Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Jejak Karawitan Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna Sudirga, Komang; Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 3 (2015): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (848.148 KB) | DOI: 10.31091/sw.v3i0.218

Abstract

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dari “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi dan Makna”. Karena penelitian pada tahun pertama ini menyangkut pada 22 Naskah dan sangat sulit untuk ditemukan naskah-naskahnya, maka dalam penulisan artikel ini hanya akan menampilkan jejak-jejak karawitan yang tersurat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha saja, sehingga bahasan artikel ini lebih fokus dan dapat dikembangkan menjadi bahasan untuk tulisan yang lain dengan mengambil bahasan pada karya kesusastraan lainnya. Dengan demikian diharapkan pembahasan bentuk, fungsi, dan makna istilah karawitan pada tahun 1028 -1035 di Jawa Timur penguraiannya dapat lebih jelas. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, yaitu melalui heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Khusus untuk artikel ini, pada tahap heuristik ditemukan dua buah Kekawin Arjuna Wiwaha yaitu koleksi Perpustakaan Nasional dan Koleksi Gedong Kertya. Kritik dilakukan secara internal melalui penerjemahan, yang dilanjutkan dengan interpretasi terhadap terjemahan dari dua naskah Kekawin Arjuna Wiwaha, dan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan mengenai jejak karawitan dalam kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, fungsi dan makna. Perubahan bentuk atau perwujudan dan juga penyebutan nama dari instrumen karawitan yang tersurat dalam kakawin Arjuna Wiwaha ada yang berubah dan ada pula yang tetap, seperti Mredangga yang sekarang dikenal dengan Istilah bedug. Perubahan nama juga terjadi dari berebet menjadi Cengceng. Hal ini bisa saja dikarenakan penyebutan nama instrumen didasarkan pada bunyi yang dihasilkannya seperti bedug karena bunyinya dug dug dug, dan cengceng karena karena ketika dibunyikan, bunyinya ceng ceng ceng. Ada istilah karawitan yang saat ini tidak ditemukan di belahan Nusantara seperti kata wina sejenis kecapi dan rawanahasta sejenis rebab. Wina kalau memang sejenis kecapi kemungkinan bentuknya lain dengan kecapi mungkin saja berkembang di belahan nusantara yang lain karena kecapi hanya berkembang di Sunda. Sama halnya dengan Rawanahasta yang diartikan sejenis rebab maka instrumen ini berkembang di belahan nusantara yang lain.This writing is a part of research entitled “Tracing Karawitan in Old Java Script: The Study of Form, Function and Meaning”. The first year research is that of 22 scripts and they are very difficult to find, hence in the writing of this article will merely put forward the traces of karawitan written in Kakawin Arjuna Wiwaha. Therefore, the discussion of this article is more focus and can be developed as a reference to another writing about different literature. Thereby, it hopes that the commentary about form, function and meaning of the term karawitan in 1028 -1035 in East Java can be clearer.This research uses historical method that is through heuristic, criticism, interpretation and historiography. Specifically for this article, in the stage of heuristic it was found two Kekawin Arjuna Wiwaha that are collection of National Library and Gedong Kertya. Criticism was done internally through translation then interpreting the translation of two Kekawin Arujna Wiwaha scripts. Finally, the historiography is writing about karawitan trace in kakawin Arjuna Wiwaha: Study about Form, Function and Meaning. Changes of form or materialization and mentioning the name of karawitan instrument written in kakawin Arjuna Wiwaha are present, but there is also the unchanged ones, such as Mredangga nowadays known as bedug. The changes of name also occur from berebet to cengceng. This can be happened because mentioning the instrument name is usually based on the sound produced such as bedug which sounds dug dug dug and cengceng produces the sounds ceng ceng ceng. There is karawitan term that can’t be found in Indonesian archipelago nowadays such as wina, a sort of kecapi, and rawanahasta, a sort of rebab. If Wina was a sort of kecapi, the form was probably different with kecapi. It was probably developing in another part of Indonesian archipelago because kecapi was only developing in Sunda. The same as Rawanahasta which is interpreted as a sort of rebab, therefore this instrument was developing in another part of Indonesian archipelago.
Mrĕdangga: Sebuah Penelusuran Awal Tentang Gamelan Perang Di Bali Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1629.914 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i1.281

