Islam places its adherents as equal entities in the eyes of Allah SWT, the concentration of Islam is to make a servant fearful of Allah. However, the facts in fiqh are different from this principle, where one of the indicators of Kafa’ah is lineage which is interpreted that Arab ethnic humans are not ideal (sekufu). ) married a non-Arabic human (‘ajamy). Therefore, there needs to be a more detailed and more comprehensive study, considering that Islamic principles view humans not based on lineage. So with this, what are the views of the fiqh scholars, especially the four schools of thought regarding the standardization of Kafa’ah in nasab indicators (Arabic and Non-Arabic) and how does Kafa’ah influence marriage according to the four schools of thought. Through the Muqaranatul mazhab approach, the authors found that (1) Hanafiyah, syafiiyah, and hamaliyah agreed to include Arabic nasab into the kufunya indicator of marriage for sociological reasons, namely to avoid disgrace and shame that would bring down the dignity of the family of the prospective bride and groom, while Malikiyah on the other hand, because piety is teaching instilled by the egalitarian Prophet Muhammad SAW so that it can degrade lineage as a caste in marriage. (2) the opinion of the Hanafiyah school, the most superior opinion of the Shafi’i, and the Hanabilah kafaah nasab (Arabic and non-Arabic) have a major influence on marriage as a condition of luzum (sustainability of a marriage) while according to Malikiyah’s opinion, one qaul from Syafiiyah, and history from Imam Ahmad bin Hambal stated that it did not have a big effect on marriage, meaning it was not a condition for luzum (marriage continuity). Islam mendudukkan pemeluknya sebagai entitas yang sama di mata Allah SWT, Konsentrasi Islam adalah menjadikan seorang hamba bertakwa kepada Allah Kendati demikian fakta dalam fikih berbeda dengan prinsip tersebut, dimana salah satu indikator Kafa’ah adalah nasab yang ditafsirkan bahwa manusia etnis Arab tidak ideal (sekufu) menikah dengan manusia non-Arab (‘ajamy). Oleh karena itu, perlu ada kajian yang lebih detail dan lebih komprehensif, mengingat prinsip Islam memandang manusia tidak berdasarkan garis keturunan. Maka dengan ini bagaimana pandangan para ulama fikih khususnya empat mazhab terkait standarisasi Kafa’ah dalam indikator nasab (Arab dan Non-Arab) dan bagaimana pengaruh Kafa’ah dalam pernikahan menurut empat mazhab. Melalui pendekatan Muqaranatul mazhab, penulis menemukan bahwa (1) Hanafiyah, syafiiyah dan hambaliyah setuju memasukan nasab Arab kedalam indikator kufunya suatu pernikahan dengan alasan yang bersifat sosiologis yaitu untuk menghindari adanya aib dan rasa malu yang akan menjatuhkan martabat pihak keluarga calon pasangan mempelai, sedangkan Malikiyah sebaliknya dengan alasan bahwa ketakwaan merupakan ajaran yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAWyang egaliter/setara sehingga dapat mendegradasi nasab sebagai kasta dalam pernikahan. (2) pendapat mazhab Hanafiyah, pendapat yang paling unggul dari syafiiyah, dan Hanabilah kafaah nasab (Arab dan non-Arab) berpengaruh besar dalam pernikahan sebagai syarat luzum (keberlangsungan suatu pernikahan) sedangkan menurut pendapat Malikiyah, satu qaul dari syafiiyah, dan satu riwayat dari imam ahmad bin hambal menyatakan tidak berpengaruh besar dalam pernikahan artinya bukan sebagai syarat luzum (keberlangsungan pernikahan).