Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Selfie sebagai Perangkat Citra Diri Masyarakat Urban -, Kusrini
Journal of Urban Societys Arts Vol 13, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Selfie menjadi salah satu fenomena yang mudah ditemui dalam masyarakat urban.Tercatat beberapa kepala negara dan publik figur ikut larut dalam keramaian berfotodiri. Pembuatan selfie pun kadang tidak mengenal tempat dan suasana sehinggamemancing pro dan kontra. Berbagai komentar terlontar, penelitian juga dilakukanuntuk mengulik fenomena selfie lebih dalam. Dari sisi fotografi, foto selfie memilikitema yang sama dengan foto potret, yaitu tentang gambar diri. Hanya saja, dalamfoto potret dapat dirasakan karakter personal yang tertangkap kamera. Ekspresi dankomunikasi yang terbangun di dalamnya adalah antara fotografer dengan penikmatfoto, sedangkan dalam foto selfie, interaksi cenderung dengan diri sendiri yangtersaji dalam layar kamera. Selain itu, sebuah foto pada dasarnya dapat digunakanuntuk konstruksi identitas. Identitas personal dapat dikonstruksi dari atribut-atributyang diusung oleh subjek foto. Atribut fisik langsung dapat dilihat dari penampilanyang tersaji. Atribut ekspresi merupakan representasi karakter yang biasanya berupaperilaku yang terekam kamera. Hal itu agak berbeda dengan selfie. Pada selfie,konstruksi identitas yang terbentuk mengarah pada upaya pembentukan citra diri.Foto-foto yang diunggah digunakan untuk membentuk kesan positif atau baik. Selfie as a Tool of Urban Society’s Self Image. Selfie is one of the phenomena that iseasily found in urban society.It is noted that several heads of state and public figures getinvolved to take pictures of themselves. Sometimes, making selfie does not pay attentionto the time and atmosphere so that it may cause pro and contra. Various commentscame out, and the study was also conducted to do the research of selfie. In terms ofphotography, selfie and portrait of photography have the same theme; they are about selfimage. However, the personal character of the portraits can be found and is caught oncamera. The expression and communication built in it is among the photographers andphoto lovers. Meanwhile, the interaction on selfie portraits tends to talk about thempresented on the camera screen. In addition, a picture is basically used for constructingidentity. Personal identity can be constructed from the attributes carried by the subject.Direct physical attributes can be seen from the appearance presented. While theexpression attribute is usually a representation of character behavior caught on camera.It is different from selfie. In selfie, the construction of identity formed is directed to theformation of self-image. The photographs uploaded are used to form a positive or niceimpression.
Potret Diri Digital dalam Seni dan Budaya Visual Kusrini Kusrini
Journal of Urban Society's Arts Vol 2, No 2 (2015): October 2015
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v2i2.1448

Abstract

Selfie merupakan bentuk tidak resmi (slang) dari potret diri digital (digital self-portraits). Keberadaannya semakin berkembang. National #Selfie Gallery di London pada 2013 menunjukkan bahwa jenis foto ini memiliki kelayakan untuk masuk galeri dan disebut sebagai karya seni. Sejumlah 19 seniman berfoto selfie dan hasilnya dipamerkan dalam bentuk video berdurasi singkat, masing-masing sekitar 30 detik. Untuk sampai di ruang pamer galeri, foto-foto selfie tersebut melalui tahap kurasi oleh kurator. Terdapat seleksi teknik dengan perangkat yang ada di dunia seni. Pada tahap selanjutnya, foto-foto selfie tersebut masuk galeri. Saat lolos seleksi dan dipamerkan di ruang galeri, serta dinikmati audiens seni, digital self-portraits menjadi sebuah karya seni dengan nilai isi makna seni, termasuk nilai estetis, serta nominal tertentu saat dibeli oleh kolektor. Jenis foto yang mengelilingi masyarakat kota tidak hanya selfie dan potret diri, namun semakin beragam. Di mana pun bertemu dengan foto, hingga dalam pengambilan keputusan maupun tindakan, berdasarkan pada apa yang dilihat. Di ranah ini, foto sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat membentuk budaya visual. Dari budaya visual ini, bidang-bidang kehidupan lain ikut terpengaruh. Ketika foto menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan ataupun cara hidup masyarakat, bidang lain seperti ekonomi dan sosial turut larut di dalamnya. Perekonomian menjadikan dunia visual sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Dari sisi sosial, masyarakat menggantikan interaksi dan komunikasi langsung dengan media digital. Melihat dan mengukur seseorang dari relasi dari di media sosial, dan menilainya dari visual yang tertampil di jejaring sosial tersebut Selfie is a slang form of digital self-portrait. Now, its development has been increasing. National #Selfie Gallery in London in 2013 showed the eligibility of this type to enter the gallery and called it as a work of art. There were 19 artists taking their selfie and displayed the works in the form of short videos, each was about 30 seconds. Being displayed in the gallery, these photos of selfie had been through stages of curation by curators before they were displayed in the gallery. There was a technique of selection with the existing devices in the art world. When photographs passed the selection and were exhibited in the gallery space, and were enjoyed by the audiences, the digital self-portraits become a work of art which contain the art values in content, including aesthetics, and certain nominal when purchased by collectors. The types of photo surrounding the urban community are not only selfie and self-portrait, but more various upon them. Wherever photos are found, and when taking the decision and action in society, they are much influenced on what are seen. Based upon this realm, they have already become a part of community art which forms the visual culture. From this visual culture, other areas of life are affected. When photos become the inseparable part of life or community way of life, other areas like economic and social are fused within them. The economics makes the visual area becoming the prospective business area. From the social side, the community replaces the interaction and direct communication with the digital media. By having this understanding, we are able to see and measure a person by looking at his/her social relation through the social media, and giving the showed value as being found in its social networking.
Fotografi Jalanan: Membingkai Kota dalam Cerita Kusrini Kusrini
Journal of Urban Society's Arts Vol 3, No 2 (2016): October 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v3i2.1482

