AbstrakAdalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus bekerja keras menjelang diberlakukannya pasar bebas di Asia. Kini masyarakat Asia, khususnya Indonesia mau atau tidak harus merespon pemberlakuakn kesepakatan bilateral dalam sebuah organisasi bersanama yang dikenal dengan ‘’Masyarakat Ekonomi Asia’’ (MEA), yang mulai berlangsung pada 2015. Para pengusaha dalam negeri pun mulai gelisah, khususnya para pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas kehadiran MEA, sepanjang produksi dalam negeri memenuhi standar kualitas yang diinginkan pasar Asia.Tulisan ini bertujuan untuk mengantarkan kita pada informasi, bagaimana kondisi organisasi pengusaha di Asia menghadapi kesepakatan bersama di bidang perdagangan ini. Apakah MEA akan benar-benar bisa memberikan arah bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya, dan masyarakat asia pada umumnya. Ataukah sebaliknya, malah akan merugikan produksi dalam negeri, khususnya bagi produksi yang tidak memiliki daya saing tinggi atau standar yang diinginkan pasar Asia. Di sisi lain, apakah barang-barang impor tersebut harus melalui standar kehalalan melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), khususnya bagi barang-barang pangan dan sandang, selain papan.Bahwa setiap barang pangan impor seperti daging, gula-gula, snack, dan semacamnya harus memiliki logo majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai bukti bahwa barang dimaksud sudah mememuhi standar kehalalan menurut syatiat Islam.Kata kunci: market share, qardul hasan, ceteris paribus, supply, demand, great depression. halal, dan haram.