the various literatures related to Kecak and Balaganjur, and performing the selection, analysis and processing of audio and audio recording is very important to do in order to seek inspiration to be cited again with color and processing in a new way. Cultivation does not neglect the work of existing artists and draws possibilities in terms of motives and patterns of musical work that already existed, both related to the shape and the desired atmosphere. Then the experimental stage that begins with how to pour the gending inspiration that will be used in this gradually by way of writing it through notation. Next is the formation stage of assembling and connecting the motifs to be further formed into a whole composition. 
Faktor Penggugah serta Variasi Karya Seni Rupa dan Desain di Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Provinsi Bali Ardana, I Gusti Ngurah; Adnyana, I Wayan; Sudirga, I Komang; Rai Remawa, A.A Gede; Mudra, I Wayan; Radiawan, I Made; Sudika Negara, I Nengah; Suparta, I Made
Prabangkara : Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol 23 No 1 (2019): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1619.841 KB)

Abstract

Paper ini difokuskan untuk menganalisis faktor penggugah dan variasi karya seni rupa serta desain di sembilan desa Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Analisis perlu dilakukan, agar berbagai institusi yang memiliki program pelestarian dan pelatihan serta pengembangan seni memeroleh informasi yang lengkap sebagai pedoman pelaksanaan kegiatannya. Data dianalisis berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dikumpulkan dari seluruh banjar yang berada di sembilan desa Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Provinsi Bali, diverifikasi dengan referensi yang dianggap relevan. Hasil analisis ini menggambarkan, ada dua jenis faktor penggugah pembuatan karya seni rupa dan desain di sembilan desa yang berada di Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Provinsi Bali yaitu: 1) dorongan internal yang bersumber dari bakat yang dimiliki, keinginan mengembangkan keterampilan lainnya, sebagai ekspresi diri dan untuk mendapatkan penghasilan tambahan; 2) dorongan eksternal berupa permintaan langsung dari masyarakat, kegiatan yang membutuhkan produk seni rupa dan desain serta berkembangnya pariwisata. Jenis produk seni rupa dan desain yang sudah dihasilkan, menggunakan variasi material seperti kayu, bambu, ijuk, kertas, benang, tali, lidi, kain, stereo form, emas dan perak, tembaga, besi, batu alam, beton maupun pasir melela.
TRACES OF MUSICAL INSTRUMENTS IN KAKAWIN BHARATAYUDHA Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah; Sudirga, I Komang
E-Journal of Cultural Studies Vol 9, No 2 (2016): May 2016
Publisher : Cultural Studies Doctorate Program, Postgraduate Program of Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article is part of the research entitled "Melacak Jejakdari Karawitan dalam Naskah JawaKuno: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna" based on 22 early Old Javanese literature manuscripts.This article is specifically talking about the form and function of musical instruments that are written in the Kakawin Bratayudha only to clarify the form and function of musical instruments during the reign of Jayabaya in Kediri, East Java. This study uses historical method, namely, through the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results showed that at the stage of heuristics three kakawin are found including Bharatayudha by I WayanWarna in 1990, works of R.M. SutjiptoWirjosuparto 1968 entitled Kakawin BharataYudha, and a translation book Kakawin BharataYudha by I Gusti Bagus Sugriva, 2012. Criticism is done internally through translation and also by comparing the three works from the text, followed by interpretation of the translation of three Kakawin BharataYudha, and the last is the stage of historiography. The function of musical instruments in the kakawinof BharataYudhacan not be separated from the function of musical instruments at the time of the Ancient Javanese namely as a means of ceremonies and to accompany secular activities. Secular activity in question is entertainment, communication, respect, war, economy, dowry, and symbol (Fernandus, 2003: 381-415). Musical instruments contained in kakawin BharataYudha, is still found, but there also have been renamed as Mredangga (drum) and rawanahasta (a type of fiddle). Harps only thrive in Sundanese, and Rawanahasta grow and spread in different parts of the archipelago.
“PASANTIAN”IN BALI AND ITS RENAISSANCE IN GLOBALIZATION ERA Sudirga, I Komang
E-Journal of Cultural Studies Volume 6, Number 1, May 2013
Publisher : Cultural Studies Doctorate Program, Postgraduate Program of Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (25.119 KB)

