Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

40 Days vs. 120 Days: Legal Time Limits for Abortion in Rape cases from the Perspectives of Positive Law and Islamic Law Hidayat, Rahmat; Muhammad Iqbal Irham; Muhammad Faisal Hamdani
WARAQAT : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 10 No. 1 (2025): Waraqat: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam As-Sunnah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51590/waraqat.v10i1.1082

Abstract

One of the consequences of rape is unwanted pregnancy, which may lead to both psychological and physical distress, often resulting in the desire to undergo an abortion. According to the 2023 Indonesian Penal Code (KUHP) and the opinion of the Hanafi school of thought, abortion is permissible before the pregnancy reaches 14 weeks or 120 days. In contrast, under the 2009 Health Law and the Shafi'i school of thought, abortion is only allowed before 6 weeks or 40 days of gestation. This discrepancy calls for further examination to determine the most appropriate legal threshold for abortion in rape cases, from both the perspectives of positive law and Islamic jurisprudence. This study employs a qualitative method with a comparative approach, utilizing literature review and document analysis of statutory law, classical Islamic legal texts, and relevant medical literature. It also applies the principle of hifz al-nafs (protection of life) as a normative foundation. The findings reveal that the 2023 revision of the Penal Code, which extends the permissible period for abortion from 6 to 14 weeks, aligns with the majority of Islamic scholars who permit abortion before 120 days of gestation. Nonetheless, abortion before 40 days is preferable to avoid legal controversy and reduce medical risks and psychological trauma. This study recommends harmonizing national laws, medical ethics, and Islamic legal principles to ensure substantive justice and optimal protection for victims of sexual violence
DISFUNGSI PIDANA MATI BAGI KORUPTOR PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH KONTEMPORER Suryani, Dewi Ervina; Muhammad Faisal Hamdani; Muhammad Iqbal Irham
Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol 11 No 2 (2025): December
Publisher : Sekolah Tinggi Islam Syariah (STIS) Al-Ittihad Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61817/ittihad.v11i2.273

Abstract

Korupsi dikategorikan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena akibat yang ditimbulkannya dapat merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi menghambat kemajuan dan pembangunan bangsa, meningkatkan jumlah kemiskinan dan bahkan bisa membunuh ekonomi negara. Begitu berbahayanya sampai pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk menangani kejahatan ini dengan membentuk aturan dan perangkat hukum tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kenapa pidana mati bagi pelaku korupsi tidak pernah terlaksana hingga kini. Dengan menggunakan metode analisis kualitatif terhadap data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, maka ditemukan bahwa frasa “keadaan tertentu” dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) tidak memiliki pengertian yang pasti (blur) seperti negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, sebagai bentuk pengulangan kejahatan, dan pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Penjelasan seperti ini menghilangkan hukuman pidana mati bagia pelaku korupsi di luar empat ketentuan tersebut. Dari temuan ini maka dapat disimpulkan bahwa disfungsi pidana mati bagi pelaku korupsi disebabkan adanya pembatasan keadaan cakupan perbuatan korupsi yang bisa dihukum mati yang ada pada aturan pasal 2 ayat (2) UU TPK. Untuk itu, penulis menyarankan kepada pemerintah dan badan legislatif untuk segera melakukan revisi terhadap UU TPK dengan menghapus frasa “keadaan tertentu” dan menambahkan satu pasal baru yang mengatur tentang pidana mati secara tegas mencakup semua bentuk korupsi yang merugikan bangsa dan negara, serta jelas dan terukur mengatur tentang batas minimum korupsi yang wajib dijatuhi pidana mati, misalnya minimal Rp 1.593.750.000,- berdasarkan mazhab Syafi’i, atau minimal Rp 6.375.000.000 berdasarkan mazhab Hanafi.