Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Pengaruh Penyalahgunaan Narkoba terhadap Perilaku Berkendara: Tinjauan Kasus Sopir Truk JFN Andryawan; George Anderson Tirta; Selvin Matthew Chandra; Yusuf Muhammad Yasin; Gesang Khalis
Jurnal Kewarganegaraan Vol 8 No 2 (2024): Desember 2024
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v8i2.7256

Abstract

Penyalahgunaan narkoba telah menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi perilaku berkendara dan meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Studi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penyalahgunaan narkoba terhadap perilaku berkendara dengan meninjau kasus sopir truk berinisial JFN yang terlibat dalam kecelakaan beruntun di Cipondoh, Tangerang. Sopir truk JFN terbukti positif menggunakan narkoba jenis sabu berdasarkan hasil tes urine, yang menyebabkan perilaku mengemudi ugal-ugalan dan berujung pada tabrakan yang melibatkan 16 kendaraan dengan enam korban luka-luka. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mengacu pada data empiris dari laporan media, regulasi lalu lintas, serta teori terkait pengaruh narkoba terhadap fungsi kognitif dan motorik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan narkoba memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengambil keputusan, mengontrol emosi, dan merespons situasi di jalan secara tepat. Selain itu, studi ini juga menyoroti kelemahan pengawasan terhadap pengemudi kendaraan berat, termasuk kurangnya tes narkoba rutin dan pengawasan operasional. Dari segi hukum, pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun. penyalahgunaan narkoba memiliki dampak signifikan terhadap keselamatan lalu lintas, khususnya dalam kasus pengemudi kendaraan berat. Penelitian ini merekomendasikan peningkatan pengawasan berkala, pelatihan keselamatan, dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Kata Kunci: Penyalahgunaan Narkoba,Perilaku Berkendara, Kecelakaan Lalu Lintas
PERAN RUMAH SAKIT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN Cora Venessa; Andryawan
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.62743

Abstract

Abstrak Hak masyarakat atas pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menetapkan tanggung jawab rumah sakit, tenaga medis, dan hak pasien. Perjanjian terapeutik menjadi instrumen penting dalam konteks ini, karena menegaskan kesepakatan dan hak serta kewajiban antara tenaga medis dan pasien terkait tindakan medis, sekaligus membangun komunikasi, kepercayaan, dan perlindungan hukum. Rumah sakit berperan strategis tidak hanya sebagai penyedia fasilitas, tetapi juga sebagai institusi yang menjamin mutu layanan, keselamatan pasien, dan pengawasan tenaga medis. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) untuk menganalisis posisi hukum rumah sakit dalam perjanjian terapeutik. Hasil kajian menunjukkan bahwa rumah sakit, meskipun tidak disebut secara langsung dalam perjanjian terapeutik, tetap merupakan pihak yang integral dan memikul tanggung jawab hukum atas pelaksanaan pelayanan medis. Dasar hukum keterlibatan tersebut tercermin dalam Pasal 1367 KUHPerdata tentang vicarious liability, Pasal 1233 KUHPerdata tentang perikatan, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan kewajiban rumah sakit untuk menjamin penyelenggaraan pelayanan yang aman dan bermutu. Sehingga Peneliti menyimpulkan bahwa tenaga medis bertindak dalam lingkup kewenangan rumah sakit, sehingga tanggung jawab atas mutu layanan, keselamatan pasien, dan pengawasan tindakan medis melekat pada institusi rumah sakit. Kata Kunci: Pelayanan Kesehatan; Rumah Sakit; Tenaga Medis; dan Perjanjian Terapeutik. Abstract The public’s right to health services is guaranteed by the Constitution and Law Number 17 of 2023 on Health, which establishes the responsibilities of hospitals and medical personnel as well as patients’ rights. The therapeutic agreement serves as an important instrument in this context, as it affirms the mutual consent, rights, and obligations between medical personnel and patients regarding medical treatment, while also fostering communication, trust, and legal protection. Hospitals play a strategic role not only as facility providers but also as institutions responsible for ensuring service quality, patient safety, and the supervision of medical personnel. This study employs a normative legal method with a qualitative approach through library research to analyze the legal position of hospitals within therapeutic agreements. The findings indicate that hospitals, although not explicitly mentioned in therapeutic agreements, remain integral parties that bear legal responsibility for the provision of medical services. The legal basis for this involvement is reflected in Article 1367 of the Indonesian Civil Code on vicarious liability, Article 1233 of the Indonesian Civil Code on obligations, and Law Number 17 of 2023 on Health, which emphasizes the hospital’s duty to ensure the delivery of safe and high-quality health services. Therefore, the researcher concludes that medical personnel act within the scope of the hospital’s authority, making the institution legally responsible for the quality of services, patient safety, and supervision of medical actions. Keywords: Health Services; Hospital; Healthcare Professionals; and Therapeutic Agreement
FUNGSI PEMBELAAN BIRO HUKUM PEMBINAAN DAN PEMBELAAN ANGGOTA IKATAN DOKTER INDONESIA (BHP2A IDI) DALAM PENYELESAIAN KASUS MEDIS Okthavianes Paulina Harun; Andryawan
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.62745