Abstract

Artikel ini berisi penelusuran awal tentang gamelan perang di Bali yang berasal dari luar Bali. Gamelan perang adalah gamelan yang dipergunakan dalam peperangan dan berfungsi sebagai gamelan untuk memberikan semangat dalam peperangan. Artikel ini bertujuan untuk membahas sebaran kata mredangga dalam berbagai naskah kuno yang berbentuk kakawin dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para peneliti terdahulu. Naskah-naskah kuno sebagai salah satu sumber sastra sejarah, banyak menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan kebudayaan terutama dengan seni karawitan. Kata Mredangga sendiri sebagai gamelan perang tersurat dalam pupuh X nomor 8 kakawin Bharatayudha. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang dilakukan dengan empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Mredangga bisa berdiri sendiri atau sebagai instrumen dan sebagai sebuah kelompok instrumen ataupun diiringi oleh kata-kata lain yang menyebutkan instrumen lainnya. Sebagai gamelan yang berfungsi untuk peperangan, gamelan ini mempunyai fungsi untuk membuat respon fisik antara lain melakukan penyerangan terhadap musuh.This article contains a preliminary search about the war gamelan in Bali originating from outside Bali. The war gamelan is a gamelan that is used in war and serves as a gamelan to give spirit in war. This article aims to discuss the spread of word mredangga in various ancient manuscripts in the form kakawin and has been translated into Indonesian by the researchers earlier. Ancient texts as one source of historical literature, many save historical events related to culture, especially with the art of karawitan. Mredangga word itself as a war gamelan written in pupuh X number 8 kakawin Bharatayudha.The method used in this study is the historical method, which is done with four stages of work namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Mredangga can stand alone or as an instrument and as a group of instruments or accompanied by other words that mention other instruments. As a gamelan that serves for war, this gamelan has a function to create a physical response, among others, to attack the enemy.
Jejak Karawitan dalam Kakawin Sumanasantaka Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah; Sudirga, I Komang
PANGGUNG Vol 28, No 1 (2018): Kontestasi Tradisi: Seni dalam Visualisasi Estetik, Naskah, dan Pertunjukan
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v28i1.272

Abstract

ABSTRACTKakawin Sumanasantaka (Death Because Sumanasa Flowers) is one source of the search trail musical term of from about 22 manuscript Old Javanese literature.This article is part of the research entitled "Traces Track Karawitan in Ancient Java Script: Assessment Form, function and meaning". This discussion is intended to clarify the form and function of musical instruments during the period in East Java around the 10th century.This study uses historical method which, through the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. At this stage of heuristics used kakawin Sumanasantaka is the work of Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter.,year 2014 also found written entitledKakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa, Karya Mpu Monaguna., Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Criticism is done internally through direct translation as the facts speak and the last is the stage of historiography. Form and function in kakawin Sumanasantaka musical instruments, can not be separated from the function of musical instruments in the future, namely as a means Javanese ceremonies and as accompanist secular activities.Keywords: form, function, karawitan, kakawin, Sumanasantaka ABSTRAKKakawin Sumanasantaka (Mati Karena Bunga Sumanasa) merupakan salah satu sumber penelusuran jejak istilah karawitan dari sekitar 22 Naskah kesusastraan berbahasa Jawa Kuno awal.Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi, dan Makna”. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperjelas bentuk dan fungsi instrumen musik pada masa periode Jawa Timur sekitar abad ke-10.Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik ditemukan sebuah kakawin Sumanasantaka yaitu karya Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter. Tahun 2014, ditemukan juga tulisan berjudul Kakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa, Karya Mpu Monaguna., Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kritik dilakukan secara internal melalui terjemahan secara langsung sebagai fakta yang berbicara dan yang terakhir adalah tahap historiografi. Bentuk dan fungsi Instrumen karawitan dalam kakawin Sumanasantaka, tidak terlepas dari fungsi instrumen musik pada masa Jawa Kuna yaitu sebagai sarana upacara dan sebagai pengiring kegiatan sekuler.Kata kunci: bentuk, fungsi, karawitan, kakawin, Sumanasantaka
TRACES OF MUSICAL INSTRUMENTS IN KAKAWIN BHARATAYUDHA Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah; Sudirga, I Komang
E-Journal of Cultural Studies Vol 9, No 2 (2016): May 2016
Publisher : Cultural Studies Doctorate Program, Postgraduate Program of Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article is part of the research entitled "Melacak Jejakdari Karawitan dalam Naskah JawaKuno: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna" based on 22 early Old Javanese literature manuscripts.This article is specifically talking about the form and function of musical instruments that are written in the Kakawin Bratayudha only to clarify the form and function of musical instruments during the reign of Jayabaya in Kediri, East Java. This study uses historical method, namely, through the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results showed that at the stage of heuristics three kakawin are found including Bharatayudha by I WayanWarna in 1990, works of R.M. SutjiptoWirjosuparto 1968 entitled Kakawin BharataYudha, and a translation book Kakawin BharataYudha by I Gusti Bagus Sugriva, 2012. Criticism is done internally through translation and also by comparing the three works from the text, followed by interpretation of the translation of three Kakawin BharataYudha, and the last is the stage of historiography. The function of musical instruments in the kakawinof BharataYudhacan not be separated from the function of musical instruments at the time of the Ancient Javanese namely as a means of ceremonies and to accompany secular activities. Secular activity in question is entertainment, communication, respect, war, economy, dowry, and symbol (Fernandus, 2003: 381-415). Musical instruments contained in kakawin BharataYudha, is still found, but there also have been renamed as Mredangga (drum) and rawanahasta (a type of fiddle). Harps only thrive in Sundanese, and Rawanahasta grow and spread in different parts of the archipelago.
Jejak Karawitan Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna Komang Sudirga; Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 (2015): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (848.148 KB) | DOI: 10.31091/sw.v3i0.218