Abstract

Fotografi jalanan (street photography) menjadi sarana bagi fotografer Erik Prasetya untuk menggambarkan kota Jakarta secara visual dalam buku foto Jakarta: Estetika Banal. Di dalamnya terdapat hasil kerja fotografi selama sekitar 20 tahun yang berisi cerita tentang Jakarta. Foto-foto tersebut dicermati secara keseluruhan untuk mengetahui gambaran umum tentang Jakarta yang diusung oleh fotografer. Fotofoto tersebut dipilih sesuai dengan deskripsi umum dan dibahas lebih lanjut untuk mendapatkan cerita tentang Jakarta pada 1990-2000’an. Dalam foto-foto tersebut, Jakarta merupakan kota dengan masyarakat yang dinamis. Jalanan tidak pernah sepi dan tidak tidur meskipun di waktu malam. Bangunan, transportasi, para pekerja, mobilitas yang tinggi, menjadi bagian dari visual Jakarta, yang sekaligus menceritakan masih adanya kesenjangan ekonomi dan sosial masyarakatnya. Di dalamnya ternyata masih juga terdapat tawa dan kegembiraan. Semangat bertahan hidup di ibukota menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cerita tentang Jakarta. Keindahan foto terlihat dari imaji yang ditampilkan mengeksplorasi teknik manual yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta cerita yang hendak disampaikan. Keindahan lain dalam fotografi jalanan karya Erik Prasetya ini terdapat dari cerita visual yang tersaji. Fotografi jalanan tidak sekadar cerita tentang jalanan secara fisik, namun juga cerita tentang masyarakat di sepanjang jalan serta perjalanan kehidupan yang dilalui fotografer.  Street Photography: Framing City in Stories. Erik Prasetya is photographer who uses street photography (fotografi jalanan) to narrate visually Jakarta in a photo book titled Jakarta: Estetika Banal. There are photos of his work for 20 years about Jakarta. The photos are examined as a whole to know the general idea of Jakarta carried by the photographer. They are selected to get the general description and finally are studied further to get stories about Jakarta in late 1990-2000. In these photos, Jakarta is a city with a dynamic society. The streets are never quiet and do not sleep at night though. Building, transportation, greater mobility of workers, become parts of Jakarta visually, which also tell the persistence of economic and social discrepancy in society. However, there are laughter and exhilaration that we can find. The spirit to survive in the capital becomes an integral part of the story of Jakarta. The beauty of the photos came from the images are displayed exploring manual techniques adapted to the conditions and situations, and stories that would be submitted. Another beauty of street photography works by Erik Prasetya is that there is a visual story presented. Street photography is not just a story about the streets physically, but also stories of people found along them as well as the journey of life experienced by the photographer.
REPRESENTASI ‘KEKERASAN SIMBOLIK’ DALAM FOTO IKLAN: STUDI KASUS FOTO IKLAN CETAK PRODUK KECANTIKAN PEREMPUAN DALAM MAJALAH FEMINA TAHUN 2000 Fitriana Fitriana; Soeprapto Soedjono; Kusrini Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 5, No 2 (2021): Specta: Journal of Photography, Arts, and Media
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/specta.v5i2.6122