Abstract

Abstrak Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (BHP2A IDI) merupakan lembaga yang memiliki peran strategis dalam memberikan perlindungan hukum kepada dokter yang menghadapi sengketa medis di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fungsi pembelaan yang dijalankan oleh BHP2A IDI dalam penyelesaian kasus medis, dengan menekankan pada mekanisme dan strategi pembelaan yang diterapkan. BHP2A IDI menjalankan fungsi pembelaan secara komprehensif melalui tiga jalur utama, yaitu pembelaan litigasi di pengadilan pidana dan perdata, pembelaan non-litigasi melalui mediasi dan negosiasi, serta program rehabilitasi dan pembinaan pasca-sengketa. pendekatan non-litigasi yang diutamakan oleh BHP2A IDI mencerminkan komitmen untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui mediasi, klarifikasi medis, dan negosiasi dengan pihak pasien, sehingga menghindari proses peradilan yang bersifat adversarial. Setelah penyelesaian sengketa, BHP2A IDI melanjutkan dengan program rehabilitasi yang mencakup pemulihan reputasi, dukungan psikologis, dan pembinaan berkelanjutan agar dokter dapat kembali berpraktik sesuai etika profesi dan regulasi yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode normatif yuridis yang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Hukum dan permasalahan dikaji secara menyeluruh melalui penelitian kepustakaan, termasuk peraturan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa fungsi pembelaan ini tidak hanya melindungi hak-hak dokter dari kriminalisasi yang tidak tepat. Kata Kunci: Pelayanan Kesehatan; Rumah Sakit; Tenaga Medis; dan Perjanjian Terapeutik. Abstract The Legal Bureau for the Development and Defense of Members of the Indonesian Medical Association (BHP2A IDI) is an institution that has a strategic role in providing legal protection to doctors facing medical disputes in Indonesia. This study aims to analyze the defense function carried out by BHP2A IDI in resolving medical cases, with an emphasis on the defense mechanisms and strategies applied. BHP2A IDI carries out a comprehensive defense function through three main channels, namely litigation defense in criminal and civil courts, non-litigation defense through mediation and negotiation, and post-dispute rehabilitation and coaching programs. The non-litigation approach prioritized by BHP2A IDI reflects a commitment to resolving disputes peacefully through mediation, medical clarification, and negotiation with the patient, thereby avoiding adversarial judicial processes. After dispute resolution, BHP2A IDI continues with a rehabilitation program that includes reputation restoration, psychological support, and ongoing coaching so that doctors can return to practice in accordance with professional ethics and applicable regulations. This study uses a descriptive juridical normative method with a statutory approach. The law and issues were comprehensively examined through library research, including applicable legal regulations in Indonesia. The results of this study indicate that this advocacy function extends beyond protecting doctors' rights from inappropriate criminalization. Keywords: Health Services; Hospital; Healthcare Professionals; and Therapeutic Agreement
TINDAKAN MEDIS EUTHANASIA AKTIF DITINJAU DARI ASPEK HUKUM, ETIKA, DAN NILAI SOSIAL (STUDI PERBANDINGAN BELANDA DAN INDONESIA) Margolis Georgiana; Andryawan
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.62746