Abstract

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dari “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi dan Makna”. Karena penelitian pada tahun pertama ini menyangkut pada 22 Naskah dan sangat sulit untuk ditemukan naskah-naskahnya, maka dalam penulisan artikel ini hanya akan menampilkan jejak-jejak karawitan yang tersurat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha saja, sehingga bahasan artikel ini lebih fokus dan dapat dikembangkan menjadi bahasan untuk tulisan yang lain dengan mengambil bahasan pada karya kesusastraan lainnya. Dengan demikian diharapkan pembahasan bentuk, fungsi, dan makna istilah karawitan pada tahun 1028 -1035 di Jawa Timur penguraiannya dapat lebih jelas. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, yaitu melalui heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Khusus untuk artikel ini, pada tahap heuristik ditemukan dua buah Kekawin Arjuna Wiwaha yaitu koleksi Perpustakaan Nasional dan Koleksi Gedong Kertya. Kritik dilakukan secara internal melalui penerjemahan, yang dilanjutkan dengan interpretasi terhadap terjemahan dari dua naskah Kekawin Arjuna Wiwaha, dan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan mengenai jejak karawitan dalam kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Bentuk, fungsi dan makna. Perubahan bentuk atau perwujudan dan juga penyebutan nama dari instrumen karawitan yang tersurat dalam kakawin Arjuna Wiwaha ada yang berubah dan ada pula yang tetap, seperti Mredangga yang sekarang dikenal dengan Istilah bedug. Perubahan nama juga terjadi dari berebet menjadi Cengceng. Hal ini bisa saja dikarenakan penyebutan nama instrumen didasarkan pada bunyi yang dihasilkannya seperti bedug karena bunyinya dug dug dug, dan cengceng karena karena ketika dibunyikan, bunyinya ceng ceng ceng. Ada istilah karawitan yang saat ini tidak ditemukan di belahan Nusantara seperti kata wina sejenis kecapi dan rawanahasta sejenis rebab. Wina kalau memang sejenis kecapi kemungkinan bentuknya lain dengan kecapi mungkin saja berkembang di belahan nusantara yang lain karena kecapi hanya berkembang di Sunda. Sama halnya dengan Rawanahasta yang diartikan sejenis rebab maka instrumen ini berkembang di belahan nusantara yang lain.This writing is a part of research entitled “Tracing Karawitan in Old Java Script: The Study of Form, Function and Meaning”. The first year research is that of 22 scripts and they are very difficult to find, hence in the writing of this article will merely put forward the traces of karawitan written in Kakawin Arjuna Wiwaha. Therefore, the discussion of this article is more focus and can be developed as a reference to another writing about different literature. Thereby, it hopes that the commentary about form, function and meaning of the term karawitan in 1028 -1035 in East Java can be clearer.This research uses historical method that is through heuristic, criticism, interpretation and historiography. Specifically for this article, in the stage of heuristic it was found two Kekawin Arjuna Wiwaha that are collection of National Library and Gedong Kertya. Criticism was done internally through translation then interpreting the translation of two Kekawin Arujna Wiwaha scripts. Finally, the historiography is writing about karawitan trace in kakawin Arjuna Wiwaha: Study about Form, Function and Meaning. Changes of form or materialization and mentioning the name of karawitan instrument written in kakawin Arjuna Wiwaha are present, but there is also the unchanged ones, such as Mredangga nowadays known as bedug. The changes of name also occur from berebet to cengceng. This can be happened because mentioning the instrument name is usually based on the sound produced such as bedug which sounds dug dug dug and cengceng produces the sounds ceng ceng ceng. There is karawitan term that can’t be found in Indonesian archipelago nowadays such as wina, a sort of kecapi, and rawanahasta, a sort of rebab. If Wina was a sort of kecapi, the form was probably different with kecapi. It was probably developing in another part of Indonesian archipelago because kecapi was only developing in Sunda. The same as Rawanahasta which is interpreted as a sort of rebab, therefore this instrument was developing in another part of Indonesian archipelago.
Jejak Karawitan dalam Kakawin Sumanasantaka Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti; I Komang Sudirga
PANGGUNG Vol 28, No 1 (2018): Kontestasi Tradisi: Seni dalam Visualisasi Estetik, Naskah, dan Pertunjukan
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (637.559 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v28i1.272

