Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

SIFILIS SEKUNDER PADA SEORANG REMAJA PEREMPUAN: LAPORAN KASUS Limarda, Inggrid; Sutedja, Gina Triana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 3 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i3.36888

Abstract

Sifilis atau nama lain lues venerea atau lebih dikenal dengan raja singa. Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies pallidum. Penyakit ini di tularkan melalui darah dan kontak seksual, bersifat kronis dan sistemik yang dalam perjalanan penyakitnya dapat mengenai hampir seluruh struktur tubuh. Seorang perempuan berusia 13 tahun datang ke rumah sakit umum daerah karena keluhan bercak-bercak kehitaman pada telapak tangan yang tidak gatal dan luka pada daerah kemaluan yang tidak nyeri. Pasien memiliki riwayat kontak seksual dengan lawan jenis kurang lebih 9 minggu sebelum pasien datang melakukan pemeriksaan. Pada status dermatologi lokasi palmar dekstra et sinistra ditemukan macula hiperpigmentasi, distribusi lokalisata, jumlah multiple diskret, berbentuk bulat, lesi kering dengan batas tegas, ukuran lenticular. Untuk penegakkan diagnosis pasien dilakukan pemeriksaan serologi yaitu pemeriksaan VDRL dengan hasil reaktif dengan titer 1:32 dan TPHA reaktif dengan titer 1:5120, kemudian pasien dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi dengan satu buah jaringan ukuran diameter 0.6 cm dibawah mikroscop dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) menunjukkan jaringan biopsi kulit dengan lapisan epidermis yang relative hiperplastik, rate ridges yang menipis dan infiltrasi sel-sel radang pada lapisan sub epithelial, tampak serbukan padat sel-sel plasma terutama pada papilla dermis, tampak pula proliferasi pembuluh darah dan pervaskular limfohistiositic. Dermis relative sembab. Gambaran histologi sesuai dengan gambaran sifilis sekunder. Telah dilaporkan satu kasus sifilis sekunder dengan manifestasi klinis roseola sifilitika dan kondiloma lata pada pasien remaja perempuan berusia 13 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan histopatologi.
HERPES ZOSTER : LAPORAN KASUS Puspita, Made ayu Adesty Cahya; Sutedja, Gina Triana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 3 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i3.37879

Abstract

Herpes zoster merupakan penyakit neurokutaneus yang disebabkan karena varicella-zoster virus (VZV). Paparan primer dari virus varicella-zoster akan bermanifestasi sebagai varicella atau chickenpox dan mengalami reaktivasi menyebabkan shingles atau dikenal dengan herpes zoster. Transmisi dari herpes zoster melalui rute respirasi dan menginfeksi sel epitel pada traktus pernapasan atas. Risiko tertular herpes zoster diperkirakan sekitar 15-30%, akan tetapi risikonya lebih tinggi pada orang dewasa dan usia lanjut, pasien dengan immunocompromised, dan pasien yang memiliki komorbiditas. Puncak insiden herpes zoster di Indonesia terjadi pada kisaran usia 45-64 tahun.  Infeksi herpes zoster biasanya  diawali dengan gejala prodromal  seperti malaise,  sakit kepala,  demam, myalgia lokal, arthralgia,  pruritus (sensasi  gatal), dan parestesia (kesemutan)  sepanjang dermatom  yang  mendahului ruam  dalam  beberapa  jam hingga  beberapa  hari. Seorang pasien perempuan berusia 61 tahun, warga negara Indonesia datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin dengan keluhan bruntus – bruntus berisi air yang sebagian sudah pecah dan disertai rasa nyeri, sensasi terbakar serta kesemutan pada area mata kanan, kulit kepala sisi kanan (bagian vertex), dan dahi sisi kanan yang berakhir membentuk garis tengah di dahi sejak 3 hari yang lalu, bruntus semakin bertambah banyak dan membuat kedua area mata pasien membengkak. Keluhan diawali 6 hari yang lalu timbul rasa nyeri, tidak nyaman sensasi terbakar, kesemutan, dan gatal di kulit area bagian mata sebelah kanan. Kemudian diikuti perubahan warna kulit menjadi kemerahan dan timbul bruntusan yang berkembang menjadi bruntus-bruntus berisi air dalam waktu 3 hari selanjutnya bruntus – bruntus tersebut pecah dan cairan mengering diatas ruam kulit tersebut. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
CHRONIC AND COMPLICATED PEDICULOSIS CAPITIS : A RARE CASE OF PROLONGED INFESTATION WITH SECONDARY LESIONS IN AN ADOLESCENT FEMALE Florensia, Vionie; Sutedja, Gina Triana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i1.40616

