Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Kewenangan Hakim Tunggal Praperadilan Menentukan Ahli Pidana (Studi Kasus Profesor OC Kaligis Pada Perkara Lukas Embe) Harefa, Beniharmoni; Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Thoriq, Ahmad Reihan
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 4 No 2 (2023): Jurnal Mahupiki Oktober 2023
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51370/jhpk.v4i2.129

Abstract

Praperadilan merupakan komponen dari sistem peradilan pidana di Indonesia yang bertujuan untuk mengatasi kejahatan yang bersifat penal dengan menggunakan hukum pidana baik dalam aspek substansial maupun formal sebagai alat utama. Praperadilan sebagai bagian dari penegakan hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, menyoroti permasalahan penegakan hukum, baik secara konseptual maupun dalam praktik, yang belakangan ini menjadi perhatian serius masyarakat. Praperadilan telah diatur di dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dalam Praperadilan tersebut, terdapat beberapa pihak yang turut hadir, salah satunya adalah Ahli yang mana Ahli dalam sebuah persidangan diwajibkan memiliki sifat yang netral tanpa adanya hubungan khusus yang akan memicu dugaan dengan kepentingan subjektif. Baru beberapa bulan ini, dunia hukum dihebohkan dengan Hakim Tunggal yang menolak OC Kaligis untuk menjadi Ahli Praperadilan Lukas Embe dengan dilatarbelakangi konflik kepentingan dalam perkara Praperadilan. Tujuan penelitian adalah menganalisis mengenai kewenangan Hakim Tunggal dalam menentukan Ahli di proses Persidangan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana kewenangan Hakim Tunggal dalam menentukan Ahli dan bagaimana keterkaitan antara kualifikasi posisi Ahli dengan kasus Profesor OC Kaligis terhadap Lukas Embe. Metode penelitian adalah studi literatur yang melibatkan serangkaian tindakan terkait dengan pengumpulan data dari berbagai sumber tertulis, membaca, mencatat informasi, dan mengolah materi penelitian berdasarkan pada referensi yang dapat dipercaya sebagai landasan untuk penelitian ini. Adapun hasil dari penelitian ini adalah prinsip pemeriksaan dengan acara cepat yang mengharuskan pemeriksaan Praperadilan selesai dengan kurun waktu selambat-lambatnya adalah tujuh hari, maka Hakim Tunggal memiliki kewenangan dalam memilih juga menolak Ahli sesuai dengan sifat netral yang dimilikinya dalam Praperadilan demi mencapai tujuan penegakan hukum dan untuk menghindari konflik kepentingan secara subjektif selama Persidangan.
KEKUATAN HUKUM YURISDIKSI MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM KEPUTUSAN INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE PRELIMINARY DECISION IN UKRAINE v RUSSIA 2022 Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Prawira, M. Rizki Yudha
Esensi Hukum Vol 5 No 2 (2023): Desember - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/esensihukum.v5i2.235

Abstract

Historically, Ukraine's conflict with Russia dates back to 1991 when the Soviet Union collapsed and its member states seceded. In 2021, Ukraine joined NATO. Russia then felt its national security had been threatened. Russian military operations were then interpreted by Ukraine and several countries in the world as a genocide convention. The International Court of Justice then issued the International Court of Justice Preliminary in Ukraine v Russia (2022). The purpose of the research is to comprehensively and deeply examine the legal force of the jurisdiction of the International Court of Justice based on the International of Justice Preliminary decision in Ukraine v Russia (2022). The research method used is a literature study based on reliable sources as a reference for research, such as accredited scientific research journals, research articles with relevant topics, and international law regulations. The result of the research is that the International Court of Justice Preliminary Decision in Ukraine V Russia (2022) has legal force that must be obeyed by the parties involved in the dispute.
The Implementation Of The Rules Of Engagement For A Soldier: Defianus’s Case In Papua Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura
Veteran Law Review Vol 7 No 2 (2024): November 2024
Publisher : Faculty of Law |Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/velrev.v7i2.8192