Abstract

ABSTRACT Kakawin Sumanasantaka (Death Because Sumanasa Flowers) is one of sources in searching musical terms from about 22 manuscripts in early Old Javanese literature. This article is part of the research entitled "Tracing The Karawitan Trail in an Ancient Java Script: Studies of Its Forms, Functions and Meanings". The study is intended to clarify the forms and functions of musical instruments during the East Java period around the 10th century. This study uses a historical method, following the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. At the heuristical stage, kakawin Sumanasantaka written by Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter was found. In 2014, it was also found a work entitled Kakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa Karya Mpu Monaguna: Kajian Sebuah Puisi Epik Jawa Kuno. A critical analysis of the texts is applied internally through a direct translation and then followed by the historiography process. Forms and functions of musical instruments in Kakawin Sumanasantaka cannot be separated from the functions of musical instruments in the Old Java period, as a means of Javanese ceremonies and accompaniments of secular activities.Keywords: form, function, karawitan, kakawin, Sumanasantaka ABSTRAK Kakawin Sumanasantaka (Mati Karena Bunga Sumanasa) merupakan salah satu sumber penelusuran jejak istilah karawitan dari sekitar 22 naskah kesusastraan berbahasa Jawa Kuno awal. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi, dan Makna”. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperjelas bentuk dan fungsi instrumen musik pada masa periode Jawa Timur sekitar abad ke-10. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik ditemukan sebuah kakawin Sumanasantaka yaitu karya Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter. Tahun 2014, ditemukan juga tulisan berjudul Kakawin Sumanasantaka, Mati Karena Bunga Sumanasa Karya Mpu Monaguna: Kajian Sebuah Puisi Epik Jawa Kuno. Kritik dilakukan secara internal melalui terjemahan secara langsung sebagai fakta yang berbicara, dan yang terakhir adalah tahap historiografi. Bentuk dan fungsi instrumen karawitan dalam Kakawin Sumanasantaka  tidak terlepas dari fungsi instrumen musik pada masa Jawa Kuna yaitu sebagai sarana upacara dan sebagai pengiring kegiatan sekuler.Kata kunci: bentuk, fungsi, karawitan, kakawin, Sumanasantaka
Jejak Seni Pertunjukan Bali Kuna Dalam Karya Kesusastraan Usana Bali Mayantaka Carita Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 36 No 2 (2021): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v36i2.1247

Abstract

Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul “Inventarisasi Istilah-istilah Seni Pertunjukan Bali dalam Karya Kesusastraan Jaman Gelgel (1401-1687) dan bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana seni pertunjukan pada masa Bali kuno masih bertahan dan berkembang dengan baik pada masa Gelgel, setelah penaklukan Majapahit. Berbagai karya pada masa Raja Waturenggong lahir di Bali, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah masa keemasan bagi seni sastra di Bali. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, yaitu melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Khusus untuk artikel ini karya kesusastraan pada masa Gelgel (1401-1687) dijadikan sebagai sumber primer untuk mengetahui berbagai seni pertunjukan yang lahir pada masa tersebut. Naskah Usana Bali Mayantaka Carita yang diambil dalam buku Karya Sastra Filsafat Kakawin Mayantaka Karya Danghyang Nirartha., karya, I. B. Agastia tahun 2018 terbitan Taman Sastra Wagiswari Dharmasabha karena karya kesusastraan tersebut paling banyak menyuratkan unsur-unsur seni pertunjukan Bali. Metode yang dipergunakan adalah deskripsi analisis dengan interpretasi faktual apa adanya. Berdasarkan Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa pada masa Raja Waturenggong masih terus dipertahankan dan sepertinya terdapat penambahan fungsi serta perubahan istilah terutama pada seni karawitan (instrumen).
Banjuran, Gamelan Prosesi Zaman Bali Kuna Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 37 No 1 (2022): Februari
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v37i1.1717