Abstract

Pediculosis capitis merupakan infestasi parasit umum yang terutama menyerang anak-anak dan remaja. Meskipun biasanya dapat sembuh sendiri dan sembuh dengan pengobatan standar, kasus kronis dan rumit yang terkait dengan lesi sekunder dan dampak psikososial yang signifikan jarang terjadi. Kasus-kasus atipikal ini menimbulkan tantangan diagnostik dan terapi yang unik, yang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multidisiplin. Laporan ini menyajikan kasus seorang perempuan berusia 16 tahun dengan riwayat pruritus kulit kepala persisten selama dua tahun dan lesi sekunder yang disebabkan oleh pediculosis capitis yang tidak diobati. Pemeriksaan klinis menunjukkan papula eritematosa, ekskoriasi, dan krusta berdarah, disertai kutu dan telur kutu yang hidup. Diagnosis banding, termasuk tinea capitis dan dermatitis seboroik, secara sistematis disingkirkan. Penatalaksanaan meliputi terapi topikal, edukasi kebersihan, dan dukungan psikososial. Pengobatan awal menghasilkan perbaikan parsial, dengan berkurangnya pruritus dan penyembuhan lesi. Namun, kepatuhan terhadap pembersihan telur kutu dan sanitasi lingkungan tetap menjadi tantangan, yang menyoroti hambatan untuk mencapai penyembuhan total. Konseling psikososial mengatasi stigma dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pedikulosis kapitis kronis dan rumit merupakan penyimpangan signifikan dari kasus-kasus umum, yang memerlukan pendekatan holistik yang memadukan pengobatan farmakologis, manajemen lingkungan, dan dukungan psikososial. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan strategi guna meningkatkan kepatuhan pengobatan dan pencegahan kasus kronis.
Multifactorial Dermatitis in an Elderly Patient with Chronic Actinic Dermatitis: A Case Report Sunardi, Hendry Purnomo; Sutedja, Gina Triana
Medicinus Vol. 14 No. 2 (2025): February
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/med.v14i2.9555

Abstract

Background : Chronic actinic dermatitis (CAD) is a rare, persistent photodermatosis triggered by UV and visible light, primarily affecting elderly individuals. With multifactorial etiologies, including genetic predisposition, environmental exposure, and comorbidities, CAD significantly impacts quality of life. This case report presents an elderly farmer with CAD, emphasizing the complexities of diagnosis and management in individuals exposed to high levels of sunlight due to occupational factors. Methods : A 70-year-old male farmer presented with a two-week history of pruritus and burning sensations on his face, exacerbated by sun exposure. He had a history of seborrheic dermatitis and hypertension. Physical examination revealed erythematous, hyperpigmented plaques on sun-exposed areas, with macular erythema, erosion, and lichenification. The working diagnosis was CAD, with actinic prurigo and cutaneous T-cell lymphoma as differentials. Management included methylprednisolone, cetirizine, and a compounded cream containing clobetasol propionate and gentamicin. Preventive measures, such as the use of moisturizers, sunblock, and UV avoidance, were also emphasized. The prognosis was favorable for life and function but uncertain for complete remission due to CAD's chronic nature. Conclusions : This case underscores the importance of an integrated approach combining pharmacological treatment and preventive strategies to manage CAD effectively. Tailored interventions addressing occupational and environmental risk factors are vital. Diagnostic limitations highlight the necessity for follow-up and the development of enhanced diagnostic tools. CAD management requires multidisciplinary collaboration to optimize patient outcomes.
LAPORAN KASUS : ERUPSI OBAT EKSANTEMATOSA Fadhilah, Windy Hazmi; Sutedja, Gina Triana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i1.39627

