Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Pertunjukan Liong dan Barongsai di Yogyakarta: Redefinisi Identitas Tionghoa -, Sudono; -, Suhartono; Simatupang, GR Lono Lastoro
PANGGUNG Vol 23, No 2 (2013): Eksplorasi Gagasan, Identitas, dam Keberdayaan Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v23i2.99

Abstract

ABSTRACT Since the reformation era, the Indonesian Chinese get their rights as citizens of the nation of Indo­ nesia. They earn the right to live as citizens as the other nations in Indonesia, including the practice of their religion and belief, as well as their culture. Nevertheless, political discrimination of the New Order government for three decades had created blockage impact on cultural transfer from one gene­ ration to the next. Today, when they get their freedom, the process of commodification of culture also played a role in redefining their identity. This study aims at determining how they define their identity. This study used a qualitative descriptive approach. The technique of collecting data used literature study, observations and in­depth interviews. The result of the study shows that commo­ dification of Chinese culture does not make the vanishment of their identity and culture, but it has strengthened the Chineseness and created the emergence of the new texts on Liong and Barongsai culture. Keywords: Liong, Barongsai, redefinition of Chinese identity  ABSTRAK Sejak lahirnya reformasi, orang Tionghoa Indonesia memperoleh hak mereka sebagai war- ga bangsa Indonesia. Hak hidup sebagaimana warga bangsa lainnya di Indonesia telah mereka peroleh kembali, termasuk menjalankan agama dan kepercayaan, serta budaya mereka. Namun demikian, kebijakan diskriminatif pemerintah Orde Baru selama tiga da- sawarsa berdampak pada tersumbatnya transfer budaya dari generasi ke generasi beri- kutnya. Kini, ketika kebebasan tersebut didapat, proses komodifikasi budaya juga ikut berperan dalam mendefinisikan identitas mereka kembali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mereka mendefinisikan identitas mereka. Penelitian ini meng- gunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengambilan data menggunakan studi literatur, pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi atas budaya Tionghoa tidak bermuara pada matinya identitas dan hilangnya kebudayaan Tionghoa, tetapi justru telah memperkuat ke-Tionghoaan dan juga muncul- nya teks-teks baru pada produk budaya Liong dan Barongsai. Kata kunci: Liong, Barongsai, redifinisi identitas Tionghoa
Pertunjukan Liong dan Barongsai di Yogyakarta: Redefinisi Identitas Tionghoa Sudono -; Suhartono -; GR Lono Lastoro Simatupang
PANGGUNG Vol 23, No 2 (2013): Eksplorasi Gagasan, Identitas, dam Keberdayaan Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.254 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v23i2.99

Abstract

ABSTRACT Since the reformation era, the Indonesian Chinese get their rights as citizens of the nation of Indo­ nesia. They earn the right to live as citizens as the other nations in Indonesia, including the practice of their religion and belief, as well as their culture. Nevertheless, political discrimination of the New Order government for three decades had created blockage impact on cultural transfer from one gene­ ration to the next. Today, when they get their freedom, the process of commodification of culture also played a role in redefining their identity. This study aims at determining how they define their identity. This study used a qualitative descriptive approach. The technique of collecting data used literature study, observations and in­depth interviews. The result of the study shows that commo­ dification of Chinese culture does not make the vanishment of their identity and culture, but it has strengthened the Chineseness and created the emergence of the new texts on Liong and Barongsai culture. Keywords: Liong, Barongsai, redefinition of Chinese identity  ABSTRAK Sejak lahirnya reformasi, orang Tionghoa Indonesia memperoleh hak mereka sebagai war- ga bangsa Indonesia. Hak hidup sebagaimana warga bangsa lainnya di Indonesia telah mereka peroleh kembali, termasuk menjalankan agama dan kepercayaan, serta budaya mereka. Namun demikian, kebijakan diskriminatif pemerintah Orde Baru selama tiga da- sawarsa berdampak pada tersumbatnya transfer budaya dari generasi ke generasi beri- kutnya. Kini, ketika kebebasan tersebut didapat, proses komodifikasi budaya juga ikut berperan dalam mendefinisikan identitas mereka kembali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mereka mendefinisikan identitas mereka. Penelitian ini meng- gunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengambilan data menggunakan studi literatur, pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi atas budaya Tionghoa tidak bermuara pada matinya identitas dan hilangnya kebudayaan Tionghoa, tetapi justru telah memperkuat ke-Tionghoaan dan juga muncul- nya teks-teks baru pada produk budaya Liong dan Barongsai. Kata kunci: Liong, Barongsai, redifinisi identitas Tionghoa
IMLEK, IDENTITAS DAN MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA Sudono Sudono; Suhartono Suhartono; G. R. Lono Lastoro Simatupang
ATRAT: Jurnal Seni Rupa Vol 1, No 1 (2013): MEDIA DALAM BUDAYA RUPA
Publisher : Jurusan Seni Rupa ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/atrat.v1i1.403