Abstract

This article is part of research entitled "The Evolution of the Balinese Gamelan", which is accompanied by an overview of the changes that occurred after the Gelgel era. This article aims to provide an overview of the Banjuran gamelan form as written in several ancient Balinese inscriptions. Balinese Karawitan experts often associate it with the Balaganjur gamelan, which is now developing in Bali. In order to obtain a comprehensive explanation, this articlewas compiled employing the historical method. The historiography stage in this study was conveyed through the delivery of critical-descriptive analysis. Although the Sukawana A I inscription actually states that Bali's historical era started from 804 AD, the close relationship between Bali and Central Java actually existed around the 7th century, which is proven through various archaeological findings. It certainly opens the suspicion that the Banjuran gamelan image is engraved in the Borobudur Temple’s reliefs. Many asymmetrical shapes of Balinese drums (kendang) are engraved in the reliefs. Furthermore, Balinese drums' shape is also engraved in the Tegawangi Temple’s reliefs in East Java. This form of the Banjuran gamelan is also strengthened by information and data from the Kakawin Nagarakretagama. Gamelan Banjuran is thought to be the forerunner of the development of the Balaganjur gamelan that is currently developing.
Dwaya Rupa Penggambaran Dua Karakter Dalam Satu Tokoh Wiwin Sari Putri, Ni Komang; kustiyanti, dyah; Ayu Desiari, Made
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3253

Abstract

This article discusses the creation of a new creative dance work that originates from the Panji Semirang story, the search for Galuh Candra Kirana when she disguised herself as Panji Semirang to look for her lost lover. The idea for this dance work is motivated by the phenomenon that exists around that when someone wants to be what other people want in order to be liked or respected by other people, they often forget their own identity. The purpose of creating a dance work. These are: (1) Inviting people to develop their creativity and improve their abilities in the art of dance, to create an original creative work through the processing and development of movement; (2) Become a source of reference for new works that will be created in the future; (3) To contribute to the progress and brilliance of dance creation in collaboration with the Wayan Geria Foundation. The process or stages of creation that are followed include: (1) Ngarencana, (2) Nuasen, (3) Makalin, (4) Nelesin, and (5) Ngebah. This work is realized in the form of a new dance creation consisting of seven female dancers depicting the characters Galuh Candra Kirana and Panji Semirang. The structure of this work is divided into three parts, namely beginning, content, and ending. The dance accompaniment used in this work is Gamelan Selonding with the addition of several instruments such as drums, flute, gentorag, cengceng ricik, and gong. This dance uses modified Balinese dance make-up and a semi-contemporary style fashion concept. The results of the dance creation process were performed at the Natya Mandala Building, Indonesian Institute of the Arts, Denpasar.
Karya Tari Kontemporer Butterfly Hug Tanalepy, Nada Lunetta Laura; Padmini, Tjok. Istri Putra; Kustiyanti, dyah
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3377

Abstract

The contemporary dance named Butterfly Hug is a type of dance study that originated from the creator's fascination with psychology that combined with art of dance. The inspiration behind this dance stems from the butterfly hug psychotherapy method. This dance emphasizes movements that the cross-shaped actions and the essence of embracing and patting, while doing the butterfly hug method. For the pursuit of the Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) Study/Project Independent program, the creator partnered with the Wayan Geria Foundation (GEOKS). The creation process of this dance adheres to the Alma Hawkins method, progressing through three distinct stages: exploration, improvisation, and forming. Comprising seven female dancers, the group performance spans a duration of 12 minutes. Crafting movements that exude creativity and sensitivity posed challenges in composing a piece that avoids monotony. Through this work, the creator aspires to offer a fresh perspective, especially within the artistic realm, by amalgamating two diverse disciplines to produce a unique artwork.