Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Kesohihan Akidah Di Luar Empirisme: Menjawab Kritik Guru Gembul Melalui Metode Rasional Dan Kausalitas Hadi, Bagus Kusumo; Dewi Setia Wati; Muhammad Alvin Saputra; Abdul Qodir Zaelani; Hadi, Dino Gautman Raharjo
EL-FIKR: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol. 5 No. 2 (2024): El-Fikr: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam
Publisher : Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/el-fikr.v5i2.26416

Abstract

This study explores the critique of empiricism toward Islamic creed (akidah) as presented by Jafar Rohadi (known as Guru Gembul), who argues that faith, creed, and the concept of divinity are unscientific and subjective because they cannot be empirically proven. Guru Gembul's views on creed are framed as a product of secular epistemological hegemony, which limits knowledge to sensory experience. Through a qualitative-descriptive method based on literature review, this study compares the empiricist perspective with rational arguments from both Muslim and Western philosophers, such as Imam Al-Ghazali and Ramadhan Al-Buthi, who assert that scientific proof is not limited to empirical methods but also includes logic and causality. The study concludes that a rational approach is valid for scientifically proving the Islamic creed and that empiricism has limitations in explaining metaphysical reality. The implications of this research are to broaden the scope of scientific proof to encompass a rational understanding of Islamic creed and to enrich philosophical studies on faith within the context of scientific knowledge. Keywords: Guru Gembul, creed (akidah), scientific proof, empirical method, rational method, causality, Islamic philosophy
Implikasi Hukum Khulu’ Menurut Empat Madzhab Fiqh Hadi, Bagus Kusumo; Mukri, Mohammad; Susilo, Edi
El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law Vol. 3 No. 2 (2022): Desember 2022
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/el-izdiwaj.v3i2.14347

Abstract

Akibat putusnya perkawinan yang disebabkan dari khulu’ menimbulkan hukum yang berbeda yakni mengenai kedudukannya sehingga akan berbeda juga mengenai turunan akibat hukum yang lain. Ke-empat ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i dan Hambali berbeda pendapat apakah akibat khulu. adanya pandangan yang berbeda mengenai akibat hukum khulu’ di kalangan ulama salaf, penulis sangat tertarik meneliti masalah ini. Fokus penelitian adalah bagaimana akibat hukum khulu’ menurut empat madzhab? dan Apa persamaan dan perbedaan akibat hukum khulu’ menurut empat madzhab? Penelitian ini berjenis  kepustakaan (library research) dengan pendekatan komparatif. Adapun hasilnya : pertama, madzhab Maliki,  Hanafi, Syafi’i berpendapat bahwa khulu’ adalah thalaq meskipun di qoul qodim Imam Syafi’i mengatakan fasakh, akan tetapi dalam masalah hal ini dikedepankan ke qoul jadidnya yakni thalaq, sehingga ‘iddah sebagaimana ‘iddah tiga kali quru’ meskipun madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki memaknai quru ialah tiga kali suci sedangkan madzhab Hanafi dan madzhab Hambali arti quru’ yakni tiga kali haidh. Madzhab Hambali berpendapat bahwa khulu’ adalah fasakh sehingga cukup iddah satu kali haidh, dikarenakan perbedaan penarikan pemahaman hukum pada dalil dan juga perbedaaan istinbath dalil. Kedua, perbedaan dari pendapat para madzhab ialah terhadap suami yang ingin rujuk dalam masa ‘iddah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i mengatakan tidak ada rujuk dalam fase masa iddah karena tujuan khulu’ ialah menghilangkan mudhorot dari bahtera rumah tangga tersebut, madzhab Hambali mengatakan jika suami mengambil iwadh tersebut maka tidak ada rujuk dalam masa iddah, akan tetapi jika suami menolak iwadh dari istri maka suami memiliki hak rujuk meskipun itu tetap hukum fasakh. Persamaan madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i dan madzhab hambali yaitu khulu’ seperti bentuk jual beli yang saling ridha atau seperti Iqolah (pembatalan jual beli) sehingga tidak membutuhkan hakim di pengadilan.
Urgensi Falsafah Ulun Lampung Dalam Menjaga Keutuhan Perkawinan Na'im, Arroyan; Nufus, Ilma Silmi; Hadi, Bagus Kusumo; Binti Muhammad, Norshafiqah
El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law Vol. 5 No. 2 (2024): Desember 2024
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/el-izdiwaj.v5i2.24515