Abstract

Abstrak Salah satu isu yang paling kontroversial hingga sekarang adalah euthanasia aktif, yaitu tindakan medis yang sengaja dilakukan untuk mempercepat kematian pasien demi menghentikan penderitaan yang tidak tertahankan. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana perbedaan mendasar antara pandangan hukum, etika, dan nilai sosial di Indonesia dan Belanda terhadap penerapan euthanasia aktif. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undangan dan perbandingan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Belanda melegalkan euthanasia aktif melalui Termination of Life on Request and Assisted Suicide Act 2002, yang menetapkan due care criteria atau kriteria kehati-hatian sebagai syarat pelaksanaannya. Sistem hukum Belanda menempatkan otonomi individu sebagai dasar pengambilan keputusan medis dan menjadikan negara sebagai fasilitator hak. Sebaliknya, di Indonesia euthanasia aktif dilarang karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP, serta nilai moral dan religius yang hidup di masyarakat yang menempatkan kehidupan sebagai anugerah Tuhan yang tidak dapat diakhiri dengan sengaja. Perbandingan ini menunjukkan bahwa perbedaan paradigma hukum antara Belanda yang rights-based dan Indonesia yang value-based mencerminkan perbedaan filosofis tentang makna hak hidup dan martabat manusia. Kata Kunci: Euthanasia Aktif, Indonesia, Belanda. Abstract One of the most controversial issues to this day is active euthanasia, a medical act deliberately carried out to hasten a patient’s death in order to end unbearable suffering. The main problem examined in this study is the fundamental difference between the legal, ethical, and social value perspectives in Indonesia and the Netherlands regarding the implementation of active euthanasia. This research employs a normative juridical method with statutory and comparative approaches. The results show that the Netherlands has legalized active euthanasia through the Termination of Life on Request and Assisted Suicide Act 2002, which establishes due care criteria as prerequisites for its execution. The Dutch legal system places individual autonomy as the foundation for medical decision-making and positions the state as a facilitator of rights. Conversely, in Indonesia, active euthanasia is prohibited as it is deemed contrary to Article 28A of the 1945 Constitution, the Criminal Code, as well as the moral and religious values prevailing in society that regard life as a divine gift that must not be intentionally ended. This comparison illustrates that the differing legal paradigms—rights-based in the Netherlands and value-based in Indonesia, reflect distinct philosophical understandings of the right to life and human dignity. Keywords: Active Euthanasia, Indonesia, The Netherlands
KEWENANGAN DAN TANGGUNGJAWAB PERDAWERI TERHADAP KASUS KEJADIAN TIDAK DIHARAPKAN DALAM PRAKTIK DUNIA KEDOKTERAN ESTETIKA Eudora Joyce Hiumawan; Andryawan
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.62747

Abstract

Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah mendorong munculnya layanan kedokteran estetika yang berfokus pada peningkatan penampilan dan kualitas hidup. Tingginya minat masyarakat terhadap bidang ini diiringi dengan meningkatnya risiko medis, termasuk terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan tanggung jawab hukum bagi tenaga medis. KTD menjadi indikator penting dalam keselamatan pasien (patient safety) serta menuntut kepatuhan terhadap standar profesi dan etika kedokteran. Dalam konteks tersebut, Perhimpunan Dokter Anti Penuaan, Wellness, Estetik, dan Regeneratif Indonesia (PERDAWERI) memiliki peran strategis sebagai organisasi profesi di bawah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bertugas membina, mengawasi, dan menjamin kompetensi dokter estetika.Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif melalui analisis terhadap peraturan perundang-undangan, literatur hukum, dan dokumen organisasi profesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PERDAWERI memiliki dua fungsi utama, yaitu regulatif dan advokatif. Fungsi regulatif mencakup penetapan standar profesi, pelatihan, sertifikasi, serta audit medis terhadap praktik estetika. Sementara itu, fungsi advokatif diwujudkan melalui pendampingan dan perlindungan hukum bagi anggota dalam menghadapi persoalan profesional.Dengan demikian, PERDAWERI tidak hanya berperan sebagai pemberi sertifikasi kompetensi, tetapi juga sebagai pengawas etika dan pelindung profesi. Peran ini penting dalam mewujudkan praktik kedokteran estetika yang aman, profesional, dan beretika, serta memperkuat prinsip self-regulation dalam sistem profesi kedokteran di Indonesia. Kata Kunci: PERDAWERI, Kejadian Tidak Diharapkan, Kedokteran Estetika, Kewenangan dan Tanggungjawab. Abstract The development of medical science and technology has driven the emergence of aesthetic medicine services that focus on enhancing appearance and quality of life. The growing public interest in this field has been accompanied by increasing medical risks, including the occurrence of Adverse Events (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD), which may cause harm to patients and lead to legal responsibility for medical practitioners. KTD serves as an important indicator of patient safety and requires adherence to professional standards and medical ethics. In this context, the Indonesian Society of Anti-Aging, Wellness, Aesthetic, and Regenerative Medicine (PERDAWERI) holds a strategic role as a professional organization under the Indonesian Medical Association (IDI), responsible for guiding, supervising, and ensuring the competence of aesthetic doctors.This study employs a normative juridical method with a qualitative approach through the analysis of legislation, legal literature, and organizational documents. The findings indicate that PERDAWERI carries two main functions: regulatory and advocative. The regulatory function includes establishing professional standards, conducting training and certification, as well as performing medical audits on aesthetic practices. Meanwhile, the advocative function is manifested through legal assistance and protection for members facing professional issues.Thus, PERDAWERI functions not only as a certifying body but also as an ethical supervisor and professional protector. This role is essential in ensuring that aesthetic medical practices in Indonesia are safe, professional, and ethical, while reinforcing the principle of self-regulation within the medical profession. Keywords: PERDAWERI, Adverse Events, Aesthetic Medicine, Authority and Responsibility
HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DAN PASIEN DALAM PENANGANAN MEDIS PADA SITUASI KEGAWATDARURATAN Yohana; Andryawan
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.62750