Abstract

Pasantian, which means reading and reciting a literary work, is growing, developing and resurrecting resistively in the life of the Balinese community in the globalization era. This study tries to answer the following questions: (1) what was the renaissance of pasantian in the globalization era in Bali like; (2) what factors contributed to the renaissance of pasantian in the globalization era in Bali; (3) what was the meaning of the renaissance of pasantian in the globalization era in Bali? This study in which qualitative method was used. It was intended to identify the existence of pasantian and its dynamism through its renaissance in the globalization era. The theory of deconstruction (Derrida, in Norris, 2008), the theory of practice (Bourdieu in Takwin, 2009 and Fashri, 2007), the theory of postmodern (Piliang, 2004, and Piliang, 2004a), and the theory of hegemony (Gramsci, in Barker, 2005) were eclectically used to analyze the data. The result showed that the renaissance of pasantian took place in three periods; the initial renaissance took place from 1979 to 1990, the second from 1991 to 1998, and the third from 1999 to 2010s. Such a renaissance was supported by cultural factors. In addition, political and economic factors also contributed to the renaissance of pasantian. It had socio-cultural, and economic effects, which led to multi-meanings such as educational meaning, entertainment meaning, the meaning of politics of image, the meaning of hypermorality, and the meaning of maintenance of socio-cultural meanings.
THE USES OF GONG SULING IN NGEMBAN RARE COMPOSITION Prasad, Visvam Bhara; Sudirga, I Komang; Santosa, Hendra
Journal of Music Science, Technology, and Industry Vol 2 No 2 (2019)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (848.062 KB) | DOI: 10.31091/jomsti.v2i2.866

Abstract

Komposisi Ngemban Rare yang menggunakan Gamelan Gong Suling ini menggambarkan kenangan masa kecil dengan berbagai sikap. Karya ini terinspirasi oleh seseorang yang merawat anak yang sedang menangis. Bahkan, saat ini sebagian besar orang tua mengajarkan hal-hal yang salah kepada anak-anak dengan memfasilitasi mereka sebelum mereka cukup dewasa sehingga membuat karakter anak menjadi tidak baik. Komposisi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu menggambarkan suasana fenomena mengasuh anak-anak, mengasuh anak-anak dengan menyanyikan lagu-lagu anak-anak tradisional, mengajar anak-anak dan memperkenalkan budaya sejak usia dini, dan menanamkan disiplin dan karakter yang baik, agar tidak menyesal kemudian. Pembentukan ciptaan karya ini mengacu pada proses penciptaan karya seni yang diklarifikasi menjadi tiga tahap, yaitu tahap eksplorasi, tahap improvisasi, dan tahap pembentukan
HIBRIDITAS MULTIDIMENSIONAL: STUDI KASUS KARYA MUSIK KOMUNITAS BADAN GILA Sudirga, Komang
Journal of Music Science, Technology, and Industry Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (589.788 KB)

Abstract

This paper wants to show that the Komunitas Bada Gila (or Crazy Body Community) is an art community in Telepud Village, Tegalalang District, Gianyar Regency. This research is directed to answer questions related to the existence, aesthetic foundation, and creative processes that are behind the show. To answer these qualitative questions, this study applies various techniques and procedures for collecting data in the form of interviews and observations. I find that this community was founded in 2008 by 16 artists who have a commitment to devote their lives in the ecosystem of the art world. The idea to build this art community began with the Final Project of Artwork by Wayan Sutapa, which was inspired by genjek, the song that was played while drinking wine. Initially Sutapa aims to change the perception of traditional art which is considered as the 'art of the drunk' by placing it in a new context. However, instead of changing these negative perceptions, the works of the community have opened the possibility of expanding the creativity of kecak and genjek art into a more attractive form with the body as the medium. The creative works of the community reaffirm that Balinese society is open and a necessity for local-global struggle and association in Bali.