Abstract

Nilai kekeluargaan dalam Falsafah Ulun Lampung memiliki relevansi terhadap hubungan harmonis dalam keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana falsafah ini membentuk pandangan masyarakat Lampung mengenai pernikahan dan perceraian serta dampaknya terhadap keharmonisan keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif deskriptif, bertujuan menggambarkan kontribusi Falsafah Ulun Lampung terhadap tujuan pernikahan masyarakat Lampung. Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan pendekatan deduktif, menganalisis teori hukum serta falsafah pernikahan untuk melihat relevansinya dengan praktik hukum keluarga dalam falsafah Ulun Lampung. Penelitian ini menunjukkan bahwa Falsafah Ulun Lampung mengutamakan nilai kesatuan, tanggung jawab, dan komitmen dalam pernikahan, serta menolak perceraian sebagai solusi atas permasalahan rumah tangga. Dalam pandangan masyarakat Lampung, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci yang harus dijaga, dan perceraian dianggap dapat merusak struktur keluarga dan komunitas. Falsafah Ulun Lampung menawarkan pendekatan yang lebih mengedepankan penyelesaian masalah secara damai dan dengan mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan penekanan nilai-nilai kultural yang mendalam dalam Falsafah Ulun Lampung sebagai dasar bagi respons hukum yang progresif, yang dapat diterapkan untuk menjaga keharmonisan keluarga di era modern. Kata kunci: Falsafah Ulun Lampung, Kekeluargaan, Pernikahan
NUSYUZ SUAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM, SERTA IMPLIKASI DAN PENYESELAIAN DALAM NORMATIF YURIDIS Hadi, Bagus Kusumo; Tatarisanto, Opia; Putra, Adam Dewantara; Azizah, Asyifa Nur; Asnawi, M. Natsir
Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran Vol. 7 No. 3 (2024): Volume 7 No 3 Tahun 2024
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jrpp.v7i3.30550

Abstract

Pada perkawinan dalam Islam setiap suami istri dibebankan suatu kewajiban, sehingga ketika seorang suami atau istri yang mengabaikan kewajibannya maka dianggap telah nusyuz sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Al-Nisa' ayat 34 untuk Istri yang nusyuz dan Q.S. Al-Nisa' ayat 128 untuk suami yang nusyuz. Penjelasan Nusyuz didalam Al Qur’an merupakan suatu sikap ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan rumah tangga, baik sikap tersebut Datang dari suami maupun dari istri. Beberapa sebab Nusyuz muncul karena adanya faktor semisal ketidakadilan, ketidakseimbangan dan ketidakdewasaan baik itu pada istri maupun suami, nusyuz seorang istri biasanya ditandai dengan sikap merasa lebih tinggi dirinya dari pada suami sehingga ia enggan melakukan perintahnya, adapun nusyuz seorang suami ialah yang paling dasar enggan memberi nafkah kepada istri ataupun mempergauli istri tidak baik, maka pada penulisan kali ini akan membahas masalah nusyuz suami pada istri menurut Konsep islam. Hasil dari tulisan ini ialah penyelesaian sengketa nusyuz suami dapat diselesaikan dengan cara mengamalkan QS An-Nisa 128 atau istri menjadi subjek dari QS An-Nisa 34 sehingga bisa terciptanya sulhu/perdamaian diantara keduanya kalau sekira tidak ada titik penyelesaian maka jalan terakhir istri dapat mengajukan khulu ke Pengadilan.