Abstract

Indonesia is a legal state that possesses defense and security capabilities based on the regulations governing it. The main protector of the nation within it is the Indonesian National Military, whose duties and authorities are stipulated in Law Number 34 of 2004. However, there are often individuals who misuse their authority for their satisfaction. This research aims to address the relationship between the abuse of power in the case of Defianus Kogoya in Papua and the application of Rules of Engagement. This research utilizes the normative juridical research method with data sources including primary legal materials, such as the Constitution of the Republic of Indonesia, the National Defense Law, and legal materials from various relevant sources to support the analysis. The research findings indicate that, at the forefront of national defense, the Indonesian National Military must always be prepared to carry out its main role and function, which should be adjusted to threats and changes in political policies. Therefore, the Indonesian National Military need to be equipped with Rules of Engagement as limits in the use of force to remain controlled and not violate human rights, especially towards civilian populations not involved in the conflict.
Peranan Mediasi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Sengketa Kemitraan antara PT Perdana Intisawit Perkasa dan Koperasi Sawit Bunga Idaman Tahun 2023 Yuliana, Adelia; Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Wulandari, Diah Ayu
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 5 No. 3 (2025): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v5i3.19522

Abstract

Ketika terdapat indikasi pelanggaran prinsip pelaksanaan usaha yang sehat atau ketidakseimbangan dalam hubungan kemitraan maka KPPU berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Penelitian ini mengkaji penyelesaian sengketa antara Koperasi Sawit Bunga Idaman dan PT Perdana Intisawit Perkasa yang terlibat dalam hubungan kemitraan melalui proses mediasi yang ditengahi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tahun 2023. Menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengacu pada perundang-undangan terkait dan data pendukung lainnya yang dikumpulkan melalui bahan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU berhasil menempatkan diri sebagai fasilitator yang menengahi konflik kemitraan dengan mendorong para pihak untuk berbicara satu sama lain melalui forum dialog guna menemukan solusi dan mengumpulkan berbagai bukti relevan dalam menyelesaikan akar permasalahan. Dengan begitu, sengketa yang dihadapi dapat terselesaikan, serta dapat memulihkan dan memperkuat hubungan kemitraan yang telah disepakati.
Digital Photography in Public Spaces as an Emerging Challenge to Indonesia’s Privacy Protection and Information Ethics Amelia, Dean Putri; Nurhasanah, Hikmah; Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Tetrya, Selvi
Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Vol 3, No 4 (2025): November
Publisher : Penerbit Yayasan Daarul Huda Kruengmane

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study analyzes how the practice of digital photography in public spaces poses new challenges to privacy protection and information ethics in Indonesia. Advances in photography technology and the dissemination of visuals through digital platforms have encouraged people to spontaneously produce and distribute images, exposing individuals as subjects of photographs to the risk of privacy violations, especially when photographs are taken without consent. This study uses a normative juridical method that examines the provisions in the Personal Data Protection Law and the Electronic Information and Transaction Law to assess the legal boundaries related to the processing of individual portraits. The results of the study show that portraits and visual identities of individuals are categorized as personal data that must be protected, so that the act of taking, using, or commercializing photos without permission can have legal and ethical consequences. In addition, the practice of taking photos in public spaces, such as during Car Free Day activities, illustrates a change in the meaning of public space, which has now been transformed into a space for the production of visual data that is difficult to control. This phenomenon has created tension between freedom of expression and the protection of dignity, security, and personal integrity. This study confirms that harmonizing the right to freedom of expression and the principle of personal data protection requires a more adaptive regulatory and cultural approach, especially in the face of a rapidly changing and competitive digital ecosystem. Thus, efforts to improve digital literacy, photography ethics, and legal compliance are essential prerequisites for creating a safe, civilized digital public space that respects the rights of every individual.
Implementasi Kebijakan Dispensasi Nikah Sebagai Tantangan Struktural Terhadap Pemberdayaan Perempuan Untuk Mewujudkan SDGs Nomor 5 Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Wulandari, Diah Ayu; Sapanah, Mawar; Amelia, Dean Putri; Ramadhani, Dwi Aryanti
Esensi Hukum Vol 7 No 1 (2025): Juni - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/esensihukum.v7i1.495

