Abusiri Abusiri, Abusiri
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Syari'ah Sebagai Identitas Politik Negara Modern di Dunia Islam Abusiri, Abusiri
Hikmah Journal of Islamic Studies Vol 14, No 1 (2018): Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan Islam
Publisher : STAI ALHIKMAH Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Among Muslims, there are assumptions or thoughts that equalize instantly between Shari’ah and fiqh, namely both of them are identified as Islamic law. In here, there seems to be no clarity of position and territory between Islamic law ( fiqh), which practically is identic with the results of ijtihad, with syari’ah which in its concrete meaning is identical with revelation. Therefore, the translation of syari’ah with Islamic law can actually be seen as a mistake, even though it has been widely used (including what the author uses in this paper). The term Islamic law may be more accurately equated with fiqh, namely the syari’ah which has been interpreted. and need to be poured into a law first (to be a positive law) so it becomes realistic and applicable. But to put it into a law, in order not to be counterproductive and can truly realize the benefit of individual and social life, the syari’ah cannot be applied at glance without a clear formula, perfect planning, precise calculations, and considerations wise, and not merely legalistic and formalistic nuances. Keywords: Syari’ah, Politic Identity, Islamic World, Contemporary Di kalangan umat Islam, terdapat anggapan atau pemikiran yang menyamakan begitu saja antara syari’ah dan fiqh, yakni keduanya sama-sama diidentifikasi sebagai hukum Islam. Di sini tampak tidak adanya kejelasan posisi dan wilayah antara hukum Islam ( fiqh), yang pada prakteknya identik dengan hasil ijtihad, dengan syari’at yang dalam arti kongkritnya identik dengan wahyu. Karena itu, penerjemahan syari’ah dengan hukum Islam sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah kekeliruan, walaupun telah digunakan secara luas (termasuk yang penulis gunakan dalam makalah ini). Istilah hukum Islam barangkali lebih tepat disamakan denga fiqih, yakni syariat yang telah ditafsirkan. dan perlu dituangkan terlebih dahulu ke dalam sebuah undang-undang (menjadi hukum positif) sehingga menjadi realistik dan aplikatif. Namun untuk menuangkannya ke dalam sebuah undang-undang, agar tidak kontraproduktif dan benarbenar dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan individu maupun sosial, syari’ah tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa formula yang jelas, perencanaan yang matang, perhitungan yang tepat, dan pertimbangan yang bijaksana, serta tidak bernuansa legalistik dan formalistik belaka. Kata Kunci: Syari’ah, Identitas politik, Dunia Islam, Kontemporer
RELIGIOUS MODERATION AS A RESPONSE TO RADICALISM: INSIGHTS FROM THE QUR’AN, HADITH, AND THE PROPHET’S CHARACTER Suparta, Mundzier; Hady, Yazid; Abusiri, Abusiri; Mubin, Fatkhul
Hikmah: Journal of Islamic Studies Vol 21, No 1 (2025): Hikmah Journal of Islamic Studies
Publisher : STAI ALHIKMAH Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47466/hikmah.v21i1.344

Abstract

AbstractReligious radicalism in Indonesia deviates from Islam’s core values of justice, mercy, and balance, often manifesting in exclusivism, intolerance, and violence. This article explores the normative principles of religious moderation (wasathiyyah) as expressed in the Qur’an, Hadith, and the Prophet Muhammad’s exemplary character, analysing their relevance in countering contemporary radicalism. Using a qualitative method, it examines primary Islamic texts and secondary scholarship, identifying key themes through socio-historical interpretation and maqāṣid al-sharī‘ah. The findings show that moderation understood as a balanced middle path between excess (ifrāṭ) and negligence (tafrīṭ) is a central Islamic tenet, affirmed in Q.S. Al-Baqarah: 143 and Q.S. Al-Hujurat: 13. The Prophet embodied moderation through gentleness, openness, and respect for diversity, providing a model for balanced thought and practice. Moderation also applies to theology, worship, ethics, and law, shaping an inclusive, peace-oriented Islamic framework. Integrating these values into education, preaching, and policy is vital to counter radicalism, strengthen tolerance, and maintain Islam’s role as rahmatan lil-‘ālamīn. Moderation thus emerges as both a normative imperative and an effective strategy for harmony in pluralistic societies.AbstrakRadikalisme agama di Indonesia menyimpang dari nilai inti Islam, yaitu keadilan, kasih sayang, dan keseimbangan, yang sering termanifestasi dalam sikap eksklusif, intoleran, dan kekerasan. Artikel ini mengkaji prinsip normatif moderasi beragama (wasathiyyah) sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an, Hadis, dan teladan Nabi Muhammad SAW, serta relevansinya dalam menghadapi radikalisme kontemporer. Dengan metode kualitatif, penelitian ini menelaah teks-teks Islam primer dan literatur akademik sekunder, mengidentifikasi tema utama melalui interpretasi sosio-historis dengan pertimbangan maqāṣid al-sharī‘ah. Temuan menunjukkan bahwa moderasi—jalan tengah yang seimbang antara ifrāṭ (berlebihan) dan tafrīṭ (meremehkan)—merupakan ajaran utama Islam, ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah: 143 dan Q.S. Al-Hujurat: 13. Nabi meneladani moderasi melalui kelembutan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap keragaman, menjadi model bagi keseimbangan pemikiran dan praktik. Moderasi juga mencakup akidah, ibadah, etika, dan hukum, membentuk kerangka Islam yang inklusif dan damai. Integrasi nilai-nilai ini dalam pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik penting untuk melawan radikalisme, memperkuat toleransi, dan menjaga Islam sebagai rahmatan lil-‘ālamīn. Moderasi terbukti sebagai keharusan normatif dan strategi efektif membangun harmoni dalam masyarakat plural.