Pernikahan menempati posisi fundamental dalam struktur kehidupan sosial yang ideal dan beradab. Di balik nilai ideal tersebut, terdapat praktik pernikahan yang berlangsung tanpa persetujuan dari salah satu pihak, yang dikenal sebagai pernikahan paksa berbasis adat. Fenomena ini kerap terjadi di negara-negara dengan status pembangunan yang belum mapan, termasuk Indonesia. Berbagai latar belakang seperti tekanan ekonomi, rendahnya akses pendidikan, desakan dari orang tua, kondisi darurat akibat kecelakaan, serta pengaruh kuat tradisi lokal menjadi faktor utama pendorong munculnya praktik tersebut. Meskipun pernikahan paksa memiliki dampak luas, baik dari sisi biologis maupun psikologis, penelitian ini secara khusus menyoroti dampaknya terhadap aspek psikologis individu, khususnya pada kelompok remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguraikan dampak psikologis dari praktik pernikahan paksa yang menimpa remaja, mengingat masa remaja merupakan fase penting dalam pembentukan identitas diri. Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif berbasis lapangan, melalui pengumpulan data primer dan sekunder yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya kawin paksa mencakup tekanan ekonomi, dominasi orang tua, serta kekuatan adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Akibat dari praktik tersebut, remaja mengalami gangguan psikologis berupa kecemasan dan stres yang intens. Rasa cemas muncul dalam bentuk ketakutan menghadapi tantangan rumah tangga, sementara stres yang berkepanjangan berisiko menimbulkan depresi neuritis sebagai akibat dari akumulasi tekanan emosional dan kekecewaan yang tidak terselesaikan.