Erupsi obat disebut juga sebagai cutaneous adverse drug eruption, cutaneous drug hypersensitivity, merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap obat baik yang masuk ke dalam tubuh secara oral, pervaginam, per-rektal, atau parenteral dengan manifestasi pada kulit dengan atau tanpa keterlibatan mukosa. Erupsi obat eksantematosa merupakan bentuk erupsi obat yang paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat. Secara klinis lesi berbentuk makulopapular polimorfik tanpa keterlibatan mukosa dan hampir selalu disertai dengan pruritus. Kelainan ini paling sering disebabkan oleh antibiotik (beta-laktam, sulfonamid), obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), antiepilepsi (karbamazepin, hidantoin), dan allopurinol. Penatalaksanaan awal berupa identifikasi dan menghentikan konsumsi obat penyebab dan tatalaksana khusus berupa terapi suportif yang mencakup terapi sistemik (kortikosteroid, antihistamin) dan obat topikal. Laporan kasus ini memaparkan seorang perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan muncul ruam kemerahan yang terasa gatal dan panas sejak 5 hari. Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan lesi dengan distribusi generalisata di regio facialis, trunkus anterior et posterior, ekstremitas superior bilateral, tungkai atas bilateral, berjumlah multiple, bentuk tidak teratur, ukuran numular hingga plakat, batas difus, lesi kering, dengan efloresensi primer makula eritematosa dan efloresensi sekunder skuama halus. Tatalaksana pada pasien ini adalah terapi sistemik berupa deksametason 10 mg/hari/iv, cetirizine 2 x 10 mg/po, terapi topikal berupa desoksimetason untuk bagian badan dan salep mometasone furoate untuk bagian wajah. Hasil tatalaksana menunjukkan perbaikan gejala dan deskuamasi.