Abstract

This study critically examines the implementation of marriage dispensation policies in Indonesia and their implications for women's empowerment, particularly in the context of achieving Sustainable Development Goal (SDG) 5 and its target 5.3, which emphasizes the elimination of child marriage. Although Indonesia revised the minimum legal age of marriage to 19 for both men and women through Law No. 16 of 2019, the continued application of marriage dispensations, as permitted under Article 7(2) of the Marriage Law and further regulated by Supreme Court Regulation No. 5 of 2019, still legitimizes early marriage based on the broadly interpreted notion of "urgent necessity." Employing a normative juridical methodology, this study utilizes secondary data comprising statutory regulations, legal doctrines, judicial decisions, and relevant international instruments. This analysis is further supported by an empirical case study involving the marriage of two junior high school students in Pemalang Regency, which illustrates the real-world implications of these policies. The findings reveal that legal ambiguities and insufficient oversight within the dispensation framework perpetuate the practice of child marriage, thereby restricting girls’ access to education, healthcare, and economic opportunities. Using a feminist legal approach and a child rights-based perspective, this study underscores the urgent need for legal reform, gender-responsive policy development, and cross-sectoral collaboration to eliminate child marriage. The study contributes to strengthening Indonesia's national legal framework in fulfilling its global commitment to achieving a gender-equitable development agenda.
Pertanggungjawaban Rodrigo Duterte di Hadapan Mahkamah Pidana Internasional atas Dugaan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Kebijakan War on Drugs di Filipina Islami, Diajeng Dhea Annisa Aura; Wulandari, Diah Ayu; Sifana, Firdha; Alamsyah, Fiqih Dien
Journal of Innovative and Creativity Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/joecy.v5i3.5097

Abstract

Kebijakan War on Drugs yang diterapkan oleh Rodrigo Duterte sejak 2016 memunculkan lonjakan kasus pembunuhan di luar proses hukum dan dugaan pelanggaran hak asasi yang meluas. Meskipun pemerintah Filipina mendasarkan kebijakan tersebut pada prinsip kedaulatan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, tetapi praktik di lapangan menunjukkan adanya tindakan represif yang berpotensi memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma 1998. Kondisi ini memunculkan ketegangan normatif antara yurisdiksi nasional dengan kewenangan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sehingga menjadi dasar penting bagi penelitian ini. Penelitian bertujuan untuk menganalisis sejauh mana Duterte dapat dimintai pertanggungjawaban pidana internasional melalui ketentuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC), termasuk unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dan doktrin tanggung jawab komando. Metode yang digunakan, yakni normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual melalui telaah Statuta Roma, Piagam PBB, serta kebijakan nasional Filipina. Pendekatan studi kasus terhadap yurisprudensi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) digunakan untuk menilai standar akuntabilitas pejabat negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik extrajudicial killings dalam War on Drugs memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 7 Statuta Roma, termasuk tindakan pembunuhan sistematis terhadap penduduk sipil yang dijalankan sesuai kebijakan negara. Selain itu, keterlibatan Duterte dalam membentuk, mengarahkan, atau membiarkan kebijakan represif tersebut memenuhi kriteria pertanggungjawaban pidana individual dan tanggung jawab komando. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki dasar yurisdiksi untuk memproses kasus Duterte walaupun Filipina telah menarik diri dari Statuta Roma. Penelitian ini menegaskan bahwa klaim kedaulatan negara tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM berat yang mengancam keadilan internasional.