Studi literatur ini menganalisis secara komprehensif interkoneksi antara hakekat manusia, hak asasi manusia (HAM), dan pendidikan sebagai pilar fundamental peradaban. Hakekat manusia, yang dieksplorasi melalui berbagai perspektif filosofis (rasionalisme, empirisme, eksistensialisme) dan agama (Islam), membentuk landasan ontologis bagi pemahaman martabat dan tujuan hidup manusia. Pandangan ini secara langsung memengaruhi perumusan HAM, yang diakui sebagai hak kodrati yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dicabut, serta diatur dalam kerangka hukum internasional seperti DUHAM, ICCPR, dan ICESCR. Pendidikan, yang didefinisikan sebagai proses “memanusiakan manusia” 1, memegang peran sentral. Ia tidak hanya merupakan hak asasi manusia itu sendiri 4, tetapi juga instrumen vital untuk mempromosikan, melindungi, dan mewujudkan hak-hak asasi lainnya melalui pengembangan pribadi, kohesi sosial, dan utilitas ekonomi.6 Pedagogi kritis Paulo Freire, misalnya, menekankan pendidikan sebagai praktik pembebasan yang menumbuhkan kesadaran kritis dan agensi peserta didik. Dalam konteks Indonesia, pemahaman holistik tentang hakekat manusia—sebagai hamba dan khalifah dengan potensi akal, hati, dan fitrah—menjadi krusial untuk membentuk individu yang seimbang dan bertanggung jawab.10 Namun, implementasi ini menghadapi tantangan kontemporer seperti dampak digitalisasi, globalisasi, ketimpangan kualitas dan akses pendidikan, serta diskriminasi.8 Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan yang transformatif, yang mengintegrasikan nilai-nilai HAM secara eksplisit dan berkelanjutan, untuk membangun masyarakat yang adil, toleran, dan beradab.