Abstract

Setelah kerusuhan Mei 1998 yang diikuti dengan lengsernya presiden Soeharto, etnis Tionghoa dapat bernafas lega dari tekanan diskriminasi dari pemerintahan Orde Baru. Selama tiga dekade, mereka tidak diperbolehkan menjalankan  kegiatan-kegiatan baik kegiatan keagamaan maupun budaya. Kini, pemerintah telah menjadikan hari raya Imlek sebagai hari raya nasional walaupun masih ada pro-kontra tentang Imlek sebagai hari raya keagamaan atau sekedar tradisi dan budaya. Di Yogyakarta, etnis Tionghoa dengan dukungan Pemerintah Daerah merayakan Imlek secara meriah selama kurang lebih lima hari yang dikemas dalam event Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta. Ada beberapa muatan dalam event tersebut antara lain yaitu pernyataan simbol identitas, pengembangan kepariwisataan dan multikulturalisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa event tersebut memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan wisata dan praktik multikulturalisme untuk membangun hubungan lintas etnis dan budaya yang lebih baik. Penelitian menggunakan metode studi literatur, pengamatan terlibat, dan wawancara.Kata Kunci: Imlek, Identitas, Multikulturalisme, Yogyakarta
Pertunjukan Liong dan Barongsai di Yogyakarta: Redefinisi Identitas Tionghoa Sudono -; Suhartono -; GR Lono Lastoro Simatupang
PANGGUNG Vol 23 No 2 (2013): Eksplorasi Gagasan, Identitas, dam Keberdayaan Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v23i2.99

Abstract

ABSTRACT Since the reformation era, the Indonesian Chinese get their rights as citizens of the nation of Indo­ nesia. They earn the right to live as citizens as the other nations in Indonesia, including the practice of their religion and belief, as well as their culture. Nevertheless, political discrimination of the New Order government for three decades had created blockage impact on cultural transfer from one gene­ ration to the next. Today, when they get their freedom, the process of commodification of culture also played a role in redefining their identity. This study aims at determining how they define their identity. This study used a qualitative descriptive approach. The technique of collecting data used literature study, observations and in­depth interviews. The result of the study shows that commo­ dification of Chinese culture does not make the vanishment of their identity and culture, but it has strengthened the Chineseness and created the emergence of the new texts on Liong and Barongsai culture. Keywords: Liong, Barongsai, redefinition of Chinese identity  ABSTRAK Sejak lahirnya reformasi, orang Tionghoa Indonesia memperoleh hak mereka sebagai war- ga bangsa Indonesia. Hak hidup sebagaimana warga bangsa lainnya di Indonesia telah mereka peroleh kembali, termasuk menjalankan agama dan kepercayaan, serta budaya mereka. Namun demikian, kebijakan diskriminatif pemerintah Orde Baru selama tiga da- sawarsa berdampak pada tersumbatnya transfer budaya dari generasi ke generasi beri- kutnya. Kini, ketika kebebasan tersebut didapat, proses komodifikasi budaya juga ikut berperan dalam mendefinisikan identitas mereka kembali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mereka mendefinisikan identitas mereka. Penelitian ini meng- gunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengambilan data menggunakan studi literatur, pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi atas budaya Tionghoa tidak bermuara pada matinya identitas dan hilangnya kebudayaan Tionghoa, tetapi justru telah memperkuat ke-Tionghoaan dan juga muncul- nya teks-teks baru pada produk budaya Liong dan Barongsai. Kata kunci: Liong, Barongsai, redifinisi identitas Tionghoa
Representation of multicultural value in animation film Upin-Ipin seasion 6 "Ghost Month" Sudono, Sudono; Kuswatoro, RB Hendri
Informasi Vol 53, No 2 (2023): Informasi
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/informasi.v53i2.68159