Abstract

Representation of ‘Symbolic Violence’ in Printed Advertisement Photo of Beauty Product in Femina Magazine Issue 2000. This study examines the representation of ‘symbolic violence’ in several advertisement photos in Femina magazine in 2000. The research used qualitative methods that focus on the discourse and value of advertised beauty products. Purposive sampling technique was used to choose the samples of the study. There are three advertisement photos that were re- viewed. The theories used in this study such as ‘symbolic violence’, representation, advertisement photography, and gender ideology were used in this study. Meanwhile, overall, the perspective of the research applied the gender approach. This is about the limitation of the research object that used female photo subjects associated with ‘symbolic violence’ represented in the verbal aspects such as headline, body copy, slogan, etc.. The results of the study were the discovery of forms of ‘symbolic violence’ in advertisement photo samples, such as the ideal construction of beauty, the culture of consumerism, the imposition of product information on consumers, and the domestication of women. ABSTRAKPenelitian ini membahas representasi ‘kekerasan simbolik’ dalam beberapa foto iklan di majalah Femina tahun 2000. Penelitian menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada wacana maupun nilai dari produk kecantikan yang diiklankan. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Terdapat tiga buah foto iklan yang dikaji. Teori yang digunakan adalah teori ‘kekerasan simbolik’, representasi, fotografi periklanan, dan ideologi gender.Secara keseluruhan, perspektif penelitian lebih berorientasi pada pendekatan gender. Hal ini tidak lepas dari pembatasan objek penelitian terkait ‘kekerasan simbolik’ yang terepresentasi pada subjek foto perempuan, termasuk aspek verbal seperti  head line, body copy, dan slogan. Hasil penelitian berupa ditemukannya bentuk-bentuk ‘kekerasan simbolik’ dalam sampel foto, seperti konstruksi ideal kecantikan, budaya konsumerisme, ‘pemaksaan’ informasi produk kepada konsumen, hingga domestikasi perempuan.
TRADISI MEKARE-KARE DI DESA BALI AGA TENGANAN PEGRINGSINGAN DALAM FOTOGRAFI DOKUMENTER I Wayan Aquaris Yanuarta; Pitri Ermawati; Kusrini Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1705.606 KB) | DOI: 10.24821/specta.v2i1.2468

Abstract

AbstrakPenciptaan seni fotografi "Tradisi Mekare-kare di Desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan dalam Fotografi Dokumenter" adalah penciptaan karya fotografi yang bertujuan untuk memaparkan serangkaian prosesi tradisi Mekare-kare (Perang Pandan) secara visual. Visualisasi dimulai dari rangkaian prosesi Nyikat, Hud Apisan, Metabuh Tuak, Ngastiti hingga puncak tradisi atau ritual Mekare-kare. Tradisi ini merupakan tradisi terbesar dan terpenting masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan karena merupakan ritual utama dan terbesar untuk memuja Dewa Indra. Data untuk pembuatan karya diperoleh dari hasil observasi dan eksplorasi, yaitu mengamati warga desa dan lingkungannya secara langsung di Desa Tenganan Pegringsingan, serta eksplorasi melalui serangkaian wawancara tentang tradisi Mekare-kare. Dalam perwujudannya, penciptaan karya fotografi dokumenter ini menggunakan pendekatan EDFAT (entire, detail, frame, angle, time). Metode ini dipilih agar memperoleh visualisasi yang bervariasi, detail subjek dapat terekam dengan baik, dapat menangkap setiap informasi secara utuh, dan memudahkan untuk merangkai karya menjadi sebuah cerita yang lengkap. Hasil karya fotografi yang terangkum dalam karya menceritakan rangkaian persiapan ritual Mekare-kare hingga saat ritual Perang Pandan. Setiap karya menyampaikan informasi secara mendalam tentang subjek foto pada tradiri Mekare-kare.Kata kunci:  tradisi, Mekare-kare, Tenganan Pegringsingan, fotografi dokumenter                                                       AbstractTradition of Mekare-kare in Bali Aga Tenganan Pegringsingan Village in Documentary Photography.The creation of "The Mekare-kare Tradition in Bali Aga Tenganan Pegringsingan Village in Documentary Photography" is the creation of photography works which aimed at exposing a series of Mekare-kare (Perang Pandan) tradition processions visually. Visualization started from a series of processions as Nyikat, Hud Apisan, Metabuh Tuak, Ngastiti to the peak ritual called Mekare-kare. Due to the largest and the most important tradition of Tenganan Pegringsingan village, it is the main and the greatest ritual to worship the God Indra.  Data were obtained from observation and exploration, observing the inhabitans and its surrounding directly in Tenganan Pengringsingan Village as well as exploring through a series of interview about Mekare-kare tradition.This photography project applied EDFAT method approach (entire, detail, frame, angle, time). This method was chosen in order to obtain varied visualizations, recording details of the subject properly, capturing comprehensive information, and making it easy to assemble the work into a complete story.  Resulting photography works depicted a series of ritual preparation of Mekare-kare until the execution of Perang Pandan. Each photo tried to deliver in-depth information about the subject of the photo at the Mekare-kare tradition.Keywords: tradition, Mekare-kare, Tenganan Pegringsingan, documentary photography
OPERATOR WANITA TAMBANG BATU BARA DI SANGATTA KUTAI TIMUR DALAM FOTOGRAFI DOKUMENTER Isroviana Isroviana; Pitri Ermawati; Kusrini Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1191.974 KB) | DOI: 10.24821/specta.v3i2.2808

