The phenomenon of unregistered marriage in Tanah Datar, West Sumatra, reflects the complex interplay between customary traditions (adat), Islam, and the state within contemporary Minangkabau society. This article investigates how the traditional triadic authority—Tungku Tigo Sajarangan, consisting of ninik mamak (customary leaders), alim ulama (religious scholars), and cadiak pandai (intellectuals)—understands and responds to the increasing prevalence of unregistered marriage. Employing a qualitative approach through in-depth interviews and field observations, the study reveals that unregistered marriage is perceived not merely as a bureaucratic irregularity due to its absence in the state legal registry, but also as a deviation from both communal norms and the socio-cultural structure of the Minangkabau. This practice signals a broader shift in societal authority, wherein the influence of Tungku Tigo Sajarangan has diminished amid the rise of individualistic religious interpretations, the pressures of modernity, and the weakening of customary mechanisms of social control. The article argues that unregistered marriage serves as an indicator of the delegitimation of local cultural values, contributing to social fragmentation within the community. Addressing this issue necessitates a revitalization of customary institutions to restore their mediating role in balancing customary norms, Islamic principles, and national legal frameworks. Reinforcing local authority is thus imperative to counteract social disintegration and reestablish harmony within the marital order of Minangkabau society. [Fenomena nikah siri di Tanah Datar, Sumatera Barat, merupakan cerminan dari kompleksitas relasi antara adat, agama, dan negara dalam masyarakat Minangkabau kontemporer. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana Tungku Tigo Sajarangan—yakni ninik mamak (pemimpin adat), alim ulama (otoritas agama), dan cadiak pandai (kaum intelektual)—memahami dan merespons praktik nikah siri yang kian marak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh adat dan observasi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikah siri tidak semata-mata dianggap sebagai pelanggaran administratif karena tidak dicatatkan dalam sistem hukum negara, melainkan juga sebagai bentuk penyimpangan terhadap norma adat dan struktur sosial komunal. Praktik ini menandai terjadinya pergeseran otoritas dalam masyarakat: peran Tungku Tigo Sajarangan semakin terpinggirkan akibat dominasi tafsir individual atas ajaran agama, pengaruh modernitas, serta melemahnya fungsi pengawasan sosial dari institusi adat. Lebih jauh, artikel ini mengemukakan bahwa nikah siri merupakan salah satu indikator delegitimasi terhadap nilai-nilai kultural lokal, yang berdampak pada disintegrasi sosial dalam komunitas Minangkabau. Situasi ini menuntut adanya revitalisasi peran lembaga adat agar dapat menjalankan fungsi mediasi antara kepentingan adat, syariat Islam, dan regulasi negara secara seimbang. Dengan demikian, penguatan otoritas lokal menjadi langkah strategis dalam menanggulangi fragmentasi sosial dan mengembalikan harmoni dalam tatanan perkawinan masyarakat Minangkabau.]