Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pudarnya Peran Otoritas Keagamaan Lokal: Studi Atas Buatulo Syara’a di Provinsi Gorontalo Tungkagi, Donald Qomaidiasyah
Jurnal Pendidikan, Kebudayaan dan Keislaman Vol 3 No 1 (2024)
Publisher : The Institute for Research and Community Service (LP2M) of Pontianak State Institute of Islamic Studies (IAIN Pontianak)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jpkk.v3i1.2421

Abstract

Otoritas keagamaan, baik yang berbentuk individu maupun lembaga, sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku umat beragama. Penelitian ini membahas peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga pemegang otoritas keagamaan lokal dalam kehidupan umat Islam di Provinsi Gorontalo. Buatulo Syara’a dipimpin oleh seorang Kadli (Qadi'), dan merupakan salah satu dari tiga lembaga dalam sistem pemerintahan adat Gorontalo yang disebut Buatulo Toulongo. Dua lembaga lainnya; Buatulo Bubato (lembaga pemerintah), dan Buatulo Bate (lembaga adat). Metode penelitian ini kualitatif-deskriptif berbasis penelitian lapangan, data dikumpulkan melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Menggunakan perspektif tiga varian otoritas Weber, penelitian ini menemukan bahwa memudarnya peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga otoritas keagamaan lokal di Gorontalo dijumpai pada ranah otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Pada otoritas tradisional, Buatulo Syara’a tergeser oleh peran otoritas keagamaan baru seperti ormas keagamaan dan kemunculan internet sebagai wadah pencarian pengetahuan, dan distribusi nilai-nilai keagamaan yang tidak hanya bertumpu pada otoritas tertentu. Di ranah otoritas kharismatik, cukup banyak masyarakat Gorontalo yang tidak lagi mengenal peran Buatulo Syara’a. Keberadaan Buatulo Syara’a yang mulai memudar dalam nalar sosial-budaya masyarakat Gorontalo secara tidak langsung berakibat pada memudarnya peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga otoritas keagamaan. Ranah otoritas legal-rasional menjadi satu-satunya yang membuat keberadaan Buatulo Syara’a masih bertahan. Legitimasi keberadaan Buatulo Syara’a sebatas karena diangkat dan mendapat SK dari pemimpin daerah dalam hal ini walikota dan bupati. Buatulo Syara’a kemudian beraktifitas di masjid-masjid miliki pemerintah, seperti Masjid Agung untuk tingkat Kabupaten/Kota, Masjid Besar untuk tingkat kecamatan, dan Masjid Jami’ untuk tingkat kelurahan dan desa. Religious authority, whether in the form of individuals or institutions, has a huge influence on the behavior of religious communities. This research discusses the role of Buatulo Syara’a as an institution holding local religious authority in the lives of Muslims in Gorontalo Province. Buatulo Syara’a is led by a Kadli (Qadi’), and is one of three institutions in the Gorontalo traditional government system called Buatulo Toulongo. The other two institutions; Buatulo Bubato (government institution), and Buatulo Bate (customary institution). The research method is qualitative-descriptive field research-based, data collected through participatory observation and in-depth interviews. Using Weber's three variants of authority perspective, this study found that the waning role of Buatulo Syara’a as a local religious authority institution in Gorontalo is found in the realm of traditional authority and charismatic authority. In the traditional authority, Buatulo Syara’a has been displaced by the role of new religious authorities such as religious mass organizations and the emergence of the internet as a forum for knowledge search and distribution of religious values that do not only rely on certain authorities. In the realm of charismatic authority, quite a lot of Gorontalo people no longer recognize the role of Buatulo Syara’a. The existence of Buatulo Syara’a which began to fade in the socio-cultural reasoning of Gorontalo people indirectly resulted in the fading role of Buatulo Syara’a as an institution of religious authority. The realm of legal-rational authority is the only thing that makes the existence of Buatulo Syara’a still survive. The legitimacy of the existence of Buatulo Syara’a is limited to being appointed and receiving a decree from the regional leader, in this case the mayor and regent. Buatulo Syara’a is then active in government-owned mosques, such as the Masjid Agung at the regency/city level, the Masjid Besar at the sub-district level, and the Masjid Jami’ at the village level.
Rekognisi Moderasi Beragama terhadap Penganut Kepercayaan di Indonesia Tungkagi, Donald Qomaidiasyah
Moderasi: Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial Vol. 4 No. 2 (2023)
Publisher : Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (TIPS) UIN Datokarama Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24239/moderasi.Vol4.Iss2.140