Abstract

AbstrakSaat ini supir masih menjadi pekerjaan lelaki. Dunia pertambangan bukanlah pekerjaan yang mudah bagi wanita yang berprofesi sebagai operator dump truck heavy duty berukuran 14x17x6 m. Pekerjaan yang terlihat santai secara fisik, sebenarnya harus dibekali dengan mental yang kuat. Bukan hanya karena faktor lingkungan tetapi juga mayoritas rekan kerja mereka adalah lelaki. Peran ganda yang mereka miliki menjadi menarik ketika diangkat menjadi isu. Mulanya, bekerja adalah pilihannya sendiri namun saat ini mereka menjadi tulang punggung keluarga, tanggung jawabnya tidak lagi hanya memasak, mengurus anak, dan rumah tangga. Mereka bekerja selama 12 jam dengan dua tanggung jawab berbeda. Penciptaan karya ini dibuat dalam bentuk fotografi dokumenter dengan penggunaan warna foto hitam putih. Metode yang digunakan untuk penciptaan karya ini adalah observasi, wawancara, dan studi EDFAT. Sedangkan dalam pemilihan dan penyusunan alur foto menggunakan teknik elemen foto cerita dengan gaya deskriptif yang tidak menuntut susunan foto. Dengan demikian, cerita yang disampaikan memiliki kekuatan yang mendalam tentang operator wanita tambang batu bara tersebut, mereka bekerja dengan hati dan nyali. Dengan pekerjaan yang berat secara mental, para operator wanita memiliki cara sendiri untuk meringankan rasa lelah dan mengusir bosan dalam durasi pekerjaan yang tidak sebentar. Kata kunci: operator wanita, tambang batu bara, fotografi dokumenter  AbstractFemale Operatosr for Coal Mining in Sangatta East Kutai in Documentary Photography. At this time, being a driver is as man's job, not for woman. Mining world is not an easy job for woman as an 14 x 17x 6 m² dump heavy duty truck operator. The job that may look easy and relax physically but need strong mentality. Not only considering environmental factor but also their opposite sex workmate. The duality in their responsibility become very interesting issues. Not only take care of the household but also as their family's bread winner. this paper presented in black and white in documentary photography and using observation, interview and EDFAT study as the main methods. The descriptions style being choose in arranging and picking the pictures in order to widen the ideas given. Therefore the pictures can reveal deeper about the dual responsibilities the mining female workers taken in daily life and also reveal the way they are resting and relaxing the hard jobs. Keywords: female operators, coal mining, documentary photography 
FOTOGRAFI DOKUMENTER PERUBAHAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI DI PANTAI SADENG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA . Dyna; Pamungkas Wahyu Setiyanto; . Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 5, No 1 (2021): Specta: Journal of Photography, Arts, and Media
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/specta.v5i1.4298