Abstract

Erupsi obat disebut juga sebagai cutaneous adverse drug eruption, cutaneous drug hypersensitivity, merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap obat baik yang masuk ke dalam tubuh secara oral, pervaginam, per-rektal, atau parenteral dengan manifestasi pada kulit dengan atau tanpa keterlibatan mukosa. Erupsi obat eksantematosa merupakan bentuk erupsi obat yang paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat. Secara klinis lesi berbentuk makulopapular polimorfik tanpa keterlibatan mukosa dan hampir selalu disertai dengan pruritus. Kelainan ini paling sering disebabkan oleh antibiotik (beta-laktam, sulfonamid), obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), antiepilepsi (karbamazepin, hidantoin), dan allopurinol. Penatalaksanaan awal berupa identifikasi dan menghentikan konsumsi obat penyebab dan tatalaksana khusus berupa terapi suportif yang mencakup terapi sistemik (kortikosteroid, antihistamin) dan obat topikal. Laporan kasus ini memaparkan seorang perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan muncul ruam kemerahan yang terasa gatal dan panas sejak 5 hari. Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan lesi dengan distribusi generalisata di regio facialis, trunkus anterior et posterior, ekstremitas superior bilateral, tungkai atas bilateral, berjumlah multiple, bentuk tidak teratur, ukuran numular hingga plakat, batas difus, lesi kering, dengan efloresensi primer makula eritematosa dan efloresensi sekunder skuama halus. Tatalaksana pada pasien ini adalah terapi sistemik berupa deksametason 10 mg/hari/iv, cetirizine 2 x 10 mg/po, terapi topikal berupa desoksimetason untuk bagian badan dan salep mometasone furoate untuk bagian wajah. Hasil tatalaksana menunjukkan perbaikan gejala dan deskuamasi. 
Kortikosteroid Oral Jangka Pendek sebagai Tata Laksana Psoriasis Vulgaris: Sebuah Laporan Kasus Linus, Ariel; Moniaga, Catharina Sagita; Sutedja, Gina Triana
Jurnal Kedokteran Meditek Vol 31 No 3 (2025): MEI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36452/jkdoktmeditek.v31i3.3670

Abstract

Introduction: While oral corticosteroids are not included in the psoriasis systemic therapy algorithm, they are still utilized in certain cases because of their anti-inflammatory and immunosuppressive properties. This case report describes a case of psoriasis vulgaris treated with oral corticosteroids as replacement therapy for first-line drugs. Case Illustration: A 53-year-old male presented to Ciawi Regional Hospital with a complaint of a red, scaly rash that had been itchy on his back for a year, which was spreading to his entire body and worsening over the last 3 months. The physical examination revealed erythematous papules and plaques with thick, silver scales throughout his body. He was diagnosed with psoriasis vulgaris, with a Psoriasis Area Severity Index (PASI) score of 32.6. The patient utilized National Health Insurance, which did not cover the first-line drugs; therefore, he was prescribed oral methylprednisolone instead. After two weeks of medication, his clinical manifestations improved, resulting in a PASI score of 5.5. Discussion: The oral corticosteroid provided a significant improvement in skin lesions for this patient. This improvement may be due to its anti-inflammatory and immunosuppressive effects. Close monitoring after treatment is crucial, as flare-ups and side effects may occur after treatment with oral corticosteroids. Conclusion: The use of oral corticosteroids in the treatment of psoriasis vulgaris is an option when first-line drugs are not available, followed by post-treatment observation
Pentingnya Pemeriksaan Kelembaban Kulit dan Edukasi Kesehatan dalam Menangani Kulit Kering pada Lansia Sutedja, Gina Triana; Santoso, Alexander Halim; Gunaidi, Farell Christian; Hartono, Eric; Putra, Muhammad Dzakwan Dwi
Journal of Community Service and Society Empowerment Том 3 № 02 (2025): Journal of Community Service and Society Empowerment
Publisher : PT. Riset Press International

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59653/jcsse.v3i02.1779

Abstract

Hydrated skin is an important indicator of overall skin health, as water content in the stratum corneum plays a vital role in maintaining the skin’s barrier function. Inadequate hydration can lead to dry skin, increase the risk of infections, and reduce quality of life. This activity aimed to assess skin water and oil levels among the elderly population at Hana Nursing Home to help prevent dry skin. The PDCA (Plan–Do–Check–Act) approach was used, which included planning the screening activities, measuring skin water and oil levels, evaluating the results, and providing skin care education for participants with abnormal findings. A total of 36 elderly residents at Hana Nursing Home, South Tangerang, participated in this program. The results showed that 20 individuals (55.56%) had low oil levels, while 24 individuals (66.67%) had low water levels. These findings highlight the importance of maintaining skin hydration through adequate fluid intake, regular use of moisturizers, and adopting a healthy lifestyle. Early detection of skin hydration status combined with education is effective in preventing dry skin and improving the quality of life in the elderly population.
Upaya Pencegahan Risiko Hipertrigliseridemia melalui Penapisan Kadar Trigliserida di Sekolah Kristen Kalam Kudus 2,Jakarta Sutedja, Gina Triana; Santoso, Alexander Halim; Destra, Edwin; Pratama, Aditya; Soebrata, Linginda
Jurnal Pengabdian Bidang Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2025): Jurnal Pengabdian Bidang Kesehatan
Publisher : PPNI UNIMMAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57214/jpbidkes.v3i2.191