Abstract

This article wants to answer the question, is it possible for religious moderation to accommodate believers? This stems from the fact that believers in Indonesia are still often discriminated against in social life. Various programs and policies have been attempted, but this phenomenon continues as if it is endless. On the other hand, religious moderation as a state policy is challenged to be a solution to the problem. Using a library research method, reinforced by Otto Scharmer's Iceberg Analysis and U-Process (Unity in Diversity), this research tries to explore the layers that influence the phenomenon of discrimination against believers. In the first stage, the sociological divide will explore patterns & trends that include attitudes, behaviors, and habits that can be seen. The structure divide will explore the causal structures including traditions, culture, regulations, policies, government systems, etc. The spiritual-psychological divide will explore mental models that include paradigms, perspectives, and mindsets. The second stage starts with rethinking the mental model by changing the paradigm, followed by redesigning policies, structures, etc. The contribution of this research is to explore the root causes of the phenemona (event) of discrimination against believers, and to offer new action solutions (reacting) based on these issues to overcome the problem of intolerance and discrimination against belief groups in society.
Polemik Tradisi Menabuh Golomang dalam Ritual Pemakaman Pada Masyarakat Muslim Bolaang Mongondow Tungkagi, Donald Qomaidiasyah; Mokodongan, Tasya Aziza
PUSAKA Vol 10 No 2 (2022): Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31969/pusaka.v10i2.863

Abstract

Penelitian ini membahas tradisi menabuh golomang dalam ritual pemakaman masyarakat muslim di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya polemik terhadap keberadaan musik tradisional golomang dalam ritual pemakaman masyarakat muslim Bolaang Mongondow. Terdapat tiga faktor yang mendasari munculnya polemik dalam masyarakat: pertama, masih kuatnya persepsi masyarakat yang memandang penggunaan musik golomang hanya dapat dilaksanakan oleh keturunan bangsawan; kedua, terjadi kontestasi tradisi di dalam masyarakat yang memandang penggunaan musik dalam ritual pemakaman tidak selaras dengan ajaran Islam; ketiga, terdapat pandangan masyarakat yang menganggap alat musik umumnya digunakan sebagai media hiburan dan senangsenang semata, sehingga penggunaan musik golomang dalam ritual pemakaman dianggap tidak menghormati pihak yang berduka. Meskipun keberadaan musik dalam ritual pemakaman masih terjadi pro dan kontra, namun fakta menunjukkan tradisi ini terus-menerus bertumbuh, bahkan mengalami proses adaptasi dan pencarian makna baru. Pementasan musik golomang tidak lagi sebatas dalam ritual pemakaman, namun dipentaskan juga dan perkawinan, dan kesenian pertunjukkan khalayak.
Negotiating Islamic Moderation: The Interplay of Sharia and Local Culture in Gorontalo, Minangkabau, and Banten Suleman, Zulfitri Zulkarnain; Tungkagi, Donald Qomaidiasyah; Suleman, Zulkarnain; Kau, Sofyan A.P.; Salleh, Mohd Afandi
Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah Vol 23, No 1 (2025)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/jis.v23i1.3527

Abstract

Muslim scholars and local communities have actively negotiated the Islamization process in Indonesia through complex engagements with Islamic law (sharia) and local cultural traditions. This study examines how such interactions have shaped distinct constructions of Islamic moderation in three culturally significant regions: Gorontalo, Minangkabau, and Banten. Employing a qualitative, field-based approach, the research utilizes in-depth interviews, participant observation, and document analysis to explore the integration of sharia and adat (customary law). The findings reveal three typological models of Islamic moderation: (1) an integrative model in Gorontalo, where royal diplomacy and political marriage internalized Islamic law within the framework of customary governance; (2) a negotiation model in Minangkabau, emerging from post-conflict reconciliation between ulama and customary leaders, institutionalized through the philosophy of Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; and (3) a hegemonic model in Banten, characterized by the dominance of Islamic law over local traditions, embedded within the centralized religious authority and state power. These findings suggest that Islamic moderation in Indonesia is not a singular concept but the product of historically and contextually embedded legal-cultural dynamics. The study concludes that Islamic moderation is a localized negotiation among legal norms, cultural practices, and power structures. Its academic contribution advances the understanding of legal pluralism in Muslim societies while offering policy-relevant insights for promoting religious tolerance and cultural inclusivity in Indonesia.
Negosiasi Identitas Keagamaan dalam Tradisi Mongakiki Masyarakat Gorontalo Ibrahim, Muhammad; Tungkagi, Donald Qomaidiasyah; Purnama, Andi Oktami Dewi Artha Ayu
Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal Vol 11, No 3 (2025): September 2025
Publisher : Magister Pendidikan Nonformal Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37905/aksara.11.3.%p.2025

Abstract

Penelitian ini mengkaji praktik tradisi Mongakiki (Aqiqah) di Desa Batu Keramat, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, sebagai fenomena akulturasi antara ajaran syariat Islam dan budaya lokal. Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode etnografi, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat melaksanakan aqiqah dengan cara yang berbeda dari tuntunan syariat Islam, yaitu menggunakan ayam putih atau membeli darah sapi dari hajatan orang lain, bukan menyembelih kambing. Praktik ini disertai dengan prosesi adat mohundingo (gunting rambut bayi) yang sarat dengan simbol-simbol budaya lokal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Tradisi Mongakiki merupakan hasil negosiasi antara ortodoksi Islam dan pragmatisme budaya, yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, ikatan sosial, dan identitas komunal. Penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman tentang dinamika Islam lokal di Indonesia, khususnya bagaimana masyarakat Muslim menegosiasikan identitas keagamaan mereka dalam konteks budaya yang spesifik.