Abstract

In the era of advances in information technology, early childhood education can use various media, including film, which is considered a very effective means of conveying messages or ideologies with audio-visual power. The animated film Upin-Ipin, as one of the contestants in the arena of animated film ideology, has an important role in instilling moral values in children. Through the moral message conveyed through the film, the personality formation of young children can be aligned with the moral message conveyed. This study, which applies a qualitative research approach with library methods, uses primary and secondary data as sources of information. Observation and documentation techniques were used to collect data, while data analysis adopted Roland Barthes' semiotic analysis model. The results of the study show that the animated film Upin and Ipin presents multicultural values as part of their Islamic identity, which is reflected in their friendly relationships with characters such as Jarjit (of Indian descent) and Mei-mei (of Chinese descent). Despite coming from different religious and ethnic backgrounds, Upin-Ipin and their friends can interact harmoniously, creating an inclusive playing environment.
Evaluasi Kinerja Penilik PAUD Non Formal Berdasarkan Kompetensi Supervisi Akademik Menggunakan Model CIPP di Kabupaten Tegal Sudono, Sudono; Hartinah, Sitti; Nasucha, Muntoha
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 9 No. 1 (2025)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja Penilik PAUD Non Formal di Kabupaten Tegal berdasarkan kompetensi supervisi akademik dengan menggunakan model CIPP. Evaluasi dilakukan pada empat komponen utama, yaitu Context, yang mencakup analisis dasar hukum dan urgensi supervisi akademik; Input, yang menilai kompetensi, sumber daya, serta kesiapan fasilitas dalam mendukung supervisi akademik; Process, yang mengkaji metode pelaksanaan supervisi, kendala yang dihadapi, serta efektivitas bimbingan yang diberikan; dan Product, yang mengevaluasi dampak supervisi akademik terhadap peningkatan mutu pendidikan PAUD Non Formal di Kabupaten Tegal. Penelitian ini menggunakan desain evaluatif berbasis metode kualitatif. Data deskriptif, termasuk perkataan dan tindakan masyarakat, akan dihasilkan oleh penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Populasi penelitian mencakup seluruh Penilik PAUD Non Formal di Kabupaten Tegal serta pendidik dan tenaga kependidikan yang menjadi sasaran supervisi akademik. Data yang diperoleh dianalisis melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, serta penarikan dan verifikasi kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supervisi akademik memiliki dasar hukum yang kuat, namun masih terdapat keterbatasan dalam pemahaman lembaga PAUD terhadap kebijakan ini, sehingga diperlukan sosialisasi lebih lanjut. Dari sisi input, jumlah penilik masih terbatas, dan fasilitas pendukung belum memadai, menyebabkan pendampingan belum optimal meskipun penilik memiliki kompetensi dasar yang baik. Pada aspek proses, supervisi akademik dilakukan melalui observasi, wawancara, dan evaluasi dokumen, namun terkendala oleh keterbatasan waktu, koordinasi yang kurang efektif, serta resistensi dari beberapa kepala PAUD. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan partisipatif. Dari evaluasi hasil, supervisi akademik terbukti memberikan dampak positif terhadap peningkatan kompetensi pendidik, kualitas pengelolaan PAUD, serta implementasi kurikulum, terutama dalam perencanaan pembelajaran, penerapan metode pengajaran, dan asesmen perkembangan anak. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi upaya peningkatan kinerja penilik PAUD melalui penguatan kebijakan, optimalisasi sumber daya, serta pengembangan metode supervisi yang lebih efektif dan berbasis praktik di lapangan.