Abstract

Abstrak Pelayanan kesehatan merupakan interaksi antara dokter sebagai tenaga medis dan pasien sebagai penerima layanan yang melahirkan hubungan hukum khusus berupa perjanjian terapeutik. Pada tahap awal, hubungan ini bersifat paternalistik, di mana dokter memegang otoritas dominan dalam menentukan tindakan medis dengan asumsi bahwa dokter mengetahui yang terbaik bagi pasien. Seiring perkembangan zaman dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan meningkatnya perhatian terhadap otonomi pasien, hubungan tersebut mengalami pergeseran menuju model partnership yang bersifat horizontal. Dalam model ini, pasien dipandang sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan medis melalui mekanisme informed consent sebagai bentuk persetujuan yang diberikan secara sadar dan berdasarkan informasi yang memadai. Namun dalam keadaan gawat darurat, hubungan ini kembali menjadi bentuk paternalistik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan implied consent dalam tindakan medis pada keadaan gawat darurat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual melalui studi dokumen dan literatur terkait hukum kesehatan dan etika profesi kedokteran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan tidak bersifat absolut, karena dalam keadaan kegawatdaruratan hubungan tersebut dapat kembali bergeser sementara ke pola paternalistik. Pergeseran tersebut terjadi ketika pasien tidak mampu memberikan persetujuan, sehingga dokter berwenang bertindak berdasarkan implied consent untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan berat. Paternalisme dalam konteks ini dibenarkan secara etis dan hukum, namun bersifat temporer dan harus dipulihkan kembali ke model kemitraan setelah kondisi pasien stabil. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dokter-pasien bersifat dinamis dan ditentukan oleh kondisi klinis serta kemampuan pasien dalam menjalankan hak otonominya. Kata Kunci: Hubungan Dokter-Pasien; Perjanjian Terapeutik; Paternalistik; Partnership; Informed Consent; Implied Consent; Kegawatdaruratan. Abstract Healthcare is an interaction between a doctor as a medical professional and a patient as a recipient of care, creating a special legal relationship in the form of a therapeutic agreement. Initially, this relationship was paternalistic, with the doctor holding dominant authority in determining medical procedures, assuming they knew what was best for the patient. Over time, with respect for human rights and increasing attention to patient autonomy, this relationship has shifted toward a horizontal partnership model. In this model, the patient is viewed as a legal subject with the right to participate in medical decision-making through the mechanism of informed consent, a form of consent given consciously and based on adequate information. However, in emergency situations, this relationship reverts to a paternalistic form. This study aims to analyze the role of implied consent in medical procedures during emergency situations. The research method used is normative legal research with a statutory and conceptual approach through the study of documents and literature related to health law and medical professional ethics. The results indicate that the partnership relationship is not absolute, as in emergency situations, the relationship can temporarily shift back to a paternalistic pattern. This shift occurs when a patient is unable to give consent, allowing the physician to act based on implied consent to save life or prevent serious disability. Paternalism in this context is ethically and legally justified, but it is temporary and must be restored to a partnership model once the patient's condition stabilizes. This demonstrates that the doctor-patient relationship is dynamic and determined by the patient's clinical condition and ability to exercise their autonomy. Keywords: Doctor-Patient Relationship; Therapeutic Agreement; Paternalistic; Partnership; Informed Consent; Implied Consent; Emergency.