Tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU PTPK), memiliki perbedaan mencolok dengan tindak pidana lainnya. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi berdampak luas, merusak tatanan kehidupan bangsa, serta merampas hak ekonomi dan sosial masyarakat. Tindak pidana korupsi apabila dilihat dari subjeknya selain pegawai negeri, pegawai swasta atau non-pegawai negeri dapat menjadi subjek dari UU PTPK. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. Penyalahgunaan Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penafsiran hukum, teori kepastian hukum. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam Putusan Nomor 6/Pid/TPK/2023/PT.DKI, pemberatan terhadap pelaku korupsi didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, dengan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, penyalahgunaan jabatan, dan kerugian negara, serta faktor pemberat seperti besarnya kerugian negara, peran terdakwa, dampak terhadap masyarakat, dan keadaan tertentu yang memperburuk keadaan. Meskipun memenuhi syarat untuk dikenai pidana mati sesuai Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara dan denda berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.