Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Kepastian Status Hukum Atas Kegiatan Komersial di Ruang Angkasa oleh Pihak Swasta dan Bentuk Tanggung Jawabnya Purisza, Alfian; Mau, Hedwig A; Ismail, Ismail
Jurnal Sains, Ekonomi, Manajemen, Akuntansi dan Hukum Vol. 2 No. 1 (2025): SAINMIKUM : Jurnal Sains, Ekonomi, Manajemen, Akuntansi dan Hukum, Februari 202
Publisher : Lumbung Pare Cendekia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.60126/sainmikum.v2i1.821

Abstract

Semenjak suksesnya penerbangan ke ruang angkasa pertama oleh Rusia pada Tahun 1957 dan didukung dengan semakin berkembangnya teknologi terutama di bidang keanatriksaan, hal tersebut memberikan stimulus terhadap pembentukan pengaturan mengenai pemanfaatan ruang angkasa secara internasional. Space Treaty 1967 mengatur seluruh negara atas seluruh kegiatan pemanfaatan ruang angkasa negara dan tanggung jawabnya. Tidak diaturnya secara jelas untuk keterlibatan pihak swasta dalam melakukan pemanfaatan ruang angkasa pada Space Treaty 1967 menimbulkan banyaknya perdebatan mengenai status hukumnya kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta yang bersifat komersial di ruang angkasa. Penulis menggunakan tiga bentuk pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen (documentary study) dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Space Treaty 1967 telah mengatur prinsip-prinsip eksplorasi ruang angkasa beserta tanggung jawab yang harus diemban oleh para pihak yang melakukan eksplorasi. Pengaturan mengenai tanggung jawab selanjutnya diatur dengan Liability Convention 1972 yang mengatur lebih detail mengenai mekanisme dan bentuk tanggung jawab dari kerugian yang timbul dari kegiatan di ruang angkasa. Demikian juga pada hukum nasional Indonesia yang mengabungkan prinsip dari kedua konvensi di atas ke dalam satu pengaturan yakni Undang-Undang Keantariksaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan harmonisasi hukum internasional serta pembentukan mekanisme tanggung jawab yang lebih jelas untuk mengatur aktivitas komersial ruang angkasa oleh pihak swasta khususnya yang bertujuan untuk tujuan komersial.
Pemberatan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Penegakan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Studi Putusan Nomor 6/Pid/TPK/2023/PT.DKI) Gunawan, Indra; Maryano, Maryano; Mau, Hedwig A
Jurnal Sains, Ekonomi, Manajemen, Akuntansi dan Hukum Vol. 2 No. 1 (2025): SAINMIKUM : Jurnal Sains, Ekonomi, Manajemen, Akuntansi dan Hukum, Februari 202
Publisher : Lumbung Pare Cendekia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.60126/sainmikum.v2i1.826

Abstract

Tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU PTPK), memiliki perbedaan mencolok dengan tindak pidana lainnya. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi berdampak luas, merusak tatanan kehidupan bangsa, serta merampas hak ekonomi dan sosial masyarakat. Tindak pidana korupsi apabila dilihat dari subjeknya selain pegawai negeri, pegawai swasta atau non-pegawai negeri dapat menjadi subjek dari UU PTPK. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. Penyalahgunaan Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penafsiran hukum, teori kepastian hukum. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam Putusan Nomor 6/Pid/TPK/2023/PT.DKI, pemberatan terhadap pelaku korupsi didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, dengan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, penyalahgunaan jabatan, dan kerugian negara, serta faktor pemberat seperti besarnya kerugian negara, peran terdakwa, dampak terhadap masyarakat, dan keadaan tertentu yang memperburuk keadaan. Meskipun memenuhi syarat untuk dikenai pidana mati sesuai Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara dan denda berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.
Legal Protection of Childern as Perpetrators of Criminal Acts of Obscenity Mustika, Mega; Mau, Hedwig A; Ismed, Mohamad
Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 5 No. 07 (2024): Jurnal Indonesia Sosial Sains
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jiss.v5i07.1184

Abstract

The child protection is a fundamental human right. Every child is entitled to survival, development, participation, and protection from crime and discrimination. Legal protection for children involved in criminal acts, such as molestation, is governed by Law Number 11 of 2012 on the Criminal Justice System. This research utilizes Law Enforcement Theory and Law Protection Theory, adopting a normative juridical approach supported by empirical data. The study begins with an analysis of relevant legal articles and includes primary data to support secondary legal materials. The analysis aims to provide a prescriptive study with interpretive analysis. The findings reveal that legal regulations for child molestation cases, as in Decision Number 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Jkt Brt, are based on Article 82 paragraph (1) jo Article 76 E of Law Number 17 of 2016 and Article 64 paragraph (1) of the Criminal Code. Protection for child offenders is outlined in Article 71 paragraph (4) of the Child Protection Law and Article 3 of the Juvenile Criminal Justice System Law, emphasizing humane treatment and access to legal aid.
The Role and Benefits of People's Requirements (MPRS) in The Indonesian State System after The 1945 Amendment: Optimization and Challenges Soesatyo, Bambang; Suganda, Atma; Mau, Hedwig A
AKSIOMA : Jurnal Sains Ekonomi dan Edukasi Vol. 1 No. 7 (2024): AKSIOMA : Jurnal Sains, Ekonomi dan Edukasi
Publisher : Lembaga Pendidikan dan Penelitian Manggala Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62335/jxpx3251

Abstract

The study seeks to examine the role and jurisdiction of the People's Assembly of Permusyavaratan (MPR) within the Indonesian statehood system after the modification of UUD 1945. It also intends to identify the efforts made to optimize its functioning and the problems encountered. Normative legal research methods are employed to specifically analyze primary, secondary, and tertiary legal material. The primary legal materials consist of the 1945 Basic Act and its subsequent changes, along with the relevant statutes that regulate the MPR. Secondary legal resources encompass pertinent literature, periodicals, and scientific publications. The research findings indicate that the modifications made to the 1945 UUD have limited the jurisdiction of the MPR, which currently possesses only one primary authority while the others are considered secondary. Constitutional Supremacy establishes the Constitution as the primary framework for governing the state, with the MPR being seen as an autonomous institution alongside the DPR and DPD. While the powers of the MP are restricted, responsibilities like the Socialization of the Four Pillars continue to be essential in maintaining the fundamental foundations of the state. The enhancement of the MPR's authority relies significantly on the agreement among parliament members as stated in the MD3 Act. The primary obstacle it faces is to ensure the MPR remains relevant and effective in a constantly changing statehood environment. The paper suggests implementing strategic initiatives to enhance the role of MPR in the Indonesian statehood system by implementing policy reforms and improving institutional capability.