Kebebasan setiap warga negara untuk memeluk dan melaksanakan ibadah bersadasarkan kepercayaan dan agama merupakan amanat konstitusi yang termuat dalam sila pertama dan pasal 29 UUD 1945. Keberadaan aliran penghayat kepercayaan harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum serta mendapat kedudukan yang sama di muka hukum. Namun yang menjadi disclaimer terhadap hal tersebut adalah realita hukum perkawinan di Indonesia saat dihadapkan dengan aliran penghayat kepercayaan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyatakan, perkawinan dikatakan sah, apabila dilaksanakan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Serta mensyaratkatkan harus tercatat secara administrasi negara. Tulisan ini mengangkat persoalan perkawinan bagi aliran penghayat kepercayaan di Indonesia ditinjau dari dua perspektif, antara perspektif politik hukum dan politik agama. Tulisan ini disusun menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan legal normative research. Pengumpulan data menggunakan metode desk research dan annotated bibliography. Temuan dalam tulisan ini menunjukkan, sampai saat ini hukum perkawinan bagi aliran penghayat kepercayaan masih mengandung polemik dalam pelaksanaanya. Sedangkan bila ditinjau dari perspektif politik hukum, sudah seharusnya pemerintah mengatur dan memberi kepastian hukum terhadap perkawinan aliran kepercayaan baik sesama penghayat aliran kepercayaan ataupun perkawinan antara penghayat kepercayaan dan non penghayat kepercayaan sebagai wujud supremasi hukum. Namun jika ditinjaukan dari politik agama keberadaan aliran kepercayaan membutuhkan pengertian yang jelas berkeaan dengan maksud dari term “kepercayaan”.