Abstract

Documentary Photography of the Changes in Farming Community Life at Sadeng Beach, Gunungkidul Regency, Special Region of Yogyakarta. This photographic creation is about the farmers at Sadeng Beach, Gunungkidul who turned professions into fishermen since the port of Sadeng Beach was built. The different life from the two professions raises the idea to realize it into the medium of photography. The lives of farmers around Sadeng Beach are visualized in the form of documentary photography. This project used the EDFAT methods (entire, detail, frame, angle, time). This method was chosen in order to obtain varied visualizations, and the photos were in black and white to make the objects stand out. This photographic creation shows the activities of farmers who also become fishermen. The photos visualized the life of farming community at Sadeng Beach when they either work as a farmer or a fisherman, along with their interaction with natures and people around them.   ABSTRAKPenciptaan tugas akhir ini membahas tentang petani di Pantai Sadeng, Gunungkidul yang beralih profesi menjadi nelayan sejak dibangun pelabuhan Pantai Sadeng. Pola kehidupan yang berbeda dari kedua profesi tersebut memunculkan gagasan untuk menceritakannya melalui media fotografi. Kehidupan petani sekitar Pantai Sadeng divisualkan dalam bentuk karya fotografi dokumenter. Metode yang digunakan dalam penciptaan ini adalah metode EDFAT. Metode ini dipilih agar memperoleh visualisasi yang bervariasi. Karya fotografi yang diciptakan ditampilkan dalam karya hitam putih agar perhatian fokus ke objek. Karya fotografi dokumenter ini menampilkan aktivitas petani di kebun, alat bertani, hasil pertanian, pada bidang maritim divisualkan aktivitas mencari ikan, peralatan yang digunakan, menjual hasil tangkapan ke tengkulak, serta interaksi dengan nelayan lainnya. 
Pekerja Wanita Pengelola Tembakau Jember dalam Fotografi Dokumenter Morinda Lismawarta Citrifolia; Pamungkas Wahyu Setiyanto; Kusrini Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.97 KB) | DOI: 10.24821/specta.v3i1.2848

Abstract

Objek penciptaan karya fotografi ini membahas tentang kegiatan dan sisi lain pekerja wanita tembakau Jember di PTPN X. Sejak dulu pemerintahan Hindia-Belanda memilih pekerja wanita karena pengelolaan tembakau memerlukan keterampilan, ketekunan dan wanita tidak mempunyai kelainan buta warna. Penciptaan karya ini didasari oleh minimnya informasi tentang pekerja wanita tembakau di Indonesia sehingga karya ini diharapkan mampu memberi gambaran dan informasi tentang kehidupan para pekerja wanita tersebut dengan aktivitasnya di gudang tembakau. Karya berorientasi dengan kegiatan para pekerja tembakau sebagai dasar acuan proses penciptaan dengan menggunakan metode observasi, eksplorasi, dan eksperimental. Wujud karya berupa fotografi dokumeter mengarah ke jenis fotgrafi human interest yang membahas kehidupan para pekerja wanita pengelola tembakau, baik saat bekerja maupun sisi lain kehidupan mereka sehari-hari.Kata Kunci : pekerja wanita, tembakau, fotografi dokumenter
SELF PORTRAIT TENTANG KEHILANGAN DALAM FOTOGRAFI EKSPRESI Prasetya Yudha Dwi Sambodo; Kusrini Kusrini; Tanto Harthoko
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (816.201 KB) | DOI: 10.24821/specta.v2i2.2556