Abstract

Hypertriglyceridemia is a metabolic condition characterized by elevated triglyceride levels in the blood and is closely related to cardiovascular risk and metabolic syndrome. Routine blood tests play an important role in detecting unnoticed lipid disorders, especially in individuals without clinical symptoms. Triglyceride screening was performed on 91 adult participants using the point-of-care testing (POCT) method. Education was provided through leaflets containing information on lifestyle and dietary patterns that affect triglyceride levels. The results were classified and analyzed to identify risk distribution and as a basis for health education. The mean triglyceride level of participants was 137.8 ± 77.1 mg/dL (range 45–463 mg/dL). Most participants showed values ​​within the normal range, but individuals with very high levels were found, indicating hidden metabolic risks that require clinical attention. Early detection of triglyceride levels accompanied by education based on examination results is a strategic step in preventing hypertriglyceridemia. Community intervention through education and the formation of healthy habits contributes to controlling the risk of non-communicable diseases in the adult population.
Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Air dan Sebum Kulit di Rukun Warga (RW) 008 Kelurahan Cipondoh Sutedja, Gina Triana; Tan, Sukmawati Tansil; Yogie, Giovanno Sebastian; Firmansyah, Yohanes; Wijaya, Dean Ascha; Satyanegara, William Gilbert; Nathaniel, Fernando; Kurniawan, Joshua; Moniaga, Catharina Sagita; Santoso, Alexander Halim; Mashadi, Fladys Jashinta
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 3, No 11 (2023): Volume 3 Nomor 11 (2023)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mahesa.v3i11.11612

Abstract

ABSTRACT Skin is the largest organ in the human body and plays various important roles. Skin characteristics, including pigmentation, hydration, texture, and various other parameters, differ for each individual. Skin properties are influenced by various parameters, one of which is the body mass index (BMI). This cross-sectional study aimed to determine the description of skin hydration status and its correlation with BMI, among subjects in RW 08 Cipondoh. Skin hydration status was measured using the over the counter (OTC) skin analyzer. Body mass index was calculated and measured based on standard procedures. Out of 101 respondents, the average age was 51.38 years with 75.2% of respondents being female. The mean BMI was 26.12 kg/m², predominantly falling into obesity level 1 (41.6%). The mean oil and water hydration were 22.99% and 42.96%, respectively. The Spearman statistical test results showed a negative correlation between body mass index and water hydration, with a correlation coefficient power of 0.498 significantly, and oil hydration, with 0.107 insignificantly. This study concludes that the higher the BMI, the worse is the individual's skin hydration status. Keywords: Body Mass Index, Hydration Status  ABSTRAK Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia dan memiliki berbagai peranan penting. Karakteristik kulit mencakup pigmen, hidrasi, tekstur, dan berbagai parameter lainnya berbeda-beda pada setiap individu. Sifat kulit tergantung pada berbagai parameter, salah satunya adalah indeks massa tubuh (IMT). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status hidrasi kulit dan korelasinya dengan IMT di RW 08 Cipondoh. Pengukuran status hidrasi kulit dilakukan dengan menggunakan alat over the counter (OTC) skin analyzer. Indeks masa tubuh dihitung dan diukur berdasar prosedur standar. Dari 101 responden, rata-rata usia adalah 51,38 tahun dengan 75,2% responden adalah perempuan. Rerata IMT didapatkan sebesar 26,12 kg/m2, didominasi oleh obesitas tingkat 1 (41,6%). Rerata hidrasi sebum dan air, masing-masing sebesar  22,99% dan 42,96%. Hasil uji statistik Spearman menunjukan hasil korelasi negatif antara indeks masa tubuh dengan hidrasi air dengan kekuatan korelasi 0,498 secara signifikan dan hidrasi sebum sebesar 0,107 secara tidak signifikan. Penelitian ini menyatakan bahwa semakin tinggi nilai IMT, maka semakin menurun status hidrasi kulit seseorang. Kata Kunci: Kadar Hidrasi, Indeks Masa Tubuh