Abstract

AbstrakMelalui foto, seseorang tidak hanya merekam secara mekanis, melainkan masih mempunyai ruang untuk menciptakan ungkapan personalnya. Penciptaan karya seni ini mengungkapkan realitas personal akan nilai di balik peristiwa kehilangan yang dialami. Self portrait (potret diri) di sini hadir sebagai pengantar atas narasi dari hal yang tersirat dalam sebuah peristiwa kehilangan yang sifatnya lebih ke non-fisik, seperti kehilangan peran, waktu, keseimbangan, dan lainnya. Usaha memvisualisasikan narasi tentang kehilangan melalui self portrait yang artistik tidak terlepas dari pemanfaatan teknik fotografi yang digunakan. Selain eksplorasi tubuh dan benda yang menjadi penanda utama, efek yang dihasilkan dari teknik fotografi seperti slow shutter speed, double exposure, open flash, zoom, reflection, flare, dan lainnya juga dimanfaatkan menjadi penanda dalam keseluruhan narasi visual tentang kehilangan yang dibangun. Hasil penciptaan karya seni ini memanfaatkan perbendaharaan bahasa foto dengan menciptakan suatu hubungan logis dari objek-objek foto yang masing-masing sudah dikaitkan dengan ide atau makna tertentu. Makna tidak hanya dihasilkan lewat pose, melainkan juga benda dan teknik yang digunakan. Beberapa teknik yang biasanya dihindari dalam pemotretan seperti overexposed, blur, shaking, dan out of focus digunakan untuk menciptakan bahasa foto yang unik dan segar. Kata kunci: self portrait, kehilangan, fotografi ekspresi AbstractSelf Portrait about Loss in Fine Art Photography. Through a photo, someone is not only recorded mechanically, but also still has space or room to create their personal expression. The result of creating this art revealed the value of personal reality behind the suffer from a loss occurence. Self portrait in this context comes as an introduction for narratives of thing that is implicit in an occurrence of loss which has non physical character, such as losing role, time, the balances, and so on. Visualizing the narratives of losing through artistic self portrait could not be separated from the use of techniques in photography. Beside the exploration of the body and the things that became a major marker, the resulting effect of the techniques of photography such as slow shutter speed, double exposure, open flash, zoom, reflection, and flare could also be used as a maker in overall visual narrative about losing that was summed up. The creation of this art applied the ‘language’ of photo by creating a logical relationship from each photo object of which was associated with certain idea or meaning. The meaning was not only generated through the pose, but also through the objects and techniques which were used. Some techniques in photography were avoided to be used such as overexposed, blur, shaking, and out of focus to create the language of photo which was unique and fresh.  Keywords: self portrait,  loss, fine art photography
REPRESENTASI PHOTO OF THE YEAR WORLD PRESS PHOTO (WPP) 2005-2016 Kusrini Kusrini
Specta: Journal of Photography, Arts, and Media Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1195.003 KB) | DOI: 10.24821/specta.v2i1.2466

Abstract

Abstrak                                                                                                             Photo of the Year dari kontes foto World Press Photo (WPP) merupakan penghargaan tahunan yang diberikan Yayasan World Press Photo.  Penghargaan tersebut untuk menghormati kreativitas fotografer dalam karya visual dan ketrampilan membuat gambar yang menangkap dan mewakili suatu peristiwa, yang di dalamnya terdapat isu besar atau penting bagi foto jurnalistik. Kajian foto ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi peristiwa yang terdapat pada foto pemenang Photo of the Year World Press Photo 2005-2016. Data-data dikumpulkan dengan metode dokumen dan arsip serta literatur. Foto-foto yang dikaji dipilih melalui purposive sampling yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sarana tambahan yang digunakan untuk memilih foto adalah kial (gerak-gerik) subjek foto yang atraktif atau terdapat “aksi” yang mencolok secara visual. Dari foto terpilih, dianalisis melalui teori representasi dengan menggunakan pendekatan semiotika dari Roland Barthes tentang foto jurnalistik. Dari analisis foto dapat ditemukan jika foto-foto disajikan dengan pengolahan teknik yang kuat dan profesional sehingga kesan visual yang muncul tidak hanya dramatis, tetapi juga ironis. Foto-foto pemenang World Press Photo of the Year tersebut mampu menyajikan moment sesaat, namun menentukan (decicive moment) sehingga konstruksi peristiwa mampu menjelaskan lebih dari tampilan visualnya, juga sarat dengan konteks lingkungan fisik dan sosial. Kata kunci: representasi, Photo of the Year, World Press Photo, jurnalistik  Abstract Representation of Photo of The Year from World Press Photo (WPP) 2005-2016.Photo Of the Year from the World Press Photo (WPP) photo contest is an annual award given by the World Press Photo Foundation to honor the creativity of the photographer in the visual work and the skill in creating an image that captures and represents an event containing a big or important issue for photojournalism. This photo study was conducted to find out how the representation of events contained in the winning photo Photo of the Year World Press Photo 2005-2016. The data was collected by document and archive method along literature. Whereas the photos reviewed, be elected through purposive sampling in accordance with the objectives of the study. An additional means applied to select the photo was gesture (movement) showing an attractive photo subject or visually striking "action". The selected photographs were analyzed using theory of representation and semiotics approach from Roland Barthes about photojournalism. From photo analysis, it could be discovered that the photos were presented with a powerful and professional processing technique, so that the visual impression appearing was not only dramatic, but also ironic.  Photographs of World Press Photo Of the Year winners were able to present decicive moment, allowing construction of events explaining more of the visual appearance, also loaded with the context of social and physical environment. Keywords: representation, Photo of the Year, World Press